Kupang, Vox NTT- Ketua Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nusa Tenggara Timur, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, meminta agar menghentikan privatisasi pesisir di provinsi itu. Sebaliknya harus memperluas wilayah yang dikelola rakyat.
Umbu meminta hal tersebut dalam rangka merayakan Hari Maritim nasional (baca, Indonesia) yang berlangsung, Senin, 21 Agustus 2023.
Menurut dia, peringatan Hari Maritim di era Jokowi dua periode tentu seharusnya lebih kuat mengingat politisi PDIP itu mengusung tema poros maritim dalam jargon pembangunannya.
“Kita tentu harus melihat sejauh mana progres pembangunan maritim di era ini. Termasuk didalamnya, propinsi kita, NTT. Sayangnya seiring perjalan waktu, gerakan Maritim ini tinggal jargon kosong. Beberapa indikasinya, Dalam perspektif ekonomi (PAD NTT) tidak terlihat kontribusi yang memadai dari sektor Maritim. Hal ini dikarenakan salahsatunya, program program pembangunan NTT bias darat,” ujarnya dalam rilis yang diterima awak media, Selasa (22/08/2023).
Kondisi kelautan dan pesisir di NTT makin memprihatinkan dengan adanya kebijakan “memunggungi” laut. Yakni membiarkan kebijakan privatisisi kawasan pesisir yang merajalela. Contohnya, membuka ruang privatisasi di pesisir kota Kupang ( Pasir Panjang, Teluk Kupang)
Berkurangnya wilayah kelola rakyat di pesisir. Ada banyak nelayan yang sulit akses ke laut atau bahkan sekadar menambatkan perahu karena adanya privatisasi pesisir. Bahkan akses publik untuk melakukan rekreasi di pantai kian berkurang. Contoh kasus, Kota Kupang.
Tidak saja Kota Kupang, Labuan Bajo dan beberapa Kota pesisir lainnya di NTT seakan meniru model pembangunan di ruang pesisir Kota Kupang.
Perlindungan ruang pesisir sama sekali tidak diperhatikan, penghancuran ruang pesisir sekaligus juga memutus akses masyarakat umumnya termasuk nelayan tradisional. Privatisasi ruang pesisir untuk kepentingan investasi dilegitimasi oleh pemerintah melalui peraturan.
Pencemaran laut dibiarkan. Penyelesaian kasus pencemaran laut Timor praktis tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah provinsi. Upaya penyelesaian justru banyak diinisiasi masyarakat sipil di NTT. saat ini juga pencemaran di laut Kupang tidak dikontrol oleh pemerintah daerah. Sampah banyak di laut karena aktivitas pembangunan yang tidak diurus serius dampak lingkungannya.
Contoh lain, sebut Umbu, Industri Tambak Garam dalam skala besar juga memberikan dampak buruk bagi keberlanjutan mangrove di wilayah pesisir. Seperti yang terjadi di Kabupaten Malaka pada 2018 silam, pembangunan industri tambak garam yang direncanakan seluas 5200 hektar di ruang pesisir kabupaten Malaka telah menggusur kurang lebih 300an hektar mangrove dan tanaman lain di Wilayah Pesisir Malaka.
Selain itu, kehadiran PLTU Ropa di Kabupaten Ende, juga memberikan dampak buruk pada lingkungan. Pencemaran lingkungan dari aktivitas perusahan tersebut datang dari fly ash batu bara yang mencemari lingkungan sekitar termasuk ekosistem laut.
Semua Contoh kasus pencemaran wilayah pesisir laut di NTT ini merupakan contoh dari kegagalan Gubernur NTT mengurus Maritim di NTT.
Kota Kupang, Ketidakadilan Antargenerasi dan Menuju Kota Maritim yang Gagal
Umbu mengatakan, beberapa minggu terakhir warga Kota Kupang melakukan protes atas kebijakan pemerintah Kota Kupang memberikan Teluk Kupang kepada investor. Warga menginginkan agar kawasan teluk kupang menjadi ruang terbuka hijau bagi publik di Kota Kupang bukan untuk investor.
Permintaan ini lantaran warga sudah muak dengan kebijakan pemkot yang terus memberikan izin pembangunan hotel dan bisnis lainnya di pesisir Kupang atas nama pembangunan.
“Kita bisa melihat betapa kawasan pasir panjang kini ruang publiknya kian tidak memadai. Yang terjadi, deretan hotel hotel dan bisnis lain yang mengakibatkan sulitnya kases warga dan nelayan ke pesisir serta tercemarnya laut kupang. Pemerintah Kota Kupang gagal untuk mewujudkan peradaban kota pesisir (Maritim) yang berkelanjutan dan berkeadilan buat warganya,” jelas Umbu.
Beberapa fakta kegagalan tersebut, kata dia, yakni
dalam perspektif keadilan. Saat ini telah terjadi ketidakadilan antargenerasi di Kota Kupang khususnya ekspresi publik di wilayah pesisir. Generasi tua, muda, anak-anak yang ada di Periode 1990-an hingga awal 2000-an, masih bebas akses ke pantai untuk rekreasi atau kepentingan ekonomi.
Begitupun ruang kelola nelayan masih sangat luas. Namun kini, orang tua, muda, dan anak-anak sudah sulit bahkan tertutup aksesnya ke pantai.
Bahkan pengakuan dari warga, untuk sekadar parkir motor di sekitar Hotel yang ada di pasir panjang saja dilarang oleh pihak keamanan hotel. Di sinilah letak ketidakadilan antar generasi itu. Kebijakan pemkot di pesisir Kupang yang mengakibatkan ketidakadilan ini terjadi.
Ruang kelola dan rekreasi rakyat tidak nyaman dan kian terbatas di pesisir. Tercemarnya laut Kupang oleh sampah pembangunan dan adanya kebijakan “menemboki” pesisir membuat nelayan dan rakyat kebanyakan tidak punya akses.
Padahal UU no 1 tahun 2014 tentang perubahan atas UU no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil. Daerah sempadan pantai adalah kawasan milik negara yang hanya boleh untuk konservasi, rekreasi rakyat dan pembangunan yang terkait dengan infrastruktur ruang publik rakyat. Dan daerah sempadan pantai adalah 100 meter dari batas air pasang tertinggi. Faktanya di Kota Kupang hal itu tidak sesuai.
Area konservasi dan ketahanan menghadapi bencana. Dengan kebijakan Pemkot, area konservasi berkurang drastis. Hal ini dapat mengakibatkan rusaknya ekosistem pesisir dan laut di Kota Kupang.
Hilangnya mental Maritim. Potret kebijakan pemkot bila terus dipertahankan seperti saat ini maka mental maritim kita akan hilang. Kita akan semakin abai dengan pesisir dan laut. Tidak mungkin menciptakan mental cinta laut kepada generasi kita kalau akses terhadap laut pesisir saja kian dipersulit dari waktu ke waktu.
Dalam aksi Hari Maritim Indonesia 21 Agustus 2023 ini, WALHI NTT menyatakan sikap bahwa, (Pemerintah Provinsi dan Kab/kota di NTT). Gerakan maritim di NTT tidak pernah terwujud karena kebijakan lain justru mempersulit akses untuk ke pesisir/laut dan semakin menambah kerentanan di wilayah pesisir laut NTT.
Oleh Karena itu, Pemerintah Propinsi dan Kab/kota di NTT membuat kebijakan yang melindungi kepentingan nelayan dan rakyat kebanyakan dari upaya pencemaran laut dan privatisasi kawasan pesisir di NTT.
Stop kebijakan pariwisata pesisir berbasis investor, perluas ruang pariwisata pesisir yang dikelola oleh rakyat.
Menghentikan pencemaran laut di NTT oleh sampah/limbah industri.
Kebijakan pemerintah daerah agar patuh pada UU no 1 tahun 2014 tentang perubahan atas UU no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil.
Pemerintah Kota Kupang, Pejabat Wali Kota Baru harus tegas dan Jangan Lanjutkan Kesalahan Tata Kelola Pesisir Kupang, Mengevaluasi Perda no 11 tahun 2011 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Kupang.
Stop pemberian izin pembangunan yang tidak terkait dengan kepentingan publik di pesisir Kota Kupang sebagaimana diatur dalam UU no 1 tahun 2014 tentang perubahan atas UU no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil.
Evaluasi semua perizinan di kawasan pesisir Kota Kupang.
Patuh pada UU no 1 tahun 2014 tentang perubahan atas UU no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil dan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 51 tahun 2016 tentang batas sempadan pantai yakni minimal 100 meter dari air pasang tertinggi pantai.
Hentikan kebijakan lama, Teluk Kupang harus jadi ruang terbuka hijau dan ruang ekspresi publik. [VoN]