Oleh: Yohanes Mau
Warga Belu Utara, NTT, Indonesia.
Pemerhati masalah politik, sosial, dan kemanusiaan. Tinggal di Zimbabwe, Afrika.
Pesta demokrasi tahun 2024 sudah di ambang pintu. Aneka cara sedang dilakonkan oleh para politisi untuk menang dalam pesta demokrasi itu. Satu budaya yang lazim adalah praktik money politics.
Politik bagi-bagi uang menjelang pesta demokrasi itu namanya minus kreatif. Masyarakat yang menerima uang dari politikus tidak berbobot seperti itu dengan tahu dan mau artinya memberikan ruang dan waktu kepadanya untuk merusak negeri ini dengan sewenang wenangnya.
Mengapa saya katakan demikian? Karena setelah terpilih dan menjabat sebagai pemimpin di suatu daerah dia akan lupa untuk merealisasikan janji-janjinya yang telah digaungkan menjelang pesta demokrasi.
Dia akan hanyut memanen di lahan basah tanpa peduli lagi. Dia lupa menoleh ke belakang untuk berterima kasih.
Bahkan mengambil apa yang bukan menjadi hak dan kewajibannya demi kesejahteraan hidup pribadi. Inilah realitas suram di negeri ini.
Sebenarnya sejati politik itu adalah peduli akan kepentingan umum dan menaruh hati secara penuh kepada hajat hidup orang banyak.
Di dalam praktik politik pelakon politik semestinya selalu mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.
Membeli suara masyarakat dengan membagi-bagi uang adalah praktik politik terkutuk. Namun para politikus musiman yang gagal paham hanya pandai membaca tanda-tanda zaman secara musiman saja.
Menjelang pesta demokrasi mereka mulai berjalan- jalan menjelajahi seluruh pelosok wilayah negeri untuk berorasi dan tunjukkan rasa peduli kepada masyarakat.
Masyarakat disuguhkan aneka bantuan berupa peralatan olahraga, alat musik, alat pertanian, pupuk, bibit, sembako, dan juga amplop yang di dalam berisi uang 50 sampai 100 ribu bahkan lebih dari itu.
Sebelum penyerahan bantuan itu pasti saja ada kata-kata awal sebagai rayuan agar saat demokrasi tiba jangan lupa memberikan suaranya untuk figur ini dan itu.
Masyarakat kecil di daerah pedalaman adalah masyarakat yang minus pendidikan sehingga sajian apa saja yang diberikan diterima apa adanya. Mereka tak mampu membaca sebenarnya ada apa di balik suguhan bantuan musiman itu.
Suguhan yang terjadi menjelang pesta demokrasi terjadi karena pelaku politik musiman hendak menodai kemurnian hakikat dari demokrasi.
Mereka berjuang untuk rugi sebesar-besarnya menjelang pesta demokrasi dan setelah mendapat jabatan maka itulah saatnya untuk mengumpulkan kembali segala yang telah dikeluarkan selama masa menjelang pesta demokrasi bahkan apa yang bukan untuk milik mereka juga diambil dengan segala macam rekayasa laporan.
Sehingga tidaklah heran kalau proyek-proyek infrastruktur di daerah-daerah NTT itu sangat buruk. Bangun jalan raya belum satu tahun tapi sudah tidak layak dipakai lagi.
Lantas ke manakah dana anggaran milaran untuk pembangunan infrastruktur yang berkualitas bagi setiap daerah yang dialokasikan oleh pemerintah pusat?
Mungkin saja terkandas di saku-saku pengelolah proyek dan para kontraktor. Segala tipu daya dan pencurian yang terjadi di atas muka bumi ini boleh disembunyi sejauh ujung dunia dan sedalam dalamnya lautan namun Tuhan akan tetap melihatnya.
Jadi, jangan pernah merasa nyaman dengan aktivitas curi. Membiarkan orang-orang kecil sengsara dan mencuri apa yang menjadi jatah mereka.
Menghadapi realitas negeri yang sangat suram ini lantas siapakah yang akan bertanggung jawab? Negeri dan segala kesejahteraannya adalah tanggung jawab negara dan semua anak negeri.
Anak negeri yang berpendidikan tidak boleh diam seribu bahasa menyaksikan sandiwara-sandiwara politik gagal paham yang dilakonkan oleh para politisi musiman.
Artinya kaum intelektual yang ada di masyarakat mesti berusaha untuk membaca gerakan-gerakan para politisi yang datang dan pergi hanya mampu tinggalkan janji namun tak mampu menjejakkan kaki lewat pemberdayaan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada di tengah masyarakat.
Memonitoring akan kaum politisi adalah cara menjaring pemimpin berkualitas untuk mengabdi dan menuntun masyarakat kepada bahagia yang membebaskan.
Politik itu adalah sarana yang hadir untuk memerdekakan manusia bukan menyengsarakan yang sudah sengsara sedari zaman penjajahan.
Maka para kaum intelektual yang sedang berkeliaran di tengah masyarakat tunjukkan dirimu bahwa hadir anda itu berguna bagi kemajuan menuju masyarakat yang utuh.
Tunjukkan bahwa anda yang berlabel titel sarjana itu memiliki sesuatu untuk bangun negeri ini berawal dari tanah tempat lahirmu.
Saya menulis ini karena ada rasa gelisah dengan keluhan dari masyarakat di Belu Utara, NTT yang sempat saya jumpai saat liburan beberapa bulan lalu. Mereka mengeluh katanya, “Kami ini belum mengalami merdeka. Jalan raya ini belum diaspal sejak zaman nenek moyang sebelum datangnya penjajah Belanda nuansanya masih seperti ini. Padahal sudah banyak para politikus yang keluar masuk di daerah ini namun hanya tinggalkan janji saja. Mereka datang ukur jalan ini setiap tahun tapi tidak ada pelaksanaan pembangunan untuk menjadi aspal. Maka untuk apa masih ada pesta demokrasi dan pergantian pimpinan setiap musim namun tidak ada perubahan untuk kami. Apakah kami ini bukan warga negara Indonesia? “
Sedih dan sungguh merasa sedih. Andai saja saya terpanggil untuk tugas mulia ini maka saya akan menjalankan amanah rakyat kecil dengan sebaik-baiknya.
Andai saja mereka memilih saya sebagai perpanjangan tangan kasih mereka maka saya akan menjamah mereka hingga yang terdalam.
Andai saja mereka masih ada hati untuk saya menjadi pelayan mereka maka saya akan melayani mereka dengan setuntas-tuntasnya. Saya akan berusaha melayani mereka dengan mendahulukan yang terakhir.
Jika saat itu datang maka saya siap untuk mengabdi masyarakat kecilku yang hidup sengsara oleh karena penipuan para politisi musiman yang rakus dan tamak tanpa kasihan sedikit pun terhadap realitas miskin yang sedang menggurita di negeri ini.
Masyarakat kecilku yang terkasih, teruslah kuatkan hati. Jika pesta demokrasi itu datang lagi, berikanlah suaramu kepada figur yang menurut anda tepat dan layak untuk membangun negeri ini.
Jangan memberikan suaramu karena telah dibelih dengan uang dan material karena itu hanya akan merusak negeri ini makin parah. Tatalah negeri ini dengan baik demi anak-anak cucu selanjutnya. Biarkan mereka berkisah bahwa yang terbaik hari ini adalah warisan dari generasi terdahulu.
Berdasarkan observasi lapangan selama beberapa bulan berada di Belu Utara, NTT, Indonesia, saya melihat dan merasakan bahwa masyarakat di sana semakin menderita dampak dari politik musiman yang dilakonkan politisi musiman.
Harapan dan janji para politikus tak terealisasi hingga masyarakat kecil menanti dalam ketidakpastian. Lantas untuk apa tampil atas nama masyarakat kecil?
Kalau hanya memenuhi jajaran kepemerintahan yang ada tapi minus kreatif. Jika saya pada posisi demikian maka lebih baik dengan rendah hati menepuk dada dan minta berhenti.
Ini lebih mulia dan terhormat daripada masyarakat kecil bayar saya mahal-mahal dengan uang pajak tahunan baru tidak tahu peduli sama sekali. Hadir hanya untuk menodai demokrasi lebih baik berhenti saja.
Tidak aktip di dalam menyuarakan suara orang-orang kecil di dalam hidup sehari-hari itu artinya kegagalan yang paling gagal yang mesti disadari secara penuh.
Ingat segala macam penghasilan yang datang dari kecurangan tidak akan menghantar hidupmu bahagia untuk selamanya.
Anda boleh mengumpul dengan cara yang salah namun pada waktu yang sama juga anda sedang memuluskan jalan anda menuju neraka. Tidak percaya. Ya lihat saja dan silakan merasa nyaman dengan politik tipu-tipu.
Jika anda ingin bahagia dan memiliki hidup, tampil dan teruslah berlakon secara baik dan benar. Teruslah berbuat baik di segala musim. Jangan hanya sengaja salurkan bantuan menjelang musim demokrasi selanjutnya say good bye.
Duduk di atas singgasana juga hanya binggung-binggung dan tidak tahu mesti apa yang mau diperbuat. Tidak merasa berdosakah anda kalau hanya berfoya-foya di atas penderitaan rakyat tanpa peduli?