Oleh: Siprianus Edi Hardum
Sekitar pada setiap bulan Juni tahun 1990-an. Banyak orang di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sepertinya seluruh Indonesia mengalami kesedihan, kecewa dan putus harapan (hopeless). Ada sebagian yang gembira ria, melantukan lagu pujian kepada Tuhan.
Mereka yang hopeless adalah mereka-mereka yang tidak lulus Ujian Akhir Sekolah Menengah Atas (SMA) yang disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS).
Bagaimana tidak hopeless, kalau tidak lulus EBTANAS maka harus ulang setahun di kelas III SMA kalau ingin melanjutkan sekolah. Itu pun tidak ada jaminan untuk lulus EBTANAS berikutnya.
Waktu itu, ada banyak siswa-siswi SMA yang tidak lulus EBTANAS mengulang kelas III SMA-nya di Nusa Tenggara Barat (NTB), tepatnya di Kota Bima, dan pasti lulus EBTANAS berikutnya. Bahkan ada yang sekolah beberapa bulan di kelas III SMA di Bima kemudian mendapatkan ijzah SMA.
Alumnus ijazah “rongket = katrol” di Bima ini, saat ini juga menjadi orang sukses di Manggarai Raya dan tempat lainnya seperti menjadi kepala desa dan anggota DPRD.
Entah mengapa di NTT waktu itu demikian “kejam”. Bahkan, banyak sekolah yang siswa-siswi kelas III-nya yang mengikuti EBTANAS 100% tidak lulus. Kompak sekali mengalami kemalangannya.
Mereka yang gembira ria adalah mereka-mereka yang lulus EBTANAS. Waktu itu, tidak banyak SMA yang persentasi kelulusan siswa-siswinya yang mengikuti EBTANAS di atas 80%.
Di NTT waktu itu, yang mendapat 80% kelulusan siswa-siswinya ketika mengikuti EBTANAS bisa dihitung dengan jari.
Di daratan Flores antara lain SMA Seminari Pius XII Kisol, SMAK Suryadikara di Ende dan SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo. Bahkan tiga SMA tersebut sering mendapatkan persentasi kelulusan 100%.
Mengapa Loyola Berkualitas?
SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo didirikan tahun 1983 oleh Kongregasi (Katolik) Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD).
Empat tahun kemudian atas izin Uskup Keuskupan Ruteng Mgr. Eduardus Sangsung, pihak SVD juga mendirikan Seminari Menengah Yohanes Paulus II Labuan Bajo di lokasi berdampingan dengan SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo.
Seminari Menengah Yohanes Paulus II Labuan Bajo bersekolah bergabung dengan SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo, sehingga seminari ini kala itu sering disebut “Seminari Gabungan”.
Artinya siswa-siswa seminari mengikuti mata pelajaran yang ditetapkan negara “berbaju” SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo.
Sedangkan beberapa mata pelajaran khusus untuk seminari “berbaju” seminari dan mata-mata pelajaran itu didapat pada sore hari di lingkungan seminari, seperti Mata Pelajaran Bahasa Latin, perdalam Bahasa Inggris, Liturgi dan Kitab Suci.
Sejak awal gedung seminari berdampingan dengan dengan SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo sampai sekarang.
Ketika penulis mulai belajar di SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo dan Seminari Yohanes Paul II Labuan Bajo tahun 1991 – 1994 sang Kepala Sekolah sekaligus Rektor seminari waktu itu, Pater Martinus Toke, SVD, selalu menyinggung dalam pidatonya bahwa SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo dan Seminari Yohanes Paul II Labuan Bajo adalah “Satu Tapi Dua, Dua Tapi Satu” atau “Dua Tapi Satu”, “Satu Tapi Dua”.
Waktu itu, Pater Martinus juga sering menyebut bahwa hanya dua Indonesia siswa-siswa seminari bersekolah bersama perempuan yakni Seminari Yohanes Paul II Labuan Bajo dan Seminari Gonsaga di Jakarta Selatan.
Banyak orang berpendapat dan penulis sepakat dengan pendapat itu, bahwa SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo begitu berkualitas kala itu lebih besar karena ada Seminari Yohanes Paul II Labuan Bajo di dalamnya.
Pasalnya, perekrutan siswa-siswa seminari sedikit selektif. Walaupun pada angkatan saya dan di depan saya, ada siswa seminari yang tidak naik kelas III di SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo atau atau tidak lulus pada sebagian mata pelajaran yang ditetapkan negara menurut ukuran SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo waktu itu.
Teman-teman yang tidak naik ke kelas III SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo ini pindah ke SMA lain di Ruteng dan Sape, Bima, NTB, dan ketika mengikuti EBTANAS teman-teman ini lulus, dan saat ini menjadi orang sukses.
Menurut informasi yang penulis dapat dari sejumlah guru SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo waktu itu teman-teman tidak dinaikan ke kelas III SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo ada rasa kekuatiran dari para bahwa siswa-siswa yang bersangkutan tidak akan lulus saat mengikuti EBTANAS.
“Kalau mereka tidak lulus maka malulah SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo,” kata seorang guru.
Karena tidak naik ke kelas III di SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo maka otomatis dikeluarkan dari Seminari Menengah Yohanes Paulus II Labuan Bajo.
Kesenjangan
Yang bersekolah di SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo (1991 – 1994) penulis merasakan terjadi kesenjangan antar kecerdasan siswa. Penulis rasakan waktu itu, yang masuk SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo tidak diseleksi.
Asal terima saja, demi penuh kuota. Mengapa harus banyak kuato? Sepertinya gaji guru sangat bergantung dari uang sekolah siswa-siswi kala itu.
Sebagian besar yang cerdas siswa Seminari Menengah Yohanes Paulus II Labuan Bajo dan sebagian kecil yang murni SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo.
Penulis rasakan ketika mata pelajaran Bahasa Inggris, saya dan beberapa teman yang sudah dianggap maju, disuruh ke Perpustakaan oleh guru Bahasa Inggris. Sang guru mengajar sebagian teman-teman yang sepertinya masih “merangkak”.
Padahal saya merasa Bahasa Inggris saya masih tertinggal jauh dibandingkan dengan teman-teman dari sekolah lain seperti teman-teman dari Seminari Pius XII Kisol atau sekolah lainnya di NTT yang bagus waktu itu.
Tapi walaupun demikian angkatan di depan kami, angkatan kami lulus tahun 1994 dan angkatan di belakang kami lulus 100% saat EBTANAS.
Ya, ini semua karena kesabaran dan ketekunan para guru kala itu. Mereka sangat sabar mengajar kami dan sebagian teman-teman yang masih “merangkak” dalam banyak mata pelajaran.
Ya, sebagian besar guru kala itu cerdas pada bidangnya dan sungguh berkorban untuk menyukseskan anak didik mereka.
Namun, memang ada beberapa guru yang sepertinya tidak layak menjadi guru. Penguasaan akan bidang yang menjadi jurusannya saat kuliah, penulis rasakan mereka tidak menguasai. Mungkin karena kekurangan tenaga guru waktu itu, sehingga mereka diangkat menjadi guru.
Loyola Kini dan Akan Datang
Sudah lebih dari satu dekade SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo tidak lagi”Satu Tapi Dua, Dua Tapi Satu” tapi satu seperti sejak tahun 1983 – 1987.
Perpisahan dengan Seminari Menengah Yohanes Paulus II Labuan Bajo bukan melalui perpisahan yang baik, tetapi karena terjadi “gontok-gontokan”. Hal ini terlihat sampai sekarang masih “perang dingin”. Sungguh tidak bagus!
Penulis atau mungkin teman-teman lainnya merasakan kurang bagus ketika datang ke Seminari Menengah Yohanes Paulus II Labuan Bajo tidak mampir di SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo, begitu juga sebalikanya. Perasaan penulis masih pada semboyan ”Satu Tapi Dua, Dua Tapi Satu”.
Lalu bagaimana SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo tanpa Seminari Menengah Yohanes Paulus II Labuan Bajo?
Penulis sangat yakin begitu berpisah dengan Seminari Menengah Yohanes Paulus II Labuan Bajo hampir satu decade yang lalu, SVD telah menyiapkan dan telah melaksanakan strategi yang tepat untuk menjadi SMA yang berkualitas di ujung Barat Pulau Flores.
Walaupun demikian, penulis menyampaikan beberapa masukan atau harapan. Pertama, rekrut guru yang berkualitas, hindari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kalau bisa percayakan lembaga tertentu yang terpercaya untuk merekrut para guru. Kedua, berilah gaji guru yang layak. Bisa juga guru berpraktik bidoh karena gaji kecil.
Ketiga, rekrutlah siswa-siswi dengan standar tertentu. Keempat, tegakkan disiplin. Kelima, sering-sering studi banding dengan sekolah berkualitas lainnya terutama sekolah swasta di Pulau Jawa.
Keenam, laksanakan sayembara berkala dalam bidang penulisan artikel untuk para siswa-siswi, resensi buku, lomba cerdas cermat, debat ilmiah berbahasa Indonesia dan Inggris dan lain-lain.
Ketujuh, siapkan buku-buku yang bagus dan sesuai untuk siswa-siswi. Siapkan komputer dan akses internet di sekolah, supaya siswa-siswi bisa mengikuti perkembangan.
Kedelapan, jadikan SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo sebagai tempat yang mencetak manusia berkualitas untuk bangsa dan negara serta gereja (Pro Patria at Ad Majorem Dei Gloriam).
Ingat, seorang menjadi manusia berkualitas dan berguna untuk negara dan gereja hanya karena dua hal yakni lapangan pengalaman (Field of Expriences) dan lapangan bacaan (Field of References).
Lapangan pengalaman selain dari keluarga dan masyarakat juga pengalaman di sekolah seperti bertemu guru-guru yang cinta ilmu pengetahuan dan menjunjungi tinggi etika dan norma sosial serta hukum.
Lapangan bacaan tentu pengajaran para guru, buku-buku yang dibaca serta teks ilmu pengetahuan yang diakses dari berbagai sumber. Jadikan SMAK Ignatius Labuan sebagai lapangan bacaan dan lapangan pengalaman.
Akhirnya penulis mengucapkan Selamat Ulang Tahun ke-40 SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo (29 Juli 1983 – 29 Juli 2023).
[Penulis adalah alumnus SMAK Ignatius Loyola Labuan Bajo dan Seminari Menengah Yohanes Paulus II Labuan Bajo 1991 -1994. Saat ini bekerja sebagai advokat di Jakarta].