Oleh: Fransiska Jeniman
Mahasiswa Semester VII STIPAS Santo Sirilus Ruteng
Saat ini, bumi semakin menjerit kesakitan karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Kerusakan dan kehancuran alam saat ini memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan seluruh aspek kehidupan manusia.
Hal ini merupakan bentuk realitas yang menggambarkan bahwa manusia tidak mengikuti ungkapan dalam kitab Kejadian, dimana Tuhan mempercayakan kepada manusia kekuasaan atas bumi dan segala isinya (Kejadian 1:28).
Bukan berarti manusia adalah satu-satunya penguasa yang bebas melakukan segala sesuatu di muka bumi ini dengan sebebas-bebasnya yang berujung pada kerusakan alam.
Berbagai kejahatan yang dilakukan manusia terhadap alam terlihat jelas melalui pembarakan liar, pencemaran air akibat limbah industri dan pertambangan, pencemaran udara di perkotaan, debu dan asap akibat kebakaran hutan dan salah satunya adalah sampah.
Berdasarkan data yang diperoleh tentang permasalahan sampah di Indonesia. Jumlah total sampah yang dihasilkan sebesar 38,5 juta ton/tahun.
Sampah yang dihasilkan per orang sebesar 0,45 kg/hari. Jumlah penduduk yang dilayani sebanyak 130,4 juta jiwa dan jumlah sampah aktual yang berhasil dikumpulkan sebanyak 21,72 ton per tahun.
Sedangkan untuk Pulau Jawa yang berpenduduk 137,2 juta jiwa menghasilkan total sampah sebanyak 21,2 juta ton per tahun/sampah yang dihasilkan per orang sebesar 0,42 kg per hari. Jumlah penduduk yang dilayani sebanyak 80,8 juta jiwa.
Jumlah aktual pengangkutan sampah sebesar 12,49 juta ton per tahun. Jumlah sampah yang tidak terangkut sebanyak 8,71 juta ton per tahun (Hakim, Pengelolaan Dan Pengendalian Sampah Plastik Berwawasan Lingkungan, 2019).
Data ini, menunjukkan masih banyak sampah yang belum terangkut atau masih berserakan ke lingkungan.
Bumi tampak seperti tempat pembuangan sampah raksasa. Hal kecil yang sering kita lihat di masyarakat adalah kebiasaan membuang sampah sembarangan.
Kebiasaan membuang sampah plastik secara sembarangan merupakan penyakit yang merusak lingkungan alam dan tentunya akan merugikan aktivitas manusia.
Banyak sekali sampah yang dihasilkan dari sampah rumah tangga dan usaha industri bahkan dapat ditemukan juga di sekolah dasar, sekolah menengah bahkan di kampus. Mentalitas nyaman dan riang melekat pada diri setiap orang.
Membuang sampah sembarangan sudah menjadi tradisi dan masyarakat acuh tak acuh terhadap pencemaran lingkungan yang terus terjadi.
Perlu kita ketahui bahwa, sampah plastik sulit terurai, sehingga semakin banyak sampah plastik maka, semakin besar pula pemanasan global atau perubahan iklim, polusi udara dan tanah menjadi tandus.
Sebagai masyarakat yang berakal sehat, kita harus mengetahui cara meminimalkan penggunaan sampah plastik untuk menjaga lingkungan tetap aman. Namun harapan dan kenyataan jauh berbeda, justru manusia itu sendiri yang menjadi pelaku utama dari tindakan itu.
Hal ini merupakan bentuk penyimpangan terhadap norma alam.Kebiasaan membuang sampah dianggap sebagai penyakit, sehingga untuk menyembuhkan penyakit yang ada diperlukan tindakan pengobatan khusus agar penyakit tersebut tidak berlangsung lama. Untuk pengobatan sebaiknya digunakan Ensiklik Laudato Si.
Secara khusus, pesan ini adalah pesan yang diterbitkan oleh Paus Fransiskus pada tahun 2015 mengenai kepedulian terhadap rumah kita bersama.
Artinya bagaimana menjaga, melindungi dan merawat tanah/rumah yang kita tinggali. Ensiklik Laudato Si lahir sebagai respons terhadap berbagai situasi buruk yang terjadi dan hancur akibat kerusakan yang disebabkan oleh manusia.
Harmoni antara Sang Pencipta, manusia, dan seluruh ciptaan hancur karena manusia menganggap dirinya mampu menggantikan Tuhan dan menolak mengakui dirinya sebagai makhluk terbatas.
Hal ini juga menyebabkan kesalahpahaman mengenai perintah “menaklukkan” (lihat Kejadian 1:28), untuk “mencari Dia dan menjaga Dia” (Kejadian 2:15).
Akibatnya, hubungan yang awalnya harmonis antara manusia dan alam menjadi berkonflik (lihat Kejadian 3:17-19).
Dalam pesannya, Paus mengkritik konsumerisme dan pembangunan yang tidak terkendali, mengabaikan kerusakan lingkungan dan pemanasan global, dan menyerukan dunia untuk mengambil “tindakan global yang komprehensif dan segera”.
Atas permasalahan yang dibahas di atas, Paus Fransiskus menuliskan argumen teologisnya tentang pentingnya mengatasi perubahan iklim dan menjaga lingkungan.
Ia juga menggambarkan kerusakan lingkungan yang terus menerus dilakukan oleh umat manusia sebagai “tanda kecil dari krisis moral, budaya dan spiritual modernitas. Ajakan Bapa Suci bukan hanya bagi umat Kristiani, namun juga bagi semua orang yang hidup di muka bumi ini. Salah satu isu sosial yang disebutkan dalam pesan ini adalah “masalah sampah”.
Dalam Ensiklik Laudato Si Nomor 22, tentang budaya membuang. Bapa Suci berupaya mengadopsi model produksi sirkular yang mampu melestarikan sumber daya untuk generasi sekarang dan masa depan dengan membatasi sebanyak mungkin penggunaan sumber daya tak terbarukan, minimalkan penggunaan, maksimalkan penggunaan efisien melalui penggunaan kembali dan daur ulang.
Artinya, penggunaan sampah anorganik, termasuk sampah plastic harus dibatasi, juga dengan cara mengolah kembali sampah-sampah itu menjadi sesuatu yang baru.
Paus Fransiskus menekankan bahwa pengembangan ekosistem harus dimulai dari dalam diri setiap individu,untuk mengatasi kerusakan yang kita timbulkan.
Selain itu, Paus Fransiskus menekankan keterbukaan dialog dengan semua pihak untuk bersama-sama mencari jalan pembebasan dengan menunjukkan sejak awal bahwa iman memberikan insentif yang kuat bagi umat Kristiani dan umat beriman untuk melindungi alam dan saudara-saudaranya yang paling rentan.
Oleh karena itu, kita didorong untuk melindungi lingkungan, serta menjalankan tugas yang diberikan Tuhan kepada kita untuk melindungi dan bertanggungjawab atas penciptaannya.
Oleh karena itu kita terpanggil untuk menanamkan sikap tanggung jawab terhadap alam ciptaan.
Kita harus membangun hubungan baik dengan alam untuk menciptakan keharmonisan. Patriark Bartholomew berbicara secara spesifik tentang perlunya kita masing-masing bertobat atas cara kita memperlakukan planet ini: “Tidak peduli berapa banyak kerusakan ekologis yang kita timbulkan,”kami mengajak untuk mengakui “kontribusi kita, baik kecil atau besar, kerusakan dan kehancuran ciptaan alam. “Jika manusia merusak keanekaragaman hayati yang diciptakan Tuhan; apakah manusia mengurangi integritas bumi dengan menyebabkan perubahan iklim, menghilangkan hutan alami bumi, atau menghancurkan lahan basah; Kalau manusia mencemari air, tanah, udara dan lingkungan,itu semua adalah dosa.
Oleh karena itu, saya mengajak kita semua untuk menjadi dokter yang merawat dan menyembuhkan luka yang diderita alam akibat perbuatan kita sendiri. Mengobatinya dengan membatasi diri menggunakan plastik, terutama pada usaha industri, seperti minuman dan makanan yang menggunakan plastik.
Kemudian mengenai sampah yang terdapat di Sekolah, maka peran orangtua dan guru sangat penting, karena harus menanamkan pendidikan lingkungan hidup pada anak sejak dini, di antaranya mengajarkan anak untuk membuang sampah pada tempatnya dan juga melatih mereka untuk mendaur ulang. Sampah plastik dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku, untuk membuat kerajinan tangan seperti membuat bunga dengan menggunakan plastik sebagai bahan dasarnya.
Jika langkah ini diterapkan, sampah plastik yang berserakan akan berkurang. Dengan mengurangi penggunaan plastik, maka risiko kerusakan alam juga berkurang.