Oleh: Kristiano G. Lasa
Menghentikan waktu adalah sebuah kesia-sian yang paling.
Hal itu menggambarkan kefanaan manusia.
Waktu adalah abadi. Dan manusia adalah fana.
Senja tengah mengurai gerimis. Waktu tengah mengurai kedekilan malam. Sampai ia tak mampu menahan kecupan pagi.
Namun, pagi tak sanggup menahan setiap kedipan nikmat raja siang dan berlalu kembali pada senja. Waktu adalah abadi. Manusia adalah fana.
Kepulan asap kopi memancing untuk cepat-cepat melakukan ciuman nikmat pada bibir cangkir.
Aku harus cekatan menancapkan bibir dan melumat setiap sisanya. Agar panasnya tak keburu pergi.
Meskipun nanti dinginnya yang abadi. Dua situasi itu mengingatkanku pada seonggok sabda yang menjadi daging dan menjelma pribadi yang paling manis di antara yang paling.
Namanya terus melekat jelas. Senyumnya telah mengubah sebagian cerita hidupku. Menikmatinya adalah derita yang paling dalam. Dan ia boleh dikatakan puisi paling sendu menyusup rindu.
Mengingatnya adalah nestapa. Memikirnya adalah kesia-siaan belaka. Namun, semua itu adalah guyonan kata semata. Buktinya, sampai saat ini aku tak mampu melepasnya pergi sampai selesai.
****
Mowak. Iya. Itulah nama yang enggan pamit dari ingatanku. Ia selalu saja abadi untuk sementara. Meski mengingatnya adalah derita. Aku tetap setia merawat derita dan luka demi memunculkan matanya pada mimpi malamku.
Tanpanya pagiku tak tampak. Karena pagi akan tetap pagi tanpa matahari dan pagiku tanpa dia adalah kebisuan tiada henti.
Bagaimana aku tidak bisa melupakannya sedang ia telah mencipta bahagia yang paling nikmat walau sesaat.
Aku telah menjalin relasi asmara dengannya selama tiga tahun dalam genggaman waktu. Begitu lama katanya, namun itu history singkat yang menitipkan sakit.
Kami pernah mengikrar janji setia pada seuntai puisi yang dituliskannya. Kemudian seiring berjalannya jam ia menghapus dan menggantikan tintanya. Kami juga pernah menenun bahagia.
Dan bahagia itu pernah bermekar. Lalu, ia layu dimakan oleh waktu oleh dusta dan kecupan sundalnya. Mowak telah bahagia ketika bahagiaku sempat bermekar.
Sekarang aku harus belajar untuk perginya. Aku harus menerima realita dan mencoba bahagia di atas susunan luka yang terus basah.
Kapan keringnya? Jangan engkau tanyakan kapan keringnya, tetapi berapa kali engkau membersihkan luka itu. Kepada waktu aku terus mengadu. Kenapa engkau mempertemukan aku dan dia yang menjadi sebab semua ini.
Tidak adakah yang pantas aku miliki? Atau apakah aku tidak pantas untuk dimiliki?
Gumulan-gumulan itu memperburuk keadaanku. Aku tak bisa tahan pada hati yang selalu menetes darah. Kini, aku benar-benar patah.Aku benar-benar jatuh. Dan Mowaklah sebilah pisau itu.
****
Hari-hariku seperti angin. Ia hanya berlalu. Aku tak kuat menahan segalanya. Punggung tak mampu menggendong setiap nestapa ini. Bahagia adalah diksi asing.
Yang abadi adalah sakit. Sembilu di hati enggan berlalu. Bagaimana ia berlalu, kalau mata sulit dipejam untuk setiap bayangnya.
Kini, orang mengibaratkanku seperti seekor burung yang pernah bahagia mempunyai sayap-sayap indah namun lupa akan ada saatnya patah. Tawa adalah derita. Dan derita adalah bahagia. Sekarang aku lebih sendiri.
Sepi sepertinya sejati. Ia setia untuk menanti sampai setiap cerita berurai sampai tak ada sisa dan ada hanyalah lupa. Kali ini aku terlempar dari kata-kata.
Tersisih dari syair-syair suci. Menjadi asing di dalam cerita sendiri. Sendiri adalah pilihan. Mencintai lagi adalah sebuah tolak.
Lebih baik aku besatu dengan sunyi, berdua dengan diam, dan bertiga dengan sepi dari pada berdua dengannya hanya memunculkan sepi-sepi seperti ini.
****
Sekarang adalah hujan dan kemarin adalah angin. Apakah engkau tetap menunduk pada sepi? Apakah engkau tetap berlutut pada luka? Tidakkah engkau punya hati untuk memiliki yang lain?
Suara-suara itu terus menggema dalam hati. Mereka terus bergaung dalam nadiku. Mereka tak berhenti bernafas sampai aku menundukkan sepi dengan hadirnya CABRINI.
Cabrini menjadi akhir dari segala sepi. Awal dari bahagia. Ia menjadikanku dewa dari bahagia. Kini sepi menepi. Tawa kian menyapa hari-hariku. Aku sudah bahagia.
Cabrini menyuguhkan cerita indah sampai aku senja. Senjaku menjadi bahagia ketika tertawa di hadapan wajah kaum-kaum papa. Ku akui pada Cabrini bahagia yang abadi.
Abadinya bahagia terletak pada menawan senyum yang terus menarik hatiku. Dan senyumnya terus membuat aku mencintainya.
Aku ingin mencintaimu sampai mubazir sampai pialaku penuh melimpah. Sampai aku mengedip kedipan terakhir di pangkuanmu Cabrini. Aku momang Ite.
****
Melangkah tanpa salah adalah bukan hidup. Hidup yang serba salah adalah bukanlah sebuah hidup. Terus apa itu hidup? Hidup adalah perpaduan antar yang pahit dan manis.
Yang manis bisa ditransformasi menjadi pahit dan tak menutup kemungkinan yang manis akan jatuh pada rayuan pahit. Kira-kira begitulah hubungan asmaraku dengan Cabrini.
Banyak kerikil-kerikil tajam yang selalu menjadi pengusik dari setiap bahagia kami. Ketika kami bahagia di situ ada rasa untuk saling melepaskan, sebaliknya jika ada derita dan luka menganga ada renjana untuk merapatkan.
Kami selalu terikat pada hubungan yang saling memiliki. Namun, aku sering melukai hati Cabrini. Secara tak sadar atau tidak aku terus melukai hatinya.
Kembali aku merenung apakah ini akibat dari hati yang pernah patah? Aku selalu merenung. Mencari sepi adalah pilihan. Dan hening adalah seni. Bagiku keheningan adalah jawab dari setiap tanya.
Tempat menghadirkan segala yang tak terlihat. Dan saya selalu percaya bahwa dalam hening ada damai yang paling dalam. Ada sejuk yang tak pernah terteguk oleh sebagian orang. Ada bahagia yang abadi.
****
Suatu senja aku sempat melepaskan Cabrini. Karena banyak tuntutan yang harus aku aku lakukan untuk menikmati hening pada matanya. Selain itu, aku juga telah tergoda oleh aksara bahagia dari Mowak.
Namun, dengan kelicikan pada bibirnya aku tak dibiarkannya pergi. Kakiku enggan melangkah ketika kumenikmati wangi tubuhnya kala kami beradu dekap. Mataku dibutakan oleh setiap kecupannya.
Pada bibirnya yang tipis bertengger kecupan-kecupan manis yang membuatku selalu betah dan lupa jalan untuk pulang. Dan sampai pada titik akhir aku menumpahkan segala cinta yang ada padanya.
Tak ada rasa untuk melepaskannya lagi. Bagiku ia sejatinya bahagia. Bahagia itu akan abadi bila datang dari sumber abadi dan mengalir pada mata-mata derita kaum papa.
Dan air akan sejuk bila diteguk dari gelas-gelas para pencari hidup. Dan senyum akan berarti bila disebabkan oleh tawa adari para pengungsi.
Dan mati akan abadi bila melepaskan nafas di laut dan mengedipkan mata pada bahagia migran.