Oleh: Assoc. Prof. Dr. Marianus Mantovanny Tapung, S. Fil., M.Pd.
SSHP merupakan prasyarat dasar (optio fundamentalis) dalam membangun ekosistem budaya mutu di satuan Pendidikan.
SSHP merupakan singkatan dari ‘Security’ (Keamanan), ‘Safety)’ (kenyamanan), ‘Healthy’ (kesehatan lingkungan sekolah) dan ‘Participation’ (keterlibatan masyarakat/stakeholders).
Keamanan terkait dengan sarana pra sarana gedung sekolah yang memadai, tersedianya sumber-media pembelajaran, bebasnya sekolah dari gangguan manusia, hewan dan alam.
Pastikan sekolah memiliki status hukum (sertifikat), pagar keliling yang mumpuni, dan bebas dari gangguan bencana.
Situasi keamanan fisiologis ini akan berdampak pada kenyamanan psikologis kegiatan belajar mengajar di sekolah. Guru dan siswa akan merasa memiliki sekolah dan betah berada di sana.
Sekolah perlu mengusahakan adanya kegiatan bimbingan konseling yang dilakukan secara reguler maupun insidentil dengan menyiapkan guru Bimbingan Konseling, atau guru yang ditugasfungsikan sebagai guru BK, semisal guru agama atau guru PKn; dengan ratio 1 guru untuk melayani maksimal 150 siswa/i.
Kegiatan bimbingan konseling menjadi sangat mendesak saat ini, mengingat cukup mengejalanya kejadian-kejadian traumatik, seperti perundungan (bullying) dan intoleransi personal dan sosial, baik secara langsung di sekolah maupun melalui media sosial.
Perundungan dan intoleransi yang terjadi di sekolah kerap berdampak pada hilangnya kepercayaan diri siswa, memunculkan sikap antisosial, bahkan bisa berdampak pada tindakan mencelakakan diri sendiri.
Situasi aman dan nyaman harus diperkuat lagi dengan kondisi kesehatan lingkungan sekolah, seperti kebersihan sekitarnya, banyak pohon dan bunga sebagai paru-paru untuk memeroduksi oksigen, jauh dari polusi udara dan suara; adanya fasilitas kesehatan seperti ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS), Water Closed (WC) yang memadai dengan perbandingan 1:25 untuk siswi dan 1:40 untuk siswa.
Lingkungan yang sehat dan bersih perlu pula di dukung oleh pembudayaan Perilaku Hidup Sehat dan Bersih (PHBS) dalam diri siswa dan guru, yang menjadi bagian dari gagasan dan gerakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
Prasyarat keempat yang diharus dipenuhi adalah adanya partisipasi warga sekolah dan warga masyarakat (stakeholders) demi membangun ekosistem tata kelola yang transparan, akuntabel dan konstruktif.
Transparansi, akuntabilitas dan konstruktivitas dalam tata kelola merupakan tonggak penting dari kemajuan serta pengembangan satuan pendidikan yang akan berdampak positif bagi masyarakat sekitar.
Partisipasi warga masyarakat tampak dalam kegiatan penyusunan Visi, Misi, Tujuan Sekolah, penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS), Rencana Kerja Tahunan (RKT), Rencana Kerja Jangka Menengah (RKJM), Rencana Anggaran Pendapat dan Belanja Sekolah (RAPBS), manajemen keuangan, dll.
Semua kegiatan ini bisa didokumentasikan dalam bentuk undangan, daftar hadir, jadwal, berita acara, notulensi, foto, video, dll. Bentuk-bentuk dokumentasi ini merupakan bukti otentik dan valid.
Prinsip kearsipan dewasa ini yakni: mendokumentasikan kegiatan yang melibatkan stakeholders sama pentingnya dengan isi/tujuan kegiatan itu sendiri.
Dokumentasi berisi pelibatan pihak lain merupakan basis pembuktian (evidence based) demi mendukung ‘performance based’ (berbasis kinerja) satuan pendidikan.
Oleh karena itu, segala kegiatan pendidikan yang melibatkan siswa, guru, dan masyarakat harus didokumentasikan.
Dokumentasi ini, suatu saat akan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan tagihan kinerja, seperti Data Pokok Pendidikan (Dapodik), Rapor Mutu, Rapor Pendidikan, Platform Merdeka Mengajar (PMM), dan program akreditasi satuan Pendidikan yang diemban saat ini oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah Madrasah (BAN S/M).
Program akreditasi dan instrumen lainnya, merupakan bentuk kontrol pemerintah dan masyarakat terhadap mutu layanan jasa pendidikan yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan.
Kontrol ini bisa berbentuk elaborasi antara model sinkronous, asinkronous dan telaah faktualitas kegiatan dan ketersediaan dokumen mengenai Mutu Lulusan, Proses Pembelajaran, Mutu Guru dan Manajemen Sekolah (IASP 2020).
Semua ini bertujuan agar tata kelola sekolah sudah harus lebih modern dan beradaptasi dengan peradaban revolusi 4.0, berikut mendukung penerapaan manajemen mutu berbasis total atau ‘Total Quality Management’ (TQM).
Tidak kalah pentingnya, komunitas sekolah dan masyarakat yang terlibat sedapat mungkin memiliki visi digital.
Perangkat-perangkat digital sebaiknya dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi kepentingan tata kelola sekolah yang adaptif, seperti sumber belajar yang bermakna dan kreatif bagi guru dan siswa, membantu efisiensi dan efektivitas dalam membuat pelaporan berbasis online, dll.
Dengan keamanan, kenyamanan, kesehatan dan partisipasi yang terstandar ini, ada keyakinan besar ekosistem atau iklim sekolah yang berbudaya mutu akan terjaga dan terawat dengan baik.
Pada satu sisi, kondisi terstandar ini akan mengarah pada semakin tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sekolah sebagai tempat untuk mencerdaskan anak bangsa; pada sisi lain, semakin tinggi pula tingkat kepercayaan diri warga sekolah (kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, siswa) dalam menjalankan proses belajar mengajarnya.
Dengan demikian, masyarakat dapat memberi pengakuan (rekognisi) terhadap eksistensi dan sustainabilitas sekolah. Sebaliknya, sekolah pun mampu membuat pewarisan (legasi) positif, berikut citra konstruktif bagi masyarakat sekitarnya.
Penulis adalah Dosen Filsafat Pendidikan di Unika St. Paulus Ruteng, Koordinator Pelaksana Akreditasi (KPA) Kabupaten Manggarai, Asesor BAN S/M, Fasilitator Nasional Sekolah Penggerak.