Oleh: Ano Parman
Warga Lembor Selatan-Mabar
Dari gelas ke mulut, banyak hal bisa terjadi. Mungkin itu ungkapan yang pas menggambarkan koalisi pencapresan sekarang.
Tak ada kata pasti sampai pendaftaran KPU dibuka Oktober mendatang. Koalisi yang ada bersifat sementara dan bisa berubah seiring berkembangnya dinamika politik.
Soalnya, tak ada jaminan apapun koalisi itu permanen dan punya tiket berlabuh pada Pilpres 2024 mendatang.
Hengkangnya PKB dari Koalisi Kebangkitan Raya membuktikan itu. Partai bentukan PBNU tersebut membelot ke Koalisi Perubahan setelah setahun lebih membina koalisi bersama Partai Gerindra.
Tapi, akhirnya kedua partai itu tiba-tiba berpisah tanpa sebab yang jelas. Publik tercengang dan bertanya-tanya, apa yang terjadi?
Betapa tidak, partai pendukung Presiden Jokowi itu tiba-tiba berubah haluan dan menggelorakan semangat perubahan; semangat yang bertentangan dengan spirit keberlanjutan Pemerintahan Jokowi.
Seakan berbalas pantun, Partai Demokrat yang sejak awal bersama Partai Nasdem dan PKS menggalang poros perubahan justru keluar dari koalisi itu lalu merapat ke koalisi Prabowo yang ditinggalkan PKB.
Demokrat kecewa lantaran sang ketua umumnya gagal menjadi cawapres Anies Baswedan.
Padahal posisi itulah yang diperjuangkan habis-habisan oleh partai berlambang Mercy di poros perubahan.
Fenomena semacam itu bisa terjadi lagi pada partai lain. Peluang itu masih terbuka, sebab saat ini tak ada aturan negara yang mengesahkan koalisi yang ada, di samping pergerakan partai-partai politik yang masih dinamis dan belum terkunci.
Karena itu, tak ada jaminan juga ada tiga poros yang bertarung dalam Pilpres 2024 sebagaimana yang diyakini selama ini oleh sejumlah pengamat politik.
Kemungkinan bisa lebih atau sebaliknya berkurang tergantung perkembangan hari-hari ke depan.
Dinamika koalisi di atas turut mempengaruhi molornya penetapan cawapres, terutama pada Poros Prabowo dan Ganjar.
Sampai sekarang, kedua capres itu belum mengumumkan cawapres definitif. Padahal, pendaftaran pasangan capres dan cawapres sebentar lagi akan dibuka KPU.
Diduga hal tersebut dipicu belum ada titik temu antara anggota koalisi perihal satu nama cawapres.
Soalnya, sosok cawapres yang diusung selain kontributif secara elektoral, juga harus diterima oleh semua anggota koalisi.
Semakin gemuk koalisi, maka semakin alot pula penentuan cawapresnya. Sebaliknya, semakin minimalis koalisinya, maka penentuan cawapres relatif lebih mudah.
Terpaksa
Rezim ambang batas telah memaksa partai politik untuk berkoalisi. Tak peduli ideologi masing-masing parpol, asalkan bisa memenuhi persyaratan minimal yang ditentukan undang-undang pemilu yakni 20 persen dari total kursi DPR atau 25 persen dari total suara sah hasil pemilu sebelumnya. Sebab hanya dengan jalan itu, partai punya tiket bertarung dalam pilpres.
Padahal kalau tanpa treshold, semua partai politik peserta pemilu 2024 bisa mengusung pasangan calonnya sendiri tanpa harus bergabung dengan partai lain.
Dalam kondisi demikian, Pilpres menjadi kontestasi terbuka bagi semua partai peserta pemilu tanpa terkecuali.
Hal itu sejalan dengan kehendak konstitusi dan semangat pemilu serentak sebagaimana perintah putusan MK tahun 2013.
Dalam rezim ambang batas itu terdapat masalah serius yakni tiket 20 persen atau 25 persen tersebut di atas diambil dari pemilu 2019 yang secara logis tidak relevan, karena kedua pemilu ini berbeda baik dari segi waktu pelaksanaan maupun segi-segi lainnya.
Meski demikian, pembentuk undang-undang tetap memaksakan kehendaknya agar hal ini berlaku dalam pemilu 2024.
Karena itu, tak salah bila dikatakan bahwa ketentuan ambang batas pencalonan ini tak lebih dari akal-akalan sekelompok orang politik agar mudah mendikte Pilpres sesuai kehendak mereka sendiri, meskipun bertabrakan dengan nalar sehat dan kaidah konstitusi.
Dampak nyata yang cukup terasa dari pemberlakuan rezim treshold ini, tiket Pilpres menjadi terbatas sehingga sangat rentan dibeli dengan harga mahal.
Jadi, hanya orang beruanglah atau kandidat yang dibiayai kelompok berduit punya kemampuan membeli tiket sehingga bisa masuk ke dalam gelanggang Pilpres.
Sementara, figur yang punya pengalaman dan rekam jejak bagus tapi tak punya uang pasti tersingkir dari kompetisi itu. Pilpres menjadi sangat kasar dan traksaksional sehingga pada gilirannya dapat merusak demokrasi itu sendiri.
Hapus Treshold
Ambang batas pencalonan itu perlu dihapuskan dalam undang-undang pemilu. Selain inkonstitusional, pemberlakuan ambang batas dimaksud terbukti tidak memperbaiki kualitas Pilpres.
Justru yang terjadi, Pilpres kita makin pragmatis dan hambar gagasan. Kerja-kerja logistik lebih dominan dibandingkan dengan perdebatan gagasan sebagai inti dari demokrasi itu sendiri.
Selama rezim ambang batas berlaku, tercatat jumlah pasangan capres dan cawapres sangat sedikit. Bahkan, selama dua kali Pilpres 2014 dan 2019, rakyat disuguhkan dengan dua pasangan calon dengan kandidat presiden yang sama.
Padahal negara yang terdiri dari banyak suku, agama dan ras dan golongan seperti ini harus dipimpin oleh figur yang terpilih melalui kontestasi yang ketat.
Dalam pengertian bahwa Pilpres itu harus dipertandingkan lebih terbuka dengan melibatkan banyak pasangan calon.
Hal itu sejalan dengan kehendak Pasal 6A ayat 4 UUD 1945 yang memungkinkan Pilpres dua putaran dalam hal tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud Pasal 6A ayat 3 UUD 1945.
Jadi, idealnya ke depan, pasangan capres dan cawapres harus banyak dengan menerapkan pemilu tanpa treshold. Semua partai politik yang telah tetapkan menjadi peserta pemilu oleh KPU sebelum pemilu boleh mengusulkan pasangan calon sendiri tanpa terkecuali.
Prinsipnya, semakin banyak pasangan calon, rakyat lebih leluasa membandingkan pasangan yang satu dengan yang lainnya sebelum memutuskan pilihannya di bilik suara.