Oleh: Yohan Rudin
Sedang menjalani OTP di Tchad -Afrika
Dari balik jeruji besi sepasang mata terus menatap ke arah alam bebas. Ada banyak harapan yang terpancar di balik bola matanya yang dari hari ke hari sudah mulai suram.
Dalam hatinya terselip sebuah mimpi untuk menjadi seperti seekor burung di udara yang terus menebarkan sayap kebebasannya di langit-langit kebahagiaan.
Namun mimpinya itu berlahan-lahan redup, lantaran sayap-sayap kebahagiannya telah dipotong dengan sebilah parang kedustaan.
Ia adalah seorang yang menjadi korban dari sebuah kekuasaan. Ia tak berdaya atas kecurangan yang dibuat oleh para penguasa.
Di balik jeruji besi itu, ia hanya bisa berusaha untuk menjahit keadilaan yang sudah hancur.
Namun uang yang dia miliki untuk membeli benang hukum yang berkualitas tidak cukup dan jarum kebenaran yang dia miliki tidak bisa digunakan lagi.
Lalu ia mencoba menggunakan uang kejujuran untuk membeli benang hukum yang berkualitas, tetapi sang penjual benang hukum tidak bisa menerima itu. Karena mereka hanya membutuhkan uang kebohongan.
Ia terus mengeluh dengan sang waktu, yang tidak memberikan dia kesempatan untuk mendapatkan benang hukum yang berkualitas dan layak digunakan.
Ia merajuk pada kesepian, karena tidak membiarkaan dia bercerita yang sebenarnya.
Ia merasa menderita di dalam ruang yang sempit dan serba kekurangan itu. Namun ia tidak pernah merasa frustasi untuk terus berusaha mencapai segala apa yang ia ingin perjuangkan.
Raganya yang kuat terus memberikan semangat kepada jiwa untuk selalu membicarakan kebenaran yang ada.
Dalam kesendirian ia selalu dihantui oleh peristiwa yang telah menimpa dirinya itu. Ia adalah hanya seorang yang menjadi korban dari kekuasaan.
Banyak pihak yang terlibat dalam peristiwa itu, tetapi mereka bersembunyi di balik kekuasaan yang mereka miliki.
Bahkan mereka telah bersaksi palsu atas peristiwa yang terjadi dan berpura-pura tidak mengenal dia yang menjadi korban dari tindakkan mereka.
Atas dasar hal itu, ia terus berusaha untuk mengungkapkan kebenaran. Namun perjuangan itu, belum juga membuah hasil yang memuasakan.
Lantaran pihak berwenang lebih percaya pada yang berkuasa daripada yang berbicara tentang kebenaran.
Ia terus membicara fakta yang sebenarnya kepada pihak berwenang, tetapi itu tidak berhasil karena ia berbicara tanpa ada sesuatu di tangan. Sebab yang berwenang akan berpihak bukan pada yang isi bicaranya benar tetapi isi amplop kosong.
Namun mereka akan berpihak pada yang isi bicaranya omong kosong tetapi isi amplopnya benar. Hukum yang berlaku tidak lagi bisa diandalkan untuk membela kebenaran, tetapi ia lebih membela siapa yang berkuasa.
Orangtuanya terus mengetuk pintu hati yang berwenang, agar bisa membuka pintu keadilaan. Namun, lagi-lagi perjuang dari seorang ibu tidak dihargai, lantaran ia mengetuk pintu tanpa memberikan secarik kertas yang bernilai harganya.
****
Dari balik jeruji, ia duduk tertunduk lesu tak berdaya, lantaran pagi tadi ia mendapatkan kabar duka dari kampung halamannya.
Ibunya melakukan bunuh diri, karena merasa tak berdaya dalam mencari keadilan di tengah hiruk pikuk jual beli hukum oleh pihak berwenang.
Ibunya mengalami serangan psikologis, karena masyarakat yang menganggap keluaraga mereka sebuah keluarga penjahat. Ia merasa buntuh di tengah dunia yang begitu luas, tetapi jalan untuk mencari keadilaan terlalu begitu sempit.
Ibunya merasa frustasi, lantaran keadilaan hanya disediakan untuk yang memiliki kuasa saja.
Sang anak yang lagi berusaha untuk mengungkapkan kebenaran agar mendapatkan keadilaan merasa terpukul ketika mendapatkan kabar duka itu.
Dari balik jeruji ia meratapi atas kepergian ibu tersayangnya. Hatinya terasa hancur, caci-maki terus membasahi bibirnya.
Ia tak ada kata untuk mengungkapkan isi hatinya, selain caci-maki kepada pihak yang memiliki kekuasaan.
Dan seketika itu pula, ia merasa tidak percaya pada Tuhan. Karena ia merasa bahwa Tuhan membiarkan dia menderita dalam kesendirian dan membiarakan ibunya melakukan bunuh diri.
Dalam diam dan ditemani oleh kesunyian sang anak membuka secarik surat yang ditinggalkan oleh sang ibu sebelum bunuh diri.
Dalam surat itu, sang ibu berpesan:“Nak, saya telah lelah untuk mencari keadilan di dunia yang begitu luas ini. Saya lelah, bukan karena saya tidak mampu untuk berkeliling dunia yang begitu luas, tetapi karena harapanku yang besar untuk menemukan keadilaan tidak bisa muat di jalan keadilaan yang begitu sempit. Saya merasa tersesat di dalam jalan yang sempit. Ingin ku gali jalan yang sempit itu, agar sedikit lebih luas, tetapi apalah daya saya hanyalah seorang wanita yang tidak memiliki banyak harta untuk membeli beberapa alat yang bisa digunakan. Sebab alat yang ada di beberapa tokoh, tidak ada yang memberikan secara gratis atau menjual dengan harga yang cukup murah. Nak, saya sudah lelah dan merasa buntuh. Saya tersesat di dalam pikiranku sendiri. Karena itu, saya hanya bisa berpasrah dan menyerah dengan keadaan. Nak, saya pergi lebih dulu menuju ke surga, untuk menemukan keadilaan. Karena di dunia yang luas ini, saya belum menemukan keadilaan. Saya harap, ko tidak menyerah dengan situasi dunia yang tidak seperti yang dilukiskan dalam pemikiran mu. Ko harus tetap kuat dengan keadaanmu. Saya selalu mendukungmu dari surga. Ingat ya nak, bahwa keadaanmu bukanlah sebuah beban yang ringan untuk ko pikul, karena itu biarkan saya membantumu untuk memikulkan semuanya itu. Ko, harus tetap kuat dan menjalani kehidupanmu dengan penuh rasa syukur. Tuhan pasti akan membantumu dalam menemukan keadilaan. Jika saat ini, mereka yang memiliki kekuasaan berbahagia di atas penderitaanmu, maka suatu nanti mereka pasti akan menderita lebih dari yang ko alami saat ini. Tetap percaya pada Tuhan ya nak. Karena Tuhan tidak membiarkan hamba-Nya untuk menderita dalam kesendirian. Dia akan selalu hadir untuk membantumu dalam menemukan keadilaan. Terimakasih ya nak. Ibu pamit dulu. Maaf, karena ibu tidak bisa membantumu sampai titik akhir. Ibu berjanji untuk selalu ada di sisimu dan mendoakanmu dari surga. Tetap kuat ya nak…”
Air matanya perlahan menetes membasahi pipinya yang terlihat pucat karena kurang istirahat dan makan. Surat dari sang ibu itu, membuatnya semakin terpukul.
Karena ia berpikir bahwa semuanya itu terjadi karenanya. Ia yang adalah korban dari kekuasaan, merasa frustasi akan semua apa yang menimpah dirinya saat ini. Ia merasa tak berdaya dalam menghadapi semuanya itu.
Sedangkan orang yang memiliki kekuasaan yang adalah orang yang menjual namanya ke kantor pengadilaan, sedang berfoyah-foyah dengan keluarga. Mereka tidak merasa bersalah atas tindakkan yang mereka perbuat.
Mereka sudah meraih keuntungan dari tindakkan mereka, sedangkan ia mengalami kerugian besar bahkan menderita di dalam jeruji besi.