Oleh: Markus Makur
Anggota Forum Jurnalis Flores-Lembata (FJF-L) NTT
Berangkat dari perjalanan karier jurnalis saya di tanah Musamus, Merauke, Papua Selatan, 2003 silam. 20 tahun lalu hingga saat ini, kini dan mungkin ke depan.
Saya juga kurang tahu di masa akan datang, apakah masih bertahan dengan profesi ini atau beralih ke profesi lain, hanya waktu yang akan menjawab.
Memang, saya memiliki niat untuk bertahan di profesi ini sampai liang lahat. Tapi, manusia rapuh kadang-kadang oleng seperti perahu dihempas oleh gelombang.
Saya minta Sang Waktu untuk berjalan bersamaku di profesi ini. Apa hebatnya profesi? Pertanyaan ini membutuhkan permenungan yang sangat mendalam dan juga membutuhkan ketenangan batin untuk menjawab pertanyaan ini. Membutuhkan refleksi.
Tapi, bagi saya, saya sedikit menjawab sesuai perjalanan hidup saya yang berprofesi sebagai wartawan yakni hebatnya profesi ini karena mewartakan bahasa kasih, bahasa hati.
Bahasa kasih menuntun akal saya untuk menulis pada keberpihakan bagi domba yang hilang. Dipinggirkan. Dilupakan. Disisihkan. Dibungkam. Dibuang. Terbuang. Terpinggirkan.
Saya memang memiliki keterbatasan kemampuan menulis. Membahasakan sesuatu yang mungkin membosankan.
Tapi, saya tetap berani walaupun banyak kesalahan dari struktur kalimat. Tidak runut. Tidak logis. Logika tidak pas. Bahkan mungkin kabur air. Itu sah-sah saja, saya nilai diri saya sendiri.
Sejak awal bergelut di profesi ini, saya sudah diingatkan berkali-kali oleh wartawan senior yang mendampingi, menuntun dan membesarkan saya bahwa menulis berita sebaiknya memakai bahasa kasih sesuai karakter dan budaya berkomunikasi dari keluarga, masyarakat dan lingkungan sosial.
Sejak hari pertama, saya mengetik di tuts komputer kantor, saya diingatkan oleh mentor saya, yang juga adalah kepala biro salah satu media cetak itu untuk memadukan bahasa hati, data yang dicatat dan olah akal.
Bahasa kasih harus menuntun akal sehat agar tulisan itu tidak membahayakan orang lain dan diri sendiri. Sebab, profesi sebagai wartawan itu, mempertaruhkan nyawa dan kaki sebelah akan berada di hotel prodeo, kalau karya jurnalistik melanggar Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Awalnya saya ragu-ragu, bahkan ragu dengan pilihan yang saya putuskan untuk terjun di lumpur bernama jurnalis.
Bahkan terjadi pergolakan batin saya dengan pilihan ini yang belum tahu arahnya ke mana. Sebab, sebelumnya saya menjadi guru Bahasa Inggris di sekolah favorit di Kota Merauke.
Sekolah Menengah Atas Negeri Satu Merauke. Bahkan terjadi perdebatan dengan kakak saya yang berkaitan dengan pilihan saya ini. Tapi jalan hidup sudah saya pilih dan risikonya saya akan tanggung sendiri.
Begitulah roda berputar dalam kehidupan seorang manusia yang rapuh. Pilihan ya tetap pilihan. Sebab saya sendiri yang akan menjalankan pilihan kerja seperti ini. Selanjutnya, saya mengikuti pilihan hati, walaupun bermodalkan nekat.
Tiap manusia yang berakal budi memiliki rezeki masing-masing. Sesuai pedoman iman saya bahwa Tuhan yang saya akui, imani pasti tidak meninggalkan saya sendirian. Buktinya hingga saat ini saya masih setia di jalan hidup ini dengan profesi yang saya pilih.
Walaupun, dalam perjalanan karir berupa-rupa tantangan dan kesulitan, bahkan mengalami stress tatkala hasil karya tidak dipublikasikan di media. Sebab, penghasilan saya berdasarkan jumlah berita. Inilah perjalanan karir sebagai jurnalis.
Beda saat menjadi wartawan di media cetak dengan status karyawan perusahaan dimana saya bekerja. Ada gaji bulanan, ada bonus, dan beberapa pendapatan sesuai aturan perusahaan.
Setelah berhenti bekerja di media cetak,di Tanah Papua. Saya beralih bekerja sebagai stringer (kontributor) di media The Jakarta Post.
Selain itu saya juga menulis lepas di beberapa media online walaupun tanpa dibayar. Kecuali menjadi stringer The Jakarta Post dengan pembayaran honor berita sangat layak. Semakin banyak berita dimuat, semakin tinggi juga bayaran tiap bulan di harian berbahasa Inggris.
Selain itu, saya juga menjadi kontributor di media Ucanews.com untuk menambah penghasilan sebagai wartawan.
Sebelum bekerja di media The Jakarta Post, selama setahun saya menjadi wartawan di Kota Musamus, Merauke, Ibukota Kabupaten Merauke. Banyak kisah yang tersimpan di sanubari yang tidak saya publikasikan dan menjadi pengalaman pribadi.
Selama menjadi wartawan di Kabupaten Merauke, saya berjumpa dengan berbagai suku di Papua Selatan dengan berbagai tradisi serta berinteraksi dengan sesama wartawan yang mengabadikan hidup mereka untuk tanah Merauke.
Ada hal yang penting dalam perjalanan karir sebagai jurnalis yang bermula dari Kota Merauke dengan karakter masyarakat dan budaya masyarakat setempat. Satu pesan yang disampaikan guru pertama saya sebagai jurnalis di tanah Papua yakni menulis berita dengan bahasa kasih dan humanis.
Identitas kita akan diketahui oleh pembaca dan publik dengan gaya bahasa yang halus, lembut dan mengedepankan gaya humanis.
Selain itu, kunci bahasa kasih adalah jujur dengan fakta dan data. Bahasa kasih akan terlihat dalam menulis yang berimbang dari berbagai sudut pandang.
Setelah sekian tahun sebagai juru pensil dengan keberimbangan otak, hati dan jari, saya menemukan diri saya sebagai jurnalis kasih. Saya menganut “Jurnalisme Kasih”.
Hingga 2023 ini, kurang lebih 20 tahun saya menjalani profesi ini dengan meliput cerita, kisah humanis dari masyarakat yang tak bisa bersuara.
Saya sebagai jembatan kemanusiaan bagi kaum yang terbuang dan tak bisa bersuara. Tentu ada keterbatasan dalam liputan ini. Tapi itulah saya dengan gaya dan kepribadian saya.
Selama saya di Merauke dan bekerja sebagai wartawan media cetak di salah satu koran lokal beberapa kali menulis ficer, walaupun di sela-sela menulis hardnews sesuai dengan permasalahan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat dan pemerintah.
Setelah saya tidak lagi bekerja di media lokal ini karena media ini tidak lagi diterbitkan. Saya beralih bekerja sebagai stringer (kontributor)The Jakarta Post di wilayah Papua bagian tengah. Di media berbahasa inggris ini, saya lebih banyak mengangkat isu-isu humanis dengan menulis ficer.
Selama kurang lebih 7 tahun, berada di bumi cenderawasih, Papua, sebagiannya sudah saya keliling seperti Kota Jayapura, Nabire, Paniai, Asmat, Merauke. Berkat profesi ini saya bisa naik pesawat, helikopter.
Kurang lebih 6 tahun, saya tinggal di Kota Timika, Ibukota Kabupaten Mimika dengan profesi sebagai jurnalis. Saya tidak pernah beralih ke profesi lain, walaupun ada peluang untuk beralih ke profesi lainnya.
Sebagai seorang juru pena yang bekerja di media cetak, saya memiliki banyak teman seprofesi dari berbagai wilayah Indonesia yang merantau dan bekerja di bumi Cendrawasih.
Selain disebut bumi cendrawasih, Papua juga disebut dengan bumi sagu. Sagu merupakan makanan pokok orang Papua yang diolah menjadi Papeda, sagu sep, sagu bakar. Yang asyik selama berkarir sebagai jurnalis adalah saat ritual pesta bakar batu.
Ada begitu banyak kenangan yang tak pernah dilupakan selama berkarir sebagai jurnalis di tanah Papua yang kaya dengan sumber daya alamnya. Semua kenangan itu terpatri dalam sanubari. Apalagi, saya memulai berkarir sebagai juru warta di tanah Papua.
Memang, setiap daerah di Indonesia memiliki tantangan dan kesulitan masing-masing sesuai karakter, budaya dan kondisi alam. Dibalik semua itu ada rasa persaudaraan, kekeluargaan sebagai warga Indonesia.
Tantangan terbesar di profesi jurnalis adalah meliput di kampung-kampung dengan medan yang sulit. Akses jalan yang masih serba sulit.
Menempuh perjalanan jauh. Tapi, semua itu bisa dilalui dengan kekuatan kasih dan rasa syukur. Saya bersyukur dengan pilihan profesi ini. Entah sampai kapan, saya juga kurang tahu.
Wartawan Memakai Bahasa Kasih
Wartawan memiliki tugas utama mewartakan berbagai persoalan masyarakat, kebijakan pemerintah dan sosial, politik dan ekonomi.
Wartawan juga bekerja dengan regulasi undang-undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Tidak banyak yang ingin menjadi wartawan karena dinilai pekerjaan yang membahayakan nyawa. Bahkan ada yang bilang, wartawan itu kaum minoritas di dunia profesi dibanding profesi lainnya.
Wartawan itu meliput, menulis dan mempublikasikan berbagai profesi lainnya, tapi kadang-kadang dilupakan untuk ukuran kesejahteraan ekonominya.
Begitu banyak persoalan dimuka bumi ini membutuhkan seorang jurnalis untuk diwartakan. Tapi, begitu seorang wartawan mengalami persoalan, semua orang dari profesi lain banyak diam, bahkan cuek. Tidak peduli. Tidak hirau. Bahkan terjadi perundungan di berbagai platform sosial media.
Wartawan itu berjuang sendirian tatkala dirundung kasus. Alasan normal yang bisa dijumpai dalam diskusi informal adalah wartawan itu selalu menggeli-gelikan kekuasaan dan profesi lainnya.
Selain itu mengganggu kenyamanan dari profesi lainnya. Pada prinsipnya manusia selalu berada pada kondisi nyaman, walaupun manusia melakukan kebobrokan, ketidakadilan, rekayasa, apalagi kaum penguasa dan pengusaha.
Tidak sedikit wartawan menjadi korban pembunuhan, ketidakadilan, mendapatkan intimidasi, kriminalisasi, ancaman kekerasan, baik fisik maupun psikis.
Karena, wartawan selalu mengintip dengan ketajaman penanya untuk mengontrol, mengawasi, mengedukasi dan mewartakan informasi kepada publik dengan sudut pandang berbeda dari satu persoalan.
Wartawan Itu Petani Kata
Seorang wartawan itu selalu bermain di ladang kata, kalimat, paragraf, alinea dan menjadi sebuah berita yang dipublikasikan di media masing-masing, apalagi di era digital saat ini dan kedepannya dengan kemudahan mendirikan media online.
Seumpama seorang petani yang tidak memiliki gaji bulanan. Wartawan pun demikian di era status kontributor, wartawan lepas.
Petani bisa menghasilkan uang tiap bulan atau bahkan tiga bulan, enam bulan tergantung hasil pertanian, bahkan mungkin ada penghasilan harian dari hasil perkebunan.
Begitupun kehidupan seorang wartawan yang berstatus wartawan lepas, tergantung rajin menulis berita dan dipublikasikan.
Tidak ada ikatan resmi antara pemilik perusahaan media dengan wartawannnya yang berstatus wartawan lepas. Apalagi yang mendirikan media online tanpa ada kekuatan modal untuk membayar upah wartawannya.
Seumpama seorang petani yang mengolah lahan tandus menjadi lahan subur dan bisa ditanami dengan berbagai jenis tanaman yang menghasilkan kehidupan, begitupun seorang wartawan kata kasar menjadi bahasa halus, bahasa kasih, bahasa humanis yang menyejukkan semua orang.
Tapi ada sindiran-sindiran yang halus yang sering tidak diterima pembaca, apalagi kaum penguasa. Apalagi kalau dipahami dengan hati bahasa sindiran itu menguntungkan penguasa untuk mengubah diri, mengelola dengan adil kebijakannya.
Tapi, ada dugaan penguasa memiliki pemahaman dengan sumbu pendek dan menyulut api kemarahan. Maka, apalagi terjadi kemarahan, di sana ada kebencian dan dendam kesumat.
Memang tidak semua penguasa yang menaruh kebencian kepada wartawan. Ada juga penguasa yang humanis saat berhadapan dengan kuli tinta, dan era kini kuli digital.
Untuk itu era media online adalah era disrupsi yang kadang-kadang meresahkan profesi lainnya, tentu tidak semua.
Saya bersyukur dengan profesi ini, walaupun saya mengalami kesulitan, tapi saya tetap bertahan dengan memegang teguh pada integritas diri sebagai jembatan dari kaum marginal, terbuang dan dipinggirkan.
Saya meneruskan suara dari kaum tak bersuara. Ketika saya mengalami hidup susah, tidak ada yang peduli dengan saya. Dan saya sendiri bersama keluarga yang mengatasi kesulitan hidup.
Semua itu saya memegang teguh “jurnalisme kasih” dalam setiap pewartaan. Selain itu, sesama wartawan juga tetap mencari nyaman, dan tak peduli dengan sesama. Jangan berharap dari penguasa yang sudah menyimpan rasa benci dan dendam terhadap wartawan.
Kalau seandaianya para penguasa memahami bahwa wartawan itu menyalurkan bahasa kasih. Tentu banyak yang peduli saat seorang wartawan dirundung kasus, diadukan oleh pembaca dan publik di lembaga penegak hukum.
Khusus di Indonesia, wartawan dan media massa merupakan pilar keempat dalam negara demokrasi. Sebenarnya dari keempat pilar demokrasi terjadi simbiosis mutualisme.
Profesi Dilupakan Sekaligus Dirindukan
Sering dijumpai dalam keseharian bahwa profesi wartawan itu dilupakan sekaligus dirindukan. Karena apa dilupakan, karena ada yang kurang senang dengan apa yang diwartakan oleh wartawan di perusahaan medianya.
Apalagi seorang wartawan yang sudah mempublikasikan kebobrokannya, kemunafikan dalam kebijakannya, maka disana terjadi kebencian, dendam hingga menjurus untuk dilupakan. Hal ini nyata dalam keseharian di alam demokrasi.
Dibalik itu wartawan juga dirindukan oleh orang yang sedang memperjuangkan kebenaran, keadilan serta membela hak-hak asasi manusia.
Banyak persoalan yang ditutup-tutupi, dan kaum tak bersuara menyalurkan informasi kepada wartawan untuk dipublikasikan.
Banyak persoalan yang membutuhkan wartawan untuk dibuka ke publik, bahwa ada persoalan yang membutuhkan solusi konkrit.
Tak sedikit publik menilai bahwa wartawan sudah berpihak kepada penguasa. Tidak berpihak kepada kaum tak bersuara. Apalagi kalau berkaitan dengan politik.
Wartawan selalu dituduh oleh lawan politik bahwa wartawan sudah tidak jujur, berpihak kepada penguasa, berada di bawah ketiak penguasa dengan berbagai kecurigaan-kecurigaan yang tidak berdasarkan data dan fakta.
Kadang-kadang wartawan digiring oleh keinginan-keinginan lawan politik untuk memojokkan penguasa. Profesi wartawan itu seperti pedang bermata dua. Ada yang tajam dan ada yang tumpul. Kembali kepada pribadi wartawan itu sendiri.
Jikalau wartawan itu memiliki integritas, tentu tuduhan dan kecurigaan itu tidak benar. Tapi kembali kepada manusia rapuh. Tidak semua wartawan memiliki integritas dengan profesinya.
Ada dugaan dengan profesi ini mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Dengan itu wartawan tidak lagi memakai bahasa kasih dan humanis melainkan bahasa yang menyudutkan supaya tujuannya bisa terwujud.
Untuk itu wartawan harus kritis terhadap diri sendiri dengan pilihan, memegang teguh kejujuran dan diawasi hati nurani. Tanpa itu, seorang wartawan pasti goyah dan mengikuti arus utama yang menyakiti profesinya.
Dr Ignas Kleden dalam buku Fragmen Sejarah Intelektual, Beberapa Profil Indonesia Merdeka, Terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta 2020, mengangkat satu bagian tentang Mochtar Lubis: Tidak Takut Pada Rasa Takut. (Hal 296-305).
Menurut Mocthar Lubis, ada enam ciri manusia Indonesia, yang boleh kita pertimbangkan relevansinya juga masa sekarang, yaitu sikap munafik, takut bertanggung jawab, feodal, cenderung kepada takhyul, artistik dan watak yang lemah.
Bahkan Mocthar Lubis mengatakan korupsi pemikiran. Bahkan Mocthar Lubis mengutip George Orwell salam kaitan itu: jika pikiran kita mengkorupsi bahasa yang kita pakai, maka lambat laun bahasa akan mengkorupsi pikiran kita sendiri.
Dr Ignas Kleden menganalisa pemikiran Mocthar Lubis dengan mengatakan “Semakin berani seseorang berpikir merdeka dan menggunakan akal budinya semakin dekat dia ke arah pencerahan dan semakin berhasil juga pendidikan dan pengajaran yang dialaminya.
Sebaliknya semakin enggan seseorang berpikir merdeka dan takut menggunakan akal budinya secara penuh, semakin gagal juga pendidikan dan pengajaran yang pernah diperolehnya, dan semakin dalam dia terbenam dalam ketidakdewasaan yang diciptakan karena kesalahannya sendiri.
Selain itu Dalam Buku “Syukur Tiada Akhir Jejak Langkah Jakob Oetama,penyunting ST. Sularto, Pendiri Kompas Gramedia Group, (KKG), Jakob Oeatama membahasakan profesi jurnalisitik itu menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan (Hal 149).
Selain itu, Jakob Oetama menegaskan ” Jurnalisme Kepiting tetap berlaku bahkan perlu terus dikembangkan” selain itu profesi jurnalistik itu harus tahu diri, harga diri, terutama dapat dipercaya, itulah modal yang tidak lekang oleh gegap gempitanya perubahan. Modal sosial itu merupakan resultab dari karakter, integritas, dan kemampuan profesional.
Selain itu, Jakob Oetama bersama media KOMPAS mengembangkan jurnalisme makna, jurnalisme fakta, jurnalisme humanis dan kini jurnalisme berkualitas di era digital.
Ada begitu banyak jurnalis di Indonesia yang menulis, memberitakan berita dengan prinsip jurnalisme kasih. Kita bisa baca dari gaya penulisan dan pemberitaan.
Wartawan Setia Kepada Akal Budi
Seorang wartawan itu harus setia kepada akal budinya untuk melahirkan wartawan yang memiliki kedewasaan dalam mempublikasikan informasi dari masyarakat.
Ketidakdewasaan seorang wartawan apabila dia tidak setia kepada akal budinya.
Kedewasaan seorang bisa terbaca dengan karya jurnalistik dengan bahasa kasih atau menunjukkan “jurnalisme kasih”
Di dalam “jurnalisme kasih” termuat semua karya humanis, fakta, makna dan berkualitas.
Wartawan harus mengedepankan bahasa kasih dan di situ kekuatan utama seorang jurnalis setia kepada akal budinya.
Selamat Merayakan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2023.