Ruteng, Vox NTT- Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kupang akhirnya menvonis hukuman penjara terhadap Gregorous Jeramu (GJ) selaku pemilik lahan Terminal Kembur.
Selain Gregorius, pihak lain yang dijatuhi hukuman penjara berdasarkan sidang putusan pada Rabu (29/03/2023) di Pengadilan Negeri Tipikor Kupang adalah Benediktus Aristo Moa (BAM), ASN yang baru selesai prajabatan/staf biasa.
Selaku PPTK, BAM dinilai bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Kupang. Putusan itu sesuai dakwaan Kejaksaan Negeri Manggarai.
BAM selaku PPTK dianggap tidak cermat atau tanpa melakukan penelitian status hukum tentang tanah Terminal Kembur dan menyiapkan dokumen kesepakatan pembebasan lahan.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa (BAM) yaitu dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan serta denda 100 juta rupiah dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan,” demikian salah satu amar putusan dari Hakim Pengadilan Tipikor Kupang yang diperoleh VoxNtt.com, Kamis (06/04/2023).
Hal yang sama putusan/vonis hakim terhadap GJ, pemilik lahan terminal kembur. Hakim menilai GJ bersalah atas tindakan pidana sesuai dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Untuk itu, GJ dijatuhi hukuman penjara dua (2) tahun dan denda sebesar 100 juta rupiah serta diwajibkan membayar ganti rugi sejumlah Rp402.245.455.00 paling lama selama satu bulan setelah putusan dikeluarkan.
“Menyatakan terdakwa Gregorous Jeramu terbukti secara sah dan meyakinakan bersalah terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama sama. Menjatuhkan saudara terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda 100 juta rupiah dengan ketentuan apa bila denda tersebut tidak di bayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan. Terdakwa juga diharuskan membayar ganti rugi sejumlah Rp402.245.455.00 paling lama selama satu bulan setelah putusan ini dan apabila tidak membayar maka diganti dengan kurungan 1 tahun penjara,” demikian bunyi amar putusan itu.
Mencedrai Rasa Keadilan
Menanggapi putusan tersebut, keluarga BAM menilai bahwa putusan atau vonis hakim mencederai rasa keadilan dan kemanusiaan terutama bagi masyarakat kecil dan tak berdaya.
Keluarga BAM menilai tuntutan Jaksa dan Putusan Pengadilan Tipikor Kupang tidak bijak dan tidak adil dan menodai rasa kemanusiaan.
Menurut Jefri Moa yang merupakan adik kandung BAM yang kini sedang mendekam di sel tahanan Tipikor Kupang, seharusnya kakaknya itu bebas dan tidak bersalah sesuai fakta-fakta persidangan.
“Kami menyesalkan keputusan hakim yang tidak adil ini, jika melihat fakta-fakta persidangan mestinya bebas, karena tidak ada satupun niat jahat unsur memperkaya dan menguntungkan orang lain,” jelas Jefri Moa.
“Kakak kami benar-benar menjalankan tugasnya sesuai kewenangan, serta loyal mengikuti perintah atasan. Tidak ada secuilpun penyalahgunaan wewenangnya dalam kasus ini. Masa kakak saya harus menjadi Korban dari sebuah Konspirasi peradilan sesat,” tambah Jefri Moa.
Jefri Moa belum meyakini dakwaan jaksa terkait jual tanah pribadi tanpa sertifikat ke negara untuk kepentingan publik masuk kategori tindak pidana korupsi. Tuntutan jaksa dan putusan hakim yang sejalan serta tidak sesuai fakta-fakta persidangan menguatkan dugaan Jefri Moa akan adanya konspirasi dan pemufakatan jahat.
Untuk itu, Jefri Moa menilai bahwa putusan tersebut tidak saja menodai rasa keadilan dan kemanusiaan tetapi lebih dari itu, mengacaukan tatanan dan aspek hukum adat di Manggarai Raya.
“Masa bapa Gregorius dan kakak saya (BAM) dihukum hanya karena tanah itu dulu dijual tanpa sertifikat. Dokumen kepemilikan tanahnya kan ada, surat-suratnya lengkap, keterangan saksi batas lahan ada, bahkan surat keterangan dari Tu’a Golo (Pemangku Adat, Hak Ulayat) yang menyatakan kepemilikan tanah Bp. Gregorius, semuanya ada,” ujarnya.
“Tanahnya ada, sesuai dokumen, bahkan setelah diukur ulang BPN lebih luas 600 m² dari tanah saat pembelian 7000 m², tanah ini juga sudah dibuatkan sertifikat berdasarkan dokumen jual beli dengan Gregorius, dan sekarang sudah terdaftar jadi aset Pemda Matim, lalu kerugian negaranya dimana?” tanya dia.
Jefri Moa menyatakan, putusan hakim ini sangat mencederai rasa keadilan, apalagi saat itu BAM hanyalah seorang staf biasa dan PNS yang baru selesai prajabatan.
“Dengan putusan peradilan yang menghukum kakak kami 1,6 tahun penjara dan denda 100 juta, kakak kami terancam dipecat dari PNS untuk sesuatu yang tidak dilakukannya. Jaksa dan hakim mestinya adil, obyektif dan profesional,” tambahnya.
“Kemudian jika melihat fakta-fakta persidangan di mana pengadaan lahan ini melibatkan banyak orang, mestinya orang-orang yang paling bertanggung jawab dalam pengadaan lahan ini diadili juga, dan dimintai pertanggungjawaban, kenapa hanya kakak saya yang hanyalah staf biasa di tahun 2012,” kata adik kandung BAM ini.
Menurut Jefri Moa, hakim dan jaksa tidak mempunyai hati nurani atas putusan dan tuntutan yang dialamatkan kepada BAM dan GJ. Bahkan ia menilai keduanya merupakan korban dari pemufakatan jahat antara oknum penegak hukum dan orang besar yang terlibat dalam kasus ini.
“Kita memang sedari awal menduga ada permufakatan jahat yang merekayasa kasus ini untuk menyelamatkan pihak pihak yang mestinya bertanggung jawab. Dugaan kita permainannya dimulai dari audit dari Inspektorat NTT yang mengabaikan fakta fakta tentang dikumen/ surat-surat kepemilikan tanah Bapa Gregorius juga mengabaikan fakta bahwa tanah ini telah disertifikat oleh BPN dan jadi aset Pemda berdasarkan surat/dokumen kepemilikan tanah dari bapa Gregorius,” pungkasnya.
Dia berharap masyarakat dan awak media bisa satu dalam perjuangan untuk mengadvokasi kasus ini, karena kasus ini adalah bentuk ketidakadilan yang nyata penegakan hukum di Manggarai dan NTT umumnya.
“Jangan sampai ada bapak Gregorius dan Aristo lain di kemudian hari yang dijadikan tumbal oleh penegakan hukum yang tidak berkeadilan ini,” tegasnya.
“Lebih baik membebesakan 1000 orang bersalah dari pada menghukum 1 orang yang tidak bersalah. Saya mengetuk hati kita semua untuk menegakan keadilan dan mengoreksi para penegak hukum agar tidak ada yang jadi korban, demi kemanusiaan dan demi hukum itu sendiri,” ujarnya.
Pengacara BAM Pertanyakan Kinerja Kejaksaan Manggarai
Hipatios W. Labut selaku kuasa hukum BAM membantah bahwa kliennya terbukti sesuai tuntutan unsur pasal 3 yakni penyalahgunaan wewenang.
“Menurut kami, BAM tidak memenuhi unsur pasal 3. Dia tidak menyalahgunakan wewenang karena semua tugas yang dia lakukan sesuai dengan kewenangannya sebagai PPTK,” ungkap Hipatios W. Labut.
Wira juga mempertanyakan cara kerja Kejaksaan Negeri Manggarai yang hanya mentersangkakan kliennya.
“Bukan hanya Gaspar Nanggar, semua tim yang terlibat dalam kegiatan pengadaan harusnya dijadikan tersangka. Harusnya ikut diseret juga,” ungkap Wira.
Menurut dia, dalam pengadaan tanah ini, ada tim pengadaan, tim penafsir dan negosiasi harga tanah dan harusnya juga ikut diseret.
“Jaksa harus adil dan profesional.” pungkasnya.
Pernyataan pengacara Wira Labut cukup beralasan untuk jaksa menyeret semua tim pengadaan tanah Terminal Kembur menjadi tersangka. Hal itu diperkuat oleh keterangan beberapa orang saksi yang hadir di persidangan.
Tak hanya itu pernyataan Kajari Manggarai saat konferensi pers usai penetapan tersangka GJ dan BAM, menyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan ada tersangka lain dalam kasus Terminal Kembur.
Penulis: Igen Padur
Editor: Ardy Abba