Oleh: Ano Parman
Warga Lembor Selatan-Manggarai Barat
Pemerintah dan DPR sepakat merevisi UU 6/2014 Tentang Desa. Salah satu poin dalam revisi itu adalah memperpanjang masa jabatan kepala desa dari sebelumnya 6 tahun menjadi 9 tahun.
Sontak, rencana itu pun menuai pro dan kontra. Bagi kelompok yang setuju, perpanjangan masa jabatan itu dipandang pilihan yang baik agar para kades punya banyak waktu untuk merealisasikan program kerjanya.
Sebab menurut mereka, masa jabatan 6 tahun terlalu pendek bagi kades untuk mengeksekusi program kerjanya sehingga dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat desa tak begitu terasa.
Sebaliknya, bagi kelompok yang tak setuju, ide memperpanjang masa jabatan itu ngawur dan berpotensi melahirkan masalah baru di desa.
Kekhawatiran itu muncul atas pikiran, kalau masa jabatan diperpanjang maka potensi penyalahgunaan wewenang akan semakin besar. Justru hal semacam inilah yang ramai ditentang masyarakat desa sebab terbukti membuat pembangunan di desa jalan ditempat.
Meski demikian, DPR dan Pemerintah tetap ngotot. Mereka tak menghiraukan aspirasi kelompok masyarakat yang tak setuju dengan rencana tersebut. Seketika, kegaduhan pun terjadi. Silang pendapat antarsesama anak bangsa tak bisa dihindari dan sampai sekarang terus menghiasi percakapan harian di negeri ini.
Lantas, apakah ada kepentingan politik di balik rencana itu? Tentu saja ada dan tujuannya hanya untuk kekuasaan semata. Kecurigaan semacam itu sangat wajar sebab rencana tersebut sangat tak berdasar dan mengada-ada tapi dipaksakan bergulir menjelang pemilu 2024.
Haus Kuasa
Revisi peraturan perundang-undangan itu hal lumrah. Tapi mesti dibuat atas dasar tuntututan situasi dan kebutuhan di lapangan. Artinya, ada dinamika dan kebutuhan yang tak bisa lagi diakomodir oleh aturan yang ada.
Karena itu, butuh terobosan politik hukum yang konstekstual agar bisa menjawab permasalahan itu. Dalam kerangka demikianlah seharusnya revisi undang-undang itu diletakkan.
Namun, dalam kasus revisi UU Desa ini cukup aneh. Betapa tidak, rencana perpanjangan masa jabatan kades ini terkesan tiba-tiba sehingga mengejutkan banyak orang. Bak petir di siang bolong.
Sebab tidak ada aspirasi atau kehendak yang murni lahir dari inisiatif rakyat di desa. Selain itu, tak ada juga kajian akademik yang melatarbelakangi ide tersebut. Yang ada hanyalah kemauan sepihak kades melalui wadahnya APDESI yang didukung penuh oleh pemerintah dan DPR.
Karena itu, tak salah bila banyak orang menilai bahwa revisi itu hanya akal-akalan orang politik demi kekuasaan belaka bukan untuk perbaikan kehidupan masyarakat desa.
Penilaian semacam itu sangat beralasan, sebab masalah riil di desa bukanlah masa jabatan kades, melainkan banyak hal yang langsung berkaitan dengan kerja pelayanan dan pembangunan masyarakat desa.
Misalnya, masalah korupsi dan rendahnya sumber daya aparatur pemerintah desa, buruknya pelayanan publik serta alokasi dana desa yang dirasa masih terlalu sedikit. Masalah-masalah ini nyata dan sangat dirasakan oleh masyarakat desa.
Jadi, jika DPR dan pemerintah komit terhadap kesejahteraan masyarakat desa, maka soal-soal seperti ini yang harus dituntaskan melalui revisi UU Desa.
Stop Bikin Gaduh
Sebaiknya, rencana perpanjangan masa jabatan ini diurungkan. Selain membuat gaduh, rencana itu juga cukup berbahaya bagi demokrasi dan kelangsungan pemerintahan desa di Indonesia.
Saat ini, kita perlu ketenangan agar fokus dan punya stamina membangun negeri setelah diterpa Krisis Corona selama dua tahun terakhir. Sebab jika gaduh terus, kita akan lengah dan kehilangan peluang untuk keluar dari krisis.
Seraya berseru kepada DPR dan Pemerintah agar lebih fokus mengurus hal-hal strategis dan berdampak bagi rakyat ketimbang meladeni aspirasi para kades yang haus kuasa.
Kehendak demikian sejalan dengan hakikat DPR dan Pemerintah sebagai perkakas rakyat yang diutus untuk mengurus kepentingan politik semua demi kesejahteraan bersama.
Dalam konteks itu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tak pernah meminta DPR dan Pemerintah untuk berbuat macam-macam selain menghasilkan kebijakan yang pro terhadap kebaikan umum.
Namun, jika kedua entitas demokrasi tersebut menyimpang dari hukum dasar ini, maka tak salah bila rakyat membangkang dan bersikap sesuai kehendaknya sendiri.