Oleh: Ano Parman
Warga Lembor Selatan-Mabar
Porsi KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam urusan kampanye Pilkada terbilang besar. Hal itu terlihat dalam Pasal 65 ayat 2 UU 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada “Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f difasilitasi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”.
Adapun kampanye yang dimaksud adalah debat publik/debat terbuka antarpasangan calon, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga dan iklan media massa cetak dan media massa elektronik.
Dari empat metode kampanye di atas, kecuali debat antarpasangan calon, fasilitasi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang didanai oleh APBD dirasa kurang pas. Ada dua alasan: Pertama, tiga metode kampanye tersebut bisa dilaksanakan sendiri oleh pasangan calon dan tim kampanye tanpa perlu difasilitasi dan didanai APBD.
Sebab pada dasarnya kampanye itu bisnisnya pasangan calon dan tim kampanye. Itu sejalan dengan definisi kampanye sebagai kegiatan peserta Pilkada untuk menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri untuk meyakinkan pemilih.
Dari pengertian ini jelas bahwa pasangan calon beserta tim kampanyenya menjadi pihak yang paling berkepentingan dengan urusan kampanye. Jadi, sudah seharusnya mereka sendiri yang melaksanakannya.
Sebagai konsekuensinya, pasangan calon juga harus mengeluarkan biaya sendiri dari rekening dana kampanye yang dilaporkan ke KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sesuai jenis pemilihannya.
Rekening itu khusus menempatkan dana milik pasangan calon serta sumbangan dari sumber-sumber yang sah menurut hukum dan tidak mengikat.
Soal kedua adalah bertambahnya beban KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pemilihan. Sementara pada saat bersamaan lembaga itu harus mengurus tahapan dan kegiatan pemilihan semisal membereskan daftar pemilih agar warga negara yang memenuhi syarat dapat menyalurkan hak pilihnya di TPS.
Beban itu jelas menguras banyak energi dan mengganggu kosentrasi antara mengurus tahapan dan memfasilitasi kegiatan kampanye pemilihan. Padahal, sebagai tulang punggung urusan teknis penyelenggaraan Pilkada, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sudah punya setumpuk pekerjaan yang tidak mudah. Mulai dari perencanaan program dan anggaran hingga babak akhir pelaksanaan Pilkada.
Hampir tak ada waktu bagi penyelenggara Pilkada untuk istirahat sejenak begitu tahapan dimulai. Sebab antara tahapan dan kegiatan yang satu dengan yang lain bersambung sehingga harus dilaksanakan tanpa jeda.
Dalam kondisi seperti ini, tentu saja dibutuhkan kecermatan dan kecepatan agar tak tertinggal oleh jadwal yang ditetapkan. Sebab itu, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebaiknya tidak boleh diganggu dengan urusan semacam itu. Sebab dengan tambahan pekerjaan demikian, jelas menambah beban bagi penyelenggara Pilkada.
Selain beban penyelenggaraan, soal lainnya adalah bertambahnya beban APBD akibat pengeluaran kampanye. Padahal, anggaran semacam itu bisa dicover pasangan calon tanpa perlu intervensi APBD. APBD semestinya hanya membiayai program dan kegiatan pemilihan yang menjadi domain penyelenggara Pilkada seperti pendaftaran pemilih, sosialisasi pemilihan dan sejenisnya. Itu pun anggaran dimaksud wajib dikelola efektif dan efesien agar tidak merugikan keuangan negara.
Fokus
Ke depan, untuk urusan kampanye selain debat antarpasangan calon, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota cukup sebatas menghadirkan regulasi yang menjamin terlaksananya kampanye yang efektif dan efisien. Sebab dengan regulasi demikian, pelaksana kampanye dapat meyakinkan pemilih dengan visi, misi dan program kerjanya tanpa harus membuang waktu dan dana besar.
Sedangkan, soal apakah peserta Pilkada dan tim kampanyenya menaati aturan dimaksud, sepenuhnya menjadi urusan Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota beserta seluruh perangkat pengawasan di bawahnya.
Jadi, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tak boleh lagi disibukan dengan urusan semacam itu. Lembaga itu cukup fokus mengurus tahapan pemilihan dan memastikan penyelenggaraannya berjalan adil dan berkualitas.
Minimal, porsi KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam urusan kampanye hanya sebatas memfasilitasi debat antarpasangan calon. Selebihnya dipangkas dan diserahkan sepenuhnya kepada pasangan calon dan tim kampanye. Dengan demikian, porsinya terukur dan tak dominan ketimbang pasangan calon sebagai pihak yang paling berkepentingan dalam kampanye.
Sebaliknya, penyelenggara Pilkada harus lebih banyak bergulat dengan hal-hal yang lebih penting seperti mengurus daftar pemilih dan sosialisasi pemilihan kepada semua lapisan masyarakat guna meningkatkan partisipasi pemilih dalam Pilkada. Selain itu, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota juga perlu didorong untuk menghasilkan inovasi-inovasi bermutu guna meningkatkan kualitas Pilkada.
Kiranya, DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang memperhatikan soal-soal semacam ini dalam revisi UU Pilkada selanjutnya. Minimal, ada politik hukum yang memosisikan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota pada tempatnya dalam konteks kampanye Pilkada. Di samping juga ada hal-hal lain yang perlu disempurnakan agar Pilkada makin baik ke depan.