Ruteng, Vox NTT- Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Polres, Kantor Bupati, Kantor Kejaksaan, dan Kantor DPRD Manggarai, Senin (05/09/2022).
Aksi unjuk rasa dilakukan organisasi kemahasiswaan Katolik tersebut dilakukan seputar kasus dugaan suap senilai Rp50 juta untuk mendapatkan proyek APBD Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
“Kami mendesak Polres Manggarai, Kejari Manggarai, dan KPK RI untuk mengusut tuntas dugaan praktik jual beli proyek APBD di Kabupaten Manggarai,” ujar Ketua Presidium PMKRI Ruteng Yohanes N. Nandeng dalam pernyataan sikap tertulis yang diterima awak media, Senin pagi.
Tidak hanya itu, Nardi juga meminta Pemerintah Daerah Manggarai untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi secara transparan, tegas, dan profesional.
Kemudian, meminta DPRD Manggarai untuk menjalankan fungsi pengawasan secara profesional di balik penanganan kasus dugaan suap tersebut.
Dalam rilisnya pula, Nardi menjelaskan, kasus tersebut bermula ketika ada pengakuan mengejutkan dari seorang kontraktor asal Kecamatan Lelak berinisial A.
A mengaku dimintai fee 5% dari pagu anggaran proyek APBD oleh istri Bupati Manggarai berinisial MH. A mengaku pula bahwa dulunya ia adalah tim sukses dari pasangan Bupati Herybertus G.L Nabit dan Heribertus Ngabut (H2N) yang memiliki jargon “Jalan Menuju Perubahan”.
Menurut A, kata Nardi, pada tanggal 28 Mei 2022, ia dipanggil oleh istri Bupati Manggarai melalui seorang THL berinisial RS yang bekerja di Dinas PUPR untuk melakukan pertemuan di rumah jabatan (Rujab) Bupati Manggarai.
Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan bahwa untuk mendapatkan empat proyek dengan pagu Rp1,485 miliar, kontraktor tersebut harus memberikan fee 5%.
Keempat proyek terdiri atas 2 paket proyek pengaspalan jalan, 1 paket proyek rabat beton, dan 1 paket proyek pembangunan gedung sekolah.
Dari nilai Rp1,485 miliar itu yang dipungut fee 5% adalah nilai pagu anggaran Rp1 miliar yaitu sejumlah Rp50 juta.
Sedangkan lebihnya senilai Rp485 juta tidak dikenakan potongan fee tetapi menjadi balas jasa kerja tim sukses Pilkada. Dan kontraktor menyanggupi permintaan tersebut.
Usai pertemuan tersebut, lanjut Nardi, kontraktor berinisial A kembali ke Labuan Bajo. Namun seorang THL berinisial RS selalu saja menghubunginya untuk secepat mungkin menyetor uang fee proyek yang telah disepakati bersama.
Atas desakan tersebut, A kemudian berusaha meminjam uang agar proyek tidak jatuh ke tangan orang lain.
Pada tanggal 14 Juni 2022, A bersama RS menyerahkan uang sejumlah Rp50 juta kepada istri bupati lewat perantara bendahara Toko Monas.
Toko Monas merupakan tempat usaha milik istri bupati yang terletak di depan rumah pribadinya.
Setelah menyerahkan uang tersebut, RS menyuruh A agar segera memberi kabar kepada istri bupati melalui pesan WhatsApp.
Pesan itu berbunyi “ selamat sore ibu, saya sudah turunkan kemiri 50 kg”. Kemiri 50 kg itu diduga kode yang berarti uang Rp50 juta.
Selanjutnya, A dihubungi lagi oleh THL berinisial RS untuk mendiskusikan proyek di rumah seorang pengusaha berinisial TN. Di rumah tersebut ada juga mantan ketua tim pemenangan pasangan Herybertus G. L. Nabit dan Heribertus Ngabut pada Pilkada 2020 berinisial WK.
Dalam diskusi tersebut kontraktor berinisial A dimintai fee bertambah 2% menjadi 7%.
Kontraktor berinisial A keberatan dengan permintaan tersebut karena ia telah menyerahkan uang Rp50 juta (kemiri 50 kg) ke istri bupati. Pada akhirnya kontraktor berinisial A tidak mendapatkan proyek.
Walaupun pada akhirnya uang Rp50 juta dikembalikan lewat rekening kontraktor tersebut, namun ia merasa kecewa dan selanjutnya mengungkap dugaan praktik jual beli proyek APBD di Manggarai kepada publik.
“Kontaktor tersebut mengaku masih menyimpan semua bukti percakapan dan transfer uang,” jelas Nardi.
Terkait dugaan praktik jual beli proyek APBD tersebut, Nardi pun menilai bahwa kontraktor berinisial A, THL berinisial RS dan istri bupati Manggarai berinisial MH diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Nardi juga menduga bahwa praktik jual beli proyek APBD di Manggarai sudah menjadi praktik yang lumrah terjadi di wilayah itu.
Artinya, untuk mendapatkan paket proyek seorang kontraktor wajib memberikan fee, lalu mengabaikan mekanisme yang diatur oleh regulasi yang berlaku.
Jika demikian adanya, maka menurut Nardi, dugaan praktik jual beli proyek APBD berdampak pada kualitas pekerjaan pembangunan dan tentunya merugikan masyarakat Manggarai. Misalnya, potret jalan berlubang atau rusak akibat kualitas proyek yang rendah.
Nardi menduga bahwa praktik jual beli proyek APBD yang diungkap oleh kontraktor berinisial A bukan baru pertama kali terjadi. Artinya, masih banyak dugaan praktik jual beli proyek APBD di Manggarai yang belum terungkap ke publik. [VoN]