Oleh: Ano Parman
Warga Lembor Selatan-Manggarai Barat
Saat ini, party ID atau identitas kepartaian kita sangat rendah. Hal itu dikonfirmasi oleh survei SMRC November 2022. Dalam survei itu, hanya 20 persen responden yang merasa dekat dengan partai politik. Sedangkan, 73 persen lainnya mengaku sebaliknya.
Menurut Saiful Mujani, angka itu berbanding terbalik dari Amerika Serikat yang sama-sama menjadi negara demokrasi terbesar di dunia. Di Amerika, kata Mujani, orang yang mengaku dirinya sebagai orang partai, entah Demokrat atau Republik, adalah mayoritas. Sedangkan yang mengaku tidak dekat atau bukan bagian dari partai politik justru minoritas (Warta Ekonomi.co.id, 1/12/2022).
Hal di atas sungguh ironis sebab partai politik yang seharusnya menjadi pilar demokrasi justru dijauhi pemilih. Jarak dan hubungan keduanya menjadi renggang dan tak bersetubuh lagi dalam ranjang demokrasi. Padahal, hakikatnya partai politik itu adalah peralatan rakyat dalam berdemokrasi. Sebagai alat, partai politik mesti menuruti kehendak tuannya yakni rakyat itu sendiri.
Tapi karena partai tak lagi mengabdi, rakyat pemilih mulai kehilangan instrumen politik dalam mengelola dan mengamankan kepentingnya sehingga kemudian membuat saluran sendiri dalam berurusan dengan negara. Pada titik ini, pemilih terpaksa berjuang sendiri tanpa dampingan partai politik dalam bernegosiasi dengan negara agar bisa mendapatkan kebijakan politik yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Fenomena ini jelas berbahaya bagi politik dan demokrasi. Masa depan Indonesia sebagai negara demokrasi menjadi suram dan kian berada di jurang kebangkrutan. Jika keadaan ini tak segera diatasi, maka negara demokrasi yang berasaskan Pancasila ini hanya tinggal slogan.
Politik Uang
Salah satu dampak rendahnya party ID yakni maraknya politik uang di tingkat massa. Kajian Burhanudin Muthadi mengungkapkan semakin rendah party-ID seseorang semakin besar kemungkinan dia menerima praktik politik uang. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat party-ID pemilih maka semakin kecil sikap penerimaannya terhadap praktik politik uang.
Karena itu, politisi tak bisa lagi menyalahkan pragmatisme pemilih yang membuat biaya politik semakin mahal. Politik transaksional antara politisi dan pemilih tak bisa dilepaskan dari kegagalan partai dalam meningkatkan diferensiasi dan positioning ideologis partai di mata pemilih. Akibatnya, pemilih tak suka mengidentifikasikan diri dengan partai.
Tren party-ID yang terus menurun ini, kata Muthadi, disumbang oleh buruknya kinerja partai di mata pemilih. Iklim ketidakpercayaan publik terhadap partai terus meningkat seiring dengan terbukanya kasus-kasus korupsi yang melibatkan elite partai.
Tak dapat dibantah, fenomena politik uang ini berdampak sistemik bagi politik dan demokrasi. Politik menjadi kisruh dan demokrasi menjadi rusak. Sedangkan, ide dan imajinasi besar tak bisa tumbuh bahkan mati suri dalam pergulatan politik kita.
Di level pemilih, politik uang membuat logika pemilih menjadi tumpul sehingga tak waras mengambil keputusan politik. Pemilih cenderung bersikap transaksional dan memilih calon yang mampu membayar. Sebaliknya, pemilih akan menjauhi calon berkantong tipis meski punya pengalaman dan rekam jejak bagus.
Situasi demikian membuat Pemilu menghasilkan pejabat politik opurtunis dan berwatak materialistik. Saat berkuasa mereka akan mendagangkan kewenangan yang ada padanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Sedangkan di kalangan politisi, ada penyakit bahwa mereka merasa layak menjadi pemimpin ketika punya uang. Karena dengan uang banyak, sang calon dapat dengan mudah membeli mandat pemilih untuk memenangkan pertarungan. Sebaliknya, jika tak punya uang, politisi tidak percaya diri bahkan enggan bertarung dalam Pemilu. Bagi mereka, uang menjadi elemen kunci mobilisasi pemilih dalam memenangkan pertarungan elektoral.
Kondisi di atas menjadi cikal bakal lahirnya korupsi politik yang meraja lela sampai saat ini dan melemahkan sendi-sendi kebangsaan. Hal ini diperparah lagi oleh lemahnya kapasitas negara menjaga demokrasi. Negara tampak pasrah dan tak mau membereskan soal ini, meski sudah mengancam eksistensi negara itu sendiri.
Benahi
Saatnya, partai politik berbenah diri dan meraih kembali kepercayaan rakyat. Jika tidak, pemilih makin menjauhi partai dan biaya politik makin mahal karena pemilih cenderung memakai pendekatan transaksional dengan partai.
Tak ada jalan pintas untuk itu, selain membenahi kembali kinerja partai politik dalam menjalankan fungsi rekrutmen politik, pendidikan pemilih, agregasi dan artikulasi kepentingan politik rakyat.
Sepanjang keempat fungsi itu tak dibenahi, maka sampai kapan pun partai politik akan terus dijauhi dan pada waktunya akan dianggap barang asing oleh pemilih itu sendiri.
Di samping itu, perbaikan juga perlu dilakukan terhadap sub ekosistem partai politik lainnya, terutama yang berkontribusi besar terhadap perbaikan citra dan kinerja partai politik. Dengan begitu, ada harapan kelak partai politik kembali menjadi lembaga demokrasi yang berwibawa dan dicintai pemilih.