Betun, Vox NTT- Padi sawah khusus yang diintervensi APBD tahun anggaran 2022 dan 2023 di Kabupaten Malaka seluas 3.500 hektare.
Sawah ini dikelola oleh 291 kelompok tani yang tersebar di enam kecamatan dan 127 desa di Kabupaten Malaka.
Sawah seluas 3.500 hektare tersebut merupakan capaian program swasembada pangan pada Dinas Pertanian Kabupaten Malaka, musim tanam 1.
Kepala Dinas Pertanian Januaria Maria Seran mengatakan, capaian itu merupakan bagian dari program prioritas Bupati Malaka Simon Nahak, khusus untuk memproduksi Beras Nona Malaka.
“Dan pada MT1 kita sudah lakukan pemanenan produktivitas yang ada itu di angka 4,67 ton per hektare,” ungkap Januaria saat konferensi pers di Aula Rapat Bupati Malaka, Kamis (12/10/2023).
Januaria menambahkan, produksi gabah kering kurang lebih 16.345 hektare. Kalau dikonversi ke beras menjadi 10.255 ton.
Hingga kini gabah kering yang sudah ditimbang oleh offtaker sejumlah 196.466 kilogram atau kurang lebih 196 ton yang dibeli dengan harga Rp5.500 per kilogram.
“Dengan estimasi uang yang sudah beredar di enam kecamatan, uang yang dihasilkan kurang lebih sudah mencapai 1miliar lebih,” ungkapnya.
Untuk perkembangan Beras Nona Malaka sendiri, kata dia, hingga kini dijual di offtaker dengan harga Rp13.000 per kilogram.
Hingga 5 Oktober 2023, dari total 196.466 kilogram gabah kering giling, sudah diproduksi dari bantuan pemerintah 500 hektare dan swadaya masyarakat 555 hektare.
Program Revolusi Pertanian Malaka Lebih Unggul dari Swasembada Pangan
Salah satu Anggota DPRD Malaka yang enggan namanya dimediakan menegaskan, program revolusi pertanian Malaka ternyata lebih unggul dari program swasembada pangan.
Sebab, yang dituju adalah masyarakat bisa mengolah lahan dan meningkatkan hasil panen padi dan jagung.
Bukan sebaliknya menunjukkan legalitas dari produk pertanian, namun output dari hasil tanam masyarakat tidak menghasilkan jumlah produksi yang diharapkan.
Berkaitan dengan swasembada pangan, yang mana secara harafiah masyarakat berkecukupan atas hasil pangan yang diproduksinya sendiri.
Namun kenyataan yang terjadi adalah harga beras mengalami kenaikan cukup signifikan. Itu berarti hasil panen masyarakat Malaka belum bisa mencukupi kebutuhan lokal, sehingga program swasembada pangan bisa dikatakan belum berhasil.
“Kita tidak perlu malu mengatakan bahwa masyarakat saat ini sedang tidak baik-baik saja terkait ketersediaan pangan,” ujar sumber itu.
Menurut dia, Pemerintah Kabupaten Malaka sudah melakukan intervensi dengan melakukan operasi pasar murah tentu saja patut diapresiasi.
“Tapi di lain sisi, hal ini berarti bahwa masyarakat Malaka kekurangan pangan dan bagaimana dengan program swasembada pangan?” tukas sumber itu.
“Apakah pada saat operasi pasar yang barusan dilakukan dan yang dibeli oleh masyarakat adalah Beras Nona Malaka yang selama ini digaungkan dan dibanggakan?” imbuh dia.
Menurutnya, yang diperlukan negeri ini adalah kearifan seorang pemimpin, sehati dalam upaya mensejahterakan masyarakat, bukan seorang pemimpi sejati.
“Butuh kerja keras dan refleksi diri untuk kita, tidak saja pemerintah tetapi kita semua dalam upaya bekerja untuk masyarakat Malaka,” ujarnya.
Menurut dia, pemerhati pembangunan dan pegiat pangan tidak perlu takut untuk berteriak dan mengkritisi pemerintah.
Sebaliknya pemerintah tidak perlu malu untuk mendengarkan kritikan dari mereka yang mengkritisi.
“Bila perlu ajak berdiskusi dan memperbaikinya. Saat ini atau tidak sama sekali dan mumpung masih diberi waktu,” tuturnya.
Penulis: Frido Umrisu Raebesi