Oleh: Yohan Rudin
“Bro, mau ke mana ew?” Tanya seorang pria, kepada temannya yang sedang lewat di situ.
“Saya mau pergi ke sana ew kawan”. Jawab temannya.
“Singgah ngopi dulu ko”. Kata pria itu, yang lagi asik duduk nongkrong di bale-bale depan warung kopi milik seorang gadis desa. Dia memilih nongkrong di tempat itu, bukan karena dia seorang pemalas atau pengganguran, melainkan karena ia senang dengan situasi di situ juga senang dengan kopi buatan sang pemilik warung.
Kopi buatan gadis terasa begitu nikmat ketika diteguk, bahkan dia bisa menjuluk si gadis dengan bunga mawar. Ia menjuluk sebagai bunga mawar, karena gadis itu bisa menebarkan aroma kebahagian kepada pria paruh baya itu.
Sambil menikmati secangkir kopi, kedua anak remeja terus mengobrol. Awalnya mereka dua mengobrol seputar kisah hidup mereka yang ambur aduk, baik itu berhubungan dengan pekerjaan maupun soal cinta.
Hingga pada akhirnya, mereka dua masuk pada satu topik yang cukup merangsang otak dan akal untuk terus berpikir sambil mencari solusi. Keduanya membahas tentang isu suasana politik di negeri yang mereka cintai.
Mereka mendengar dari suara hembusan angin topang tentang suasan negeri mereka. Karena itu mereka merasa cemas dengan keadaan yang membahaya itu.
Namun apalah daya, mereka hanyalah pria desa yang tidak dihargai ketika bersuara di ruang publik. Mereka hanya bisa berpasrah pada suatu keadaan.
Namun di balik kepasraan itu, mereka masih terus berusaha untuk berjuang mempertahankan demokrasi dan nilai pancasila yang menjadi dasar negara.
Menjelang adanya pesta demokrasi, ada begitu banyak isu yang saling menjatuhkan antara kelompok, baik itu kelompik politik maupun kelompok agama.
Hal ini menunjukkan bahwa kedewasan berpolitik di negeri kita yang tercinta ini belum nampak. Dan hal itu pula yang bisa membuktikan bahwa berpolitik di negeri kita, lebih cenderung mencari kesempatan untuk saling menjatuhkan satu dengan yang lain, bukan lagi untuk saling membangun dan mengisi kekosongan pada lawan.
Banyak para elit politik yang katanya bahwa mereka adalah para pejuang, tidak menunjukan kedewasan dalam berpolitk, melainkan lebih memilih menjadi provokator untuk menjatuhkan satu sama lain.
“Tindakkan itu, bukankah bisa mengamburadukan sistem demokrasi yang sudah tertanam di negeri kita?” Tanya pria itu pada kawannya.
Kawannya menjawab dengan tegas, bahwa itu pada dasarnya tindakkan yang bisa menghancurkan sistem demokrasi yang ada di negeri kita. Karena mereka yang adalah sang provakator, berusaha untuk merusak suasana menjelang pesta demokrasi. Dan seharusnya, orang seperti itu harus diadili.
Namun apa boleh kata, pemerintah untuk saat ini belum bisa memperhatikan hal itu. Atau mungkin pemerintah belum bisa melihat efek dari tindakkan yang dilakukan oleh para provakator itu bagi perkembangan demokrasi di negeri kita?
Benar sekali itu kawan, kata pria itu. Dan dia meneruskan, bahwa anehnya lagi adalah ada beberapa kelompok dari kalangan akademis yang merasa terprovokasi.
Hal itu, dibuktikan melalui beberapa cuplikan video yang beredar di media belakangan ini, yang menyatakan bahwa mereka (kelompok akademis) akan bersuara dan bahka mereka mengeluarkan sebuah ancaman yang cukup membahayakan bagi perkembangan bangsa yang kita cintai.
Hal ini juga mengakibatkan, semua orang akan berpikir bahwa ternyata ada sebagian kelompok akademis yang pada sebenarnya diharapkan untuk bisa berpikir lebih kritis, tidak bisa diharapakan lagi.
Mereka (kelompok akademis) lebih memilih untuk mengikuti kata seorang provokator yang tentu itu bisa membahayakan perkembangan negeri, daripada mengikuti alur pemikiran kritis yang mereka miliki untuk perkembangan negeri.
Memang benar bahwa di negeri kita, setiap orang memiliki hak dan kebebasan untuk bersuara atau mengkritik kinerja pemerintah. Namun bukan berarti kita dengan semena-mena, mengeluarkan argumen yang tidak benar.
Semestinya kalau ingin mengkritik, harus disertai dengan kritis, supaya kritikkan itu tidak menjebak diri sendiri. Setidaknya kritiklah yang bisa membangun negeri, bukan malah menjatuhkan negeri.
Hal ini bisa dikatakan bahwa untuk saat ini kita memang disebut sebagai negeri merdeka, tetapi ternyata itu hanya merdeka karena tidak dijajah oleh negeri lain.
Namun oleh negeri sendiri, kita sebenarnya belum layak disebut negeri merdeka, lantaran masih banyak orang yang memilih kepentingan sendiri di dunia politik lebih memilih untuk menjajah warga sendiri dan berusaha mematikan perkembangan negeri yang sementara hidup. Kata pria itu.
Benar sekali kawan, sebab yang terjadi sekarang ini bahwa banyak orang yang pada sebenarnya ingin mengkritik kinerja pemerintah, tetapi mereka tidak mempertimbangkan atau tidak kritis dengan argumen yang mereka angkat, sehingga argumen itu menjebak mereka sendiri.
Dan bahkan mereka mengkritik pemerintah bukan karena kinerjanya, melainkan kepribadiaan. Sehingga hal ini, bisa membuktikan bahwa sang pengkrtik pada sebenarnya bukan ingin membangun negeri, melainkan ingin membangun dirinya sendiri.
Tetapi hal itu, tidak diperhatikan secara benar oleh para pengikut atau yang sudah terprovokasi oleh ulah mereka (sang provokator).
Jika seandainya mereka (yang merasa diri terprovokasi), miliki pemikiran yang cerdas, tentu mereka bisa melihat, mana yang namanya kritik untuk membangun negeri dan mana kritik yang ingin membangun diri sendiri.
Banyak kritik yang dilantunkan tidak mendasar pada kinerja pemerintah, tetapi lebih ke pribadi pemerintah itu sendiri. Kata kawanya itu.
Lalu, apakah pemerintah membawa persoalan itu ke ranah hukum? Tanya pria itu kepada kawannya.
Untuk saat ini belum ada tindakkan lebih lanjut dari pemerintah terkait hal itu. Mungkin pemerintah membiarkan mereka untuk berkeliaran begitu saja di ruang publik.
Tetapi kalau seandainya, mereka terus membiarakan para provokator itu berkeliaran di ruang publik ini, maka suatu hal yang tidak inginkan bisa terjadi. Karena jika tidak ditertibkan mereka (sang provokator), maka pasti mereka akan terus berulah.
Bahkan sekarang mereka dengan berani membuat kelompok untuk melawan pemerintah. Dan lebih anehnya lagi, mereka menggunakan nama agama untuk berulah seperti itu.
Hal ini bisa berdampak besar, bukan hanya saja pada perkembangan negeri tetapi juga berdampak pada agama. Maka sistem toleransi yang sementara diperjuangkan saat ini, akan kembali menjadi redup.
Lantaran, kaum provokator bersuara tidak hanya saja atas nama kelompok politik tetapi juga atas nama agama. Kata kawannya itu.
Atas dasar hal ini, saya berpikir bahwa alangkah baiknya mereka (sang provokator) dan jajarannya itu harus diadili, agar sistem demokrasi ini tetap aman dan perkembangan negeri tetap berkelanjutan.
Dan untuk kaum terdidik, seharusnya mereka harus lebih berpikir kritis lagi. Jangan bersuara karena sudah dijanjikan masa depan. Ingat!
Apa yang kalian katakan hari ini, belum tentu kalian bisa lakukan disuatu hari nanti. Ada banyak bukti yang sudah terjadi. Banyak para tokoh politik yang dulunya menyatakan bahwa mereka bersuara hanya untuk mewakili rakyat, tetapi kini mereka sedang asik duduk di tempat yang bagus. Kata pria itu.
Setiap orang memiliki hak dan kebebasan untuk mengkrtik pemerintah, namun suatu hal yang perlu diperhatikan itu adalah hendaklah mengkritik yang bisa membangun negeri bukan karena kepentingan pribadi.
Dan jika ingin mengkritik, jangan mengkritik karena kepribadian pemimpin tetapi karena kinerjanya, juga kalau mau mengkritik, harus lebih kritis dalam berargumen supaya kesannya bahwa kritikkan yang dilontarkan itu tidak memiliki sisi lain di balik kritikkan.
Karena ada banyak yang mengkritik hanya karena bertujuan lain bukan karena bertujuan untuk membangun negeri. Negeri kita juga adalah negeri demokrasi dan berlandas pada dasar pancasila.
Oleh karena itu, hendaknya hilangkan intoleransi dan ketidakadilan. Karena sikap itu sangat tidak mencerminkan negeri yang berlandas pada dasar pancasila, juga jangan mudah untuk terprovokasi oleh kaum-kaum yang ingin memecahbelahkan kita. Kita seharusnya selalu bersatu dan bersuara demi kemajuan dan perkembangan negeri. Salam demokrasi.