Oleh: Ano Parman
Warga Lembor Selatan
Banyak orang memahami politik itu apa yang ada di layar depan. Sebab itu nyata dan terlihat. Jarang sekali mengintip panggung belakangnya.
Padahal bagian itu penting dan menentukan. Penting karena panggung itu menjadi tempat orang berkuasa dan beruang mengatur politik. Semua aspek dibahas dan ditentukan di sana.
Patokannya selera dan kepentingan orang-orang itu. Merekalah yang mengendalikan politik dari belakang.
Ibarat pertunjukan wayang, yang begerak di layar depan itu hanya wayang politik. Sedangkan, dalang dan pemilik hajatan mengendalikan dinamika dari balik layar. Keberadaan mereka samar-samar bahkan kerap tak terlihat.
Merekalah sebenarnya orang-orang kuat dalam politik. Sedangkan, elected officials hanya menjadi proxy yang mendagangkan setiap kebijakan yang diambil. Disinilah, penguasa menjadi pedagang sekaligus. Ekonom Rizal Ramli, sering menyebut kelompok ini peng-peng.
Bohir
Bohir berarti pemilik modal. Peran bohir berkaitan dengan biaya politik yang makin mahal. Penetrasinya semakin dalam seiring lemahnya kapasitas negara mengatasi masalah yang satu ini.
Dua kondisi itu yang mengundang bohir masuk politik. Dalam konteks ini, sebenarnya bohir tak salah, yang salah adalah sistem politik kita yang memberi peluang bohir masuk dan membajak politik elektoral kita.
Lihat saja pemilihan persiden dan wakil presiden kita. Dengan sistem pemilihan langsung seperti ini, mau tak mau kandidat harus berkeliling Nusantara menemui para konstituen.
Tentu tak mudah. Selain menguras waktu dan tenaga, safari politik demikian jelas menghabiskan biaya tak sedikit. Kantong kandidat dan parpol koalisi tentu tak cukup. Perlu bantuan dari luar termasuk donasi kalangan pengusaha.
Tak hanya itu, Fahri Hamzah menyebut bohir juga menyasar urusan koalisi. Karena ambang batas pencalonan yang berat, bohir lalu turun tangan menyatukan parpol dalam satu tenda koalisi.
Berapapun harga yang harus dibayar, asalkan partai-partai mau berkoalisi dan mengusung kandidat yang diinginkan kelompok beruang itu. Pada titik ini, ideologi partai sudah tak penting lagi. Sebaliknya, uang di atas segala-galanya.
Cerita Pilkada juga demikian. Peran bohir cukup sentral. Mulai dari urusan mendapatkan dukungan partai (candidacy buying) hingga urusan pemenangan. Hampir tak ada urusan yang tak melibatkan bohir.
Wajar kalau bohir selalu ada di setiap Pilkada. Mahfud MD pernah bilang, 70 persen calon kepala daerah yang berlaga di Pilkada 2017 dibiayai cukong. Angka itu meningkat menjadi 80 persen pada Pilkada 2018. Mahfud tak menjelaskan asal usul kesimpulan itu. Tapi melihat kenyataan yang ada, ucapan mantan Ketua MK itu layak dipercaya.
Tentu saja, dukungan bohir itu tak gratis. Ada garansi dan ijon di sana. Insentif itu kelak akan dibayar setelah sang pejabat berkuasa. Politik sudah menjadi ladang bisnis yang menjanjikan keuntungan besar.
Sedangkan, rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan tak lagi terlibat di sana. Adagium: rakyat hanya berguna saat pemilu, tapi ditinggalkan saat memerintah benar adanya.
Betapa pejabat terpilih tersandera dan tak bersuaka lagi pada kedaulatan rakyat. Selalu takut mengambil sikap secara mandiri. Kebijakan politiknya selalu mengikuti kehendak bohir yang membiyainya.
Ini soal klasik tapi sampai sekarang tak diselesaikan. Negara tampak gagap mengatasinya. Tak heran, hari-hari ini politik kita tidak lagi menjadi tempat tumbuh kembangnya ide dan imajinasi, tapi sudah menjadi arena pertarungan bohir demi keuntungan semata.
Memang tak mudah mengusir bohir dari politik. Selain sudah menggurita, kendala lainnya, negara tak serius membuat politik kita bersih dan mandiri. Karena itu, perlu pemimpin berani menabrak kelaziman dan siap menghadapi risiko dikeroyok status quo.
Pemimpin yang dimaksud adalah seorang presiden. Kenapa presiden? Sebab dia mendapat mandat dari jutaan rakyat untuk mengurus hal-hal besar, termasuk membenahi sistem politik yang amburadul ini.
Dengan kewenangan besar yang dimilikinya juga, presiden dapat memperkuat kapasitas negara terutama dalam pembiayaan politik. Ini memang pilihan sulit, tapi harus diambil demi tegaknya kedaulatan rakyat.