Ruteng, Vox NTT- Kehadiran Geothermal di wilayah Poco Leok, Kecamatan Satarmese Kabupaten Manggarai, membuat masyarakat terpecah belah.
Hal itu disampaikan oleh Agustinus Tujuh, tua adat kampung Ndendru dalam orasinya, saat mengelarkan aksi di Ruteng pada Rabu (9/8/2023).
Massa dari Poco Leok menggelar aksi di depan Kantor DPRD Manggarai dan Kantor Bupati. Mereka menggelar aksi itu untuk penolakan pengembangan geothermal di wilayah mereka.
Agustinus mengatakan, kehadiran PT PLN dalam pengembangan geothermal di wilayah Poco Leok membuat suasana kehidupan masyarakat setempat sangat terganggu.
“Sebelum ada isu untuk pengembangan geothermal, masyarakat Poco Leok itu aman-aman saja. Begitu ada rencana pengembangan geothermal kehidupan masyarakat di Poco Leok menjadi terpecah belah,” kata Agustinus.
Menanggapi demonstrasi masyarakat dari Poco Leok, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Manggarai, Simprosa Rianasari Gandut, mengaku belum bisa mengambil keputusan sendiri sebelum adanya pembahasan bersama di lembaga dewan.
Sebab ia mengaku, sejak adanya rencana perluasan PLTP Ulumbu sampai adanya SK Penetapan Lokasi oleh Bupati, lembaga DPRD Manggarai tidak pernah dilibatkan.
“Tolong kami diberi waktu, untuk berkomunikasi dan mengalokasikan waktu untuk Rapat Dengar Pendapat (RDP). Sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perluasan PLTP Ulumbu, kami tidak pernah dilibatkan pada saat bupati mengambil keputusan,” kata Politisi Partai Golkar itu.
Usai menggelar aksi di depan Kantor DPRD Manggarai, massa aksi kemudian bergeser ke Kantor Bupati Manggarai. Namun Bupati tidak berada di tempat dan sedang berada di luar kota.
Massa aksi akhirnya berdialog dengan Wakil Bupati Manggarai, Heribertus Ngabut. Di hadapan Wabup Heri, warga menyampaikan sejumlah tuntutan dan alasan penolakan rencana perluasan PLTP Ulumbu.
Menurut warga, pembangunan PLTP di Poco Leok sangatlah berdampak pada aspek lingkungan, karena akan menyedot air di Poco Leok secara besar dan meningkatkan potensi longsor serta berpotensi terjadi kebocoran gas jika ada pergerakan tanah.
Sementara secara ekonomi, pembangunan PLTP akan merampas tanah adat masyarakat Poco Leok, dan akan menyebabkan penurunan produktivitas pertanian sehingga akan bertambahnya migrasi pemuda ke kota ataupun ke luar negeri untuk menjadi buruh.
Dari segi kesehatan, limbah asap PLTP dapat berakibat buruk bagi kesehatan. Terbukti di Desa Wewo, tempat PLTP Ulumbu 1-4 berdiri, menyumbang korban penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) terbesar dari tahun 2017 sampai 2019.
Secara sosial-politik, pembangunan PLTP dapat merusak hukum adat dan sistem sosial Adat Manggarai yang selama ini dijaga masyarakat adat Poco Leok.
Salah satu warisan budaya yang terus dijaga hingga saat ini adalah falsafah Lampek Lima yang menjadi satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan, karena jika salah satu dari falsafah tersebut hancur maka pandangan serta identitas orang Manggarai pun dengan sendirinya hancur.
Hal ini juga yang menjadi landasan utama bagi masyarakat Poco leok untuk menjaga warisan budaya secara regenerasi. Selain itu, politik pecah belah di tengah masyarakat akan bertambah parah akibat upaya PLN yang masuk mempengaruhi masyarakat tanpa melalui rumah Gendang, dan menawarkan berbagai macam iming-iming palsu.
“Aksi hari ini merupakan hasil partisipasi kami warga Poco Leok, sekaligus memperingati momen hari masyaraka adat internasional, kami dari 10 gendang menuntut Bupati untuk mencabut SK Penetapan lokasi,” kata Agustinus Tuju, saat dialog dengan wakil Bupati Manggarai.
Agus menilai, dalam proses perluasan PLTP Ulumbu, pihak PLN tidak menghargai adat di wilayah itu, karena proses sertifikasi tanah tanpa melalui gendang, mereka juga ke lokasi tanpa melalui gendang. Tanah di Poco Leok adalah tanah adat, yang tidak bisa dialihfungsikan menjadi tanah perusahan.
“Kami sangat-sangat tidak setuju ada geothermal di Poco Leok, karena itu sangat berdampak buruk, baik dari segi sosial, budaya dan ekonomi. Berapapun biaya ganti rugi yang ditawarkan kami tidak mau, kami tida butuh uang tapi kami butuh hidup,” pungkasnya.
Sebab itu, warga mendesak Menteri ESDM untuk mengevaluasi dan mencabut Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 yang menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi. Sekaligus segera menghentikan seluruh proses rencana perluasan PLTP Ulumbu ke wilayah Poco Leok.
Warga juga mendesak Bupati Manggarai untuk mencabut SK Nomor HK/417/2022 tentang Penetapan Lokasi Perluasan PLTP Unit 5-6 di Poco Leok, dan segera mengambil langkah konkret untuk menghentikan seluruh proses survey dan pematokan lahan untuk perluasan proyek panas bumi Ulumbu ke Poco Leok oleh Dinas ATR/BPN Manggarai.
Mereka juga mendesak Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) untuk segera mengevaluasi dan menghentikan pendanaan transisi energi di Indonesia, baik untuk keseluruhan proyek geothermal di Pulau Flores, maupun secara khusus untuk perluasan proyek tambang panas bumi Ulumbu ke Poco Leok.
Tak hanya itu, mendesak PT PLN (Persero) untuk menghentikan seluruh proses perluasan wilayah operasi tambang panas bumi Ulumbu ke Poco Leok.
Warga mendesak Plt. Gubernur NTT, DPRD Provinsi NTT, DPRD Kabupaten Manggarai untuk segera menyurati Menteri ESDM, PT PLN, Kapolri, dan Bupati Manggarai agar seluruh proses rencana perluasan operasi tambang panas bumi Ulumbu ke Poco Leok dihentikan, sekaligus mendesak aparat keamanan untuk hentikan tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap warga Poco Leok.
Menanggapi hal itu, Wakil Bupati Manggarai berjanji akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan Bupati Hery Nabit. Sebab ia mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses rencana perluasan PLTP Ulumbu.
Wabup Heri Ngabut juga meminta kepada pihak PLN agar menghentikan sementara semua proses perluasan PLTP Ulumbu sebelum ada hasil koordinasi dengan Bupati.
“Sabar dulu, sambil kita mendiskusikan barang ini dengan Bupati, PLN dan juga pihak lain yang terlibat di sana. Aktivitas di lapangan itu, jangan dulu menurut saya. Karena kalau itu dipaksakan maka tidak ada gunanya diskusi. Karena luka akan bertambah hebat,” ungkapnya.
Terkait tuntutan warga, Wabup Heri mengaku menunggu koordinasi dengan Bupati, karena SK itu dikeluarkan oleh Bupati.
“Pemerintah melalui Bupati membuat SK itu tentu ada dasarnya, maka telusuri lagi berita acara kesepakatan. Jujur, memang saya belum dilibatkan, tapi tidak apa-apalah. Bagi saya tentu ada prosedur dari aspek pemerintahan,” katanya. [VoN]