Oleh: Felisianus Efrem Jelahut, S.Fil.M.I.Kom
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana
Beberapa hari ini, masyarakat Nusa Tidak Tetap ramai dengan perbincangan terkait terminologi ‘jam lima’.
Ada apa dengan jam lima? Jam lima bagi seorang petani boleh jadi, berisi kegiatan mengayunkan cangkul untuk pertama kalinya setelah satu jam sebelumnya mereka membuka mata menikmati hari baru.
Jam lima bagi nelayan, berisi kegiatan merajut pukat setelah satu jam sebelumnya, berlangkah kecil menapaki pasir pesisir.
Jam lima bagi seorang pengrajin sopi, berisi kegiatan tiup meniup api yang semula adalah arang, sebelum ia menakar tetesan minuman itu, untuk euforia semu banyak orang.
Tentu saja, jam lima bagi sebagian profesi ini sangat berharga, berharga bukan karena detik dimulainya, namun karena detik-detik yang berlangsung setelah itu, sampai kegelapan malam menjemput.
Lima Jam. Apa yang bisa dilakukan dalam kurun waktu lima jam? Tentu banyak sekali hal menguntungkan yang bisa dilakukan dalam lima jam.
Lima jam berisi untaian satu jam, dua jam, tiga jam, empat jam, sampai pada akhirnya lima jam. Bahkan, lima jam adalah waktu yang terlampau lama bagi seorang calon sarjana untuk mempertanggungjawabkan tarian pena nya diatas lembaran-lembaran kertas penentu nasib, sebut saja skripsi.
Lima jam, juga terlampau lama bagi seorang calon magister untuk menyelesaikan diskusi panasnya bersama pembimbing, sebelum ia meraih gelar incaran banyak orang itu, sebut saja ujian tesis.
Dan lagi, sangat membosankan bagi seorang promotor, untuk secara ilmiah, marah kepada sang calon doktor, sebelum ia menjadi ahli dalam pergulatan akademiknya, sebut saja sidang doktoral. Miris, tapi itulah kita, para pegiat yang taat pada jam lima.
Apakah jam lima itu kualitas atau kuantitas? Kuantitas, mengharuskan lima jam itu pergi dari angka terakhirnya, jam enam, jam tujuh, jam delapan, jam Sembilan, sampai pada jam pulang dari tempat peraduan.
Kualitas, dapat terjadi bahkan sebelum detik terakhir pukul empat lewat lima puluh Sembilan detik.
Di manakah letak kekawatiran terhadap kualitas jika kuantitas seenaknya saja menempati posisinya?.
Perlu dilihat lebih dari sekedar permainan sensasi, yang bahkan persepsi dan memori pun enggan untuk memikul tugas berat ini.
Mengapa tidak menempatkan lima jam diatas jam lima? Apakah kegelisahan sudah merambah pada kebodohan? Ataukah kebodohan sudah tidak punya tempat lagi untuk menalar kegelisahan?.
Jam lima memiliki banyak tempat di hati para nelayan, petani dan pengrajin sopi, tapi lima jam, rupanya sangat berarti bagi, sebut saja akademisi.
Lantas, jam lima bagi para akademisi, adalah waktunya untuk apa? Tentu masih ada yang bergulat dengan pemikirannya untuk terjadinya esok hari yang berintelek.
Masih ada juga sudah membuka mata sesudah satu jam sebelumnya tersadar dari peraduan mimpi, yang juga berintelek, menjadikan seorang sarjana, magister dan doktor.
Apakah jam lima ini berkualitas? Tidak juga, ia hanya sebaris kuantitas yang kemudian mengingkari pandangan si kualitas.
Mari sekarang kita beralih pada jam lima dan lima jam si merah putih, si biru putih dan si abu-abu putih.
Tepat pukul empat lewat enampuluh menit, si merah putih masih harus melengkapi kewajibannya sebagai persona yang berkembang dan bertumbuh.
Jam lima bagi si merah putih adalah waktu ia masih perlu untuk bertanggung jawab pada tumbuh kembangnya setelah satu jam sebelumnya ia masih bermimpi, mengosongkan memori dan pemikirannya dari aktifitas bermain, belajar hal-hal baru, menyamai persepsi dengan yang sedang beranjak remaja, masih pula ia mempersiapkan segala dirinya untuk bermain, belajar hal baru dan menyamai persepsi sebelum dua jam sesudahnya ia harus bergelut dengan lembar-lembar kertas, yang ramai dengan jejak pena yang sudah menari beberapa bulan, tahun dan abad sebelumnya, sebut saja buku pelajaran.
Bagaimana jam lima bagi si biru putih? Jam lima bagi si biru putih, bisa saja ia sudah membuka kelopak matanya, tapi tetap kosong, ia masih memandang pikirannya sendiri yang berisi rupa gadis idamannya, masih juga ia bergelut dengan pencarian jati dirinya dalam tiap kedipan mata, hendak memakai topeng yang mana sebelum dua jam sesudah itu hayalannya menampakkan diri di atas bangku sebelahnya, sebut saja di kelas.
Bagi si biru putih, topeng adalah segala-galannya, jangan memaksa ia membuka mata di jam lima itu hanya untuk memasuki ruangan dimana kebosanan sudah duduk manis di bangkunya sendiri. Jika dipaksakan, jati dirinya tidak akan berlangkah maju menjadi si berkualitas.
Mari menalar si abu-abu putih melalui kacamata jam lima. Jam lima bagi dia adalah segala-galannya. Jam lima bagi dia adalah ruang dimana dia sedang membuat si besi panas itu maju mundur merapihkan si abu-abu dan si putihnya.
Jam lima bagi dia adalah semprotan tetesan-tetesan pemikat hidung sejawatnya. Jam lima juga baginya adalah awal yang baik bagi kelaparan akademiknya sebelum dua jam sesudahnya, ia di suguhi hidangan yang akan membuat ia tidak dapat berkata bahwa ia lapar lagi.
Jam lima ini terdengar baik bagi si abu-abu putih, tapi apakah yang akan terjadi pada lima jam sesudahnya? Ia akan mulai lapar lagi.
Bukan lapar akademiknya yang terjadi, tapi laparnya akan tolehan-tolehan, laparnya akan keseriusan sejawatnya, laparnya juga terhadap perbuatan-perbuatan di luar kebajikan akademiknya, sebut saja kenakalan remaja pasca bosan dengan suara-suara indah para guru, yang terus saja bernyanyi untuk merdunya nasib si penerus bangsa.
Manakah yang akan anda pilih, sebagai masyarakat putih merah, putih biru dan putih abu, yang taat pada lima. Lima dasar Pancasila.
Jam lima atau lima jam? Pertanyaan ini bagimu, si Nusa Tidak Tetap. Lima jam bisa anda lalui dengan gemilang jika yang engkau dapat adalah kualitas.
Tapi jam lima sama sekali tidak boleh anda mulai jika engkau masih harus dikenyangkan dengan mimpi-mimpi. Tetaplah pada dua jam sesudah itu, tetaplah pada pendirianmu.
Hendak memilih yang manakah kamu? Kualitas atau kuantitas? Jangan pernah memilih si kuantitas, kuantitas hanya mampu berbaris rapi dan teratur, tapi maaf, kosong.
Pilihlah kualitas, yang mana ketika ia tidak berdiri sekalipun, kerapihan dan keteraturannya dapat dipertanggungjawabkan.
Lantas bagaimana bagimu si kepala pemimpin merah, biru dan abu-abu? Masih pedulikah kamu pada kuantitas? Pada jam lima?
Bukannya di waktu yang sama engkau masih harus mempersiapkan banyak hal terkait eksistensimu sebagai manusia?
Sesungguhnya bukan sebuah kewajiban bagimu untuk taat pada kuantitas, tapi tugas berat tentu saja bagimu, untuk menekan si kualitas agar sampai pada titik di mana kuantitas tidak mampu lagi untuk berdiri, berbaris dan tersusun rapi.
Jangan terlalu memperdulikan apa kata nelayan, petani dan pengrajin sopi tentang keindahan dan kebahagiaan di jam lima itu, engkau seharusnya melihat apa kata kualitas terhadap terangnya warna putih merah, putih biru dan putih abu, sebab merekalah yang akan menjadikan Nusa Tidak Tetap kemudian berubah menjadi Nusa Tidak Takut, di negeri Lima ini.
Lima jam itu indah, jam lima itu tidak boleh menjadi indah. Salam lima jari.