-Sekadar satu perenungan-
“Hanya orang yang tahu cara mengabdilah yang pantas menjadi pemimpin”
(La Fontaine, penyair Prancis, 1621 – 1695)
Oleh: P. Kons Beo, SVD
Suara padang gurun vs ular beludak
Suara lantang itu milik Yohanes Pembaptis. Nampaknya, gaung suaranya lurus dan tegas. Bernyali dan tiada takut sedikitpun. “Persiapkan jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagiNya” (Matius 3:3). Tak hanya itu. Yohanes Pemandi, suara di padang gurun itu, sekian gelegar menegur keras kelompok elitis Yerusalem. Kaum Farisi dan dan Saduki, yang sudah terbiasa imun dan lolos dari kritik publik, dinyatakannya sebagai “keturunan ular beludak” (Matius 3:7). Dahsyat memang.
Ular beludak? Itu simbolisme alkitabiah tentang ‘orang jahat, yang licik, lihai dan penuh tipu muslihat.’ Itulah segala gerak-gerik dan trik si ular beludak yang manipulatif. Demi kehidupan publik yang bercitra, maka segala tampilan dan gesture ular beludak mesti disapu rata. Dan karena itulah Yohanes Pembaptis berani bersuara.
Yohanes Pembaptis memang gerah. Sebab si kelompok ular beludak itu yakini diri sebagai turunan Abraham. Karenanya selalu berada di zona nyaman. Pemilik kebenaran dan bahkan jadi barometer kebenaran publik. Dan di atas segalanya, keselamatan adalah kepastian bagi kaum elitis ini (cf Lukas 3:8).
Tak hanya ‘kaum ular beludak’
Tak hanya group ular beludak yang kena skak. Lukas, penulis injil, kisahkan ragam kelompok yang mesti hadapi hantaman kata-kata Yohanes Pembaptis. Para kolaborator penjajah Romawi sekelas para pemungut cukai pun didampratnya.
Maksudnya agar para pemungut cukai ini hentikan praktek korupsi. Tak boleh sekian rakus ‘makan uang publik dengan terang-terang memeras atau pun ‘maen transaksi gelap’ untuk gendutkan pundi-pundi sendiri. Pun demi memperkaya diri atau kelompok. Kiranya jelas seruan Yohanes Pembapis, “Janganlah menagih lebih banyak dari apa yang yang telah ditentukan bagimu” (Lukas 3:13).
Dan ada lagi kelompok militer yang dekati Yohanes Pembaptis. Demi satu lintasan revolusi mental penuh serius, satu jawaban tegas dinyatakan, “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu!” (Lukas 3:14). Tentu saja di kala itu ada oknum prajurit dan kalangan militer yang lancarkan praktik ‘gertak’ demi membegal milik orang.
Kemerdekaan padang gurun
Tetapi, pada Yohanes Pembaptis tidak hanya tergema suara gelegar yang menggetar. Yohanes Pembaptis adalah kisah ‘jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit.’ Bertahan di padang gurun dengan ‘belalang dan madu hutan’ (Markus 1:6) adalah narasi kesederhanaan mutlak. Namun itu sudah berkisah tentang satu testimoni kehidupan yang tak terpenjara dan terlekat pada kemewahan. Satu gaya hidup yang sungguh lepas bebas.
Dan lagi, rekam jejak padang gurun itu adalah fakta tak terbantahkan. Tak perlu dipoles-poles dengan segala retorika argumentatif penuh kibulan. Hanya untuk tutupi kenyataan yang sebenarnya. Ia bukanlah ‘Yohanes palsu.’ Pada Yohanes Pembaptis segalanya sungguh dihantar kepada kejelasan dan kebenaran.
Yohanes Pembaptis, yang tampil merdeka di padang gurun itu, tentu tak bisa diakali untuk satu kolaborasi negatif. Ia tak bisa diperdaya ke dalam atau di dalam koalisi sesat yang bakal membunuh harapan dan kepentingan banyak orang. Sebab bagi Yohanes Pembaptis selalu ada buah pemindaian yang pasti, “Jika YA, hendaklah kamu katakan YA; jika TIDAK, hendaklah kamu katakan TIDAK. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Matius 5:37).
Jalan itu mesti disiapkan
Berimajinasilah bahwa sekiranya Yohanes Pembaptis itulah ‘pemimpin yang didambakan.’ Demi kehidupan yang aman, damai, sejahtera, berkeadilan, saling menghormati dan menghargai, maka “Jalan harus diluruskan, lembah mesti ditimbun, bukit dan gunung haruslah diratakan, yang penuh liku-liku dan lekuk-lekuk pun mesti jadi rata” (cf Lukas 3:4-5).
Sebab itulah ‘suara dari padang gurung’ teramatlah sensitif akan kekayaan dan kemewahan hidup yang tak terkendali. Yang mencaplok dari kesederhanaan publik yang sesungguhnya. Tindakan tak berkeadilan yang disinyalir ada pada ‘kelompok pemungut cukai’ dan ‘para prajurit’ mestilah diredam mati.
Tetapi, di atas semuanya, suara di padang gurun, sejatinya, adalah gemuruh suara peralihan. Segala yang silam dan ‘sudah-sudah’ harus tiba di satu ditik akhir dan segera jadi awal sebuah passingover. Revolusi mental ala padang gurun itu mesti berbuah nyata. Bukan sekedar sloganisme hampa makna.
Demi alam baru
Sebuah babak baru mesti diawali. Sebab akan segera tiba ‘zaman mesias.’ Di saatnya Yohanes Pembaptis mesti undurkan diri. Ia mesti senyap dan merelakan zaman Mesias itu berawal ke dalam Orang yang ‘tali kasutNyapun tak layak dibukanya’ (cf Lukas 3:16).
Kata-kata Yohanes Pembaptis terungkap menderang, “IA harus semakin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yohanes 3:30). Bagaimanapun jalan ke alam mesias telah dimulai dan dipersiapkannya.
Demi Indonesia yang modern, bercitra, bergengsi dan bermartabat, iya demi Indonesia yang semakin lebih besar, benarkah seluruh Tumpah Darah kini siap menyambut pemimpin baru? Namun, di awal dari semuanya, bersiap-siaplah hadapi badai kata. Tak peduli bahwa pernah kecewa karena terpaan badai kata-kata itu, toh publik tetap punya rasa simpatik yang idolatrik. Janji-janji kini telah dipaket untuk dikampanyekan. Dan di situ, propaganda mesti dimainkan. Hati-hati sajalah!
Suara padang gurun vs propaganda
Katanya, “Propaganda adalah teknik membekukan jiwa dengan cara membosankan, -dengan kotbah dan kampanye pengeras suara,- yang diulang-ulang jam demi jam.” Maksudnya, dengan rasa bosan itu, jadilah dasar yang baik untuk ‘cuci otak.’ Di muaranya, publik mesti mengalah. Jadi pasrah dan dibikin pasif. Nalar sehat telah dibuat ‘pingsan dalam sikap kritisnya.’
Kampanye adalah teknik menjemput massa dalam untaian janji manis penuh pikat. Jarang di situ ada berondongan kata-kata keras. Tak pernah ada hardikan penuh kritis dan berdaya profetik. Sebab hal seperti itu dianggap kontra-produktif dan ternilai ‘maen gila bodo’ dalam bingkai politik. Sebab riskan untuk kehilangan jumlah pemilih.
Dalam koalisi, semuanya bisa sekedar ‘terpaksa saja.’ Agar tak jadi yatim piatu atau sebatang kara yang terpaku menatap langit nusantara, atau jadi mati kutu sebagai penonton di peta perpolitikan Tanah Air. Suara di Padang Gurun itu, Yohanes Pembaptis, ‘tetap jaga jarak yang bermarwah.’ Ia tak bisa diperkoalisikan dengan elitis yang manipulatif yang rajin berzigzag demi kepentingannya sendiri.
Mari jemput pemimpin baru
Indonesia tengah berdinamika menjemput, -tidak hanya pemimpin baru-, tetapi terutama ‘demi cita-cita Indonesia yang lebih bermartabat dan bercitra.’ Itulah orientasi dan cita-cita mulia Sabang hingga Merauke. Maka dibutuhkan karakter pemimpin yang jauh dari alam dan kharakter ular beludak.
Karena itulah Indonesia tak hendak memilih pemimpin, yang dipagar mati dan tertahan hanya sebagai pemimpin! Tidak! Pemimpin dan cita-cita bangsa adalah dua sisi yang membentuk satu mata uang MARTABAT BANGSA dan NEGARA. Bukan soal hanya memilih pemimpin ‘asal pemimpin,’ tetapi bahwa ‘alam mesianik Indonesia yang lebih damai sejahtera’ yang sanggup diperjuangkan!
Pemimpin seperti itu tentu tahu apa artinya ‘menjadikan Indonesia lebih besar dan ia sendiri rela menjadi kecil, sederhana, yang tak terlekat pada pencitraan diri penuh bayangan! Pemimpin baru seperti itu tahu apa sesungguhnya alam hidup serba terbatas sekelas ‘padang gurun, belalang dan madu hutan serta pakaian kulit unta. Ia tak perlu lahir dari segala kemewahan. Demi Indonesia yang lebih besar, biarlah kita cerdas dan bijak demi menyambut ‘pemimpin baru, yang tahu apa artinya mengabdi.’ Dan kita tak pernah boleh terpeleset di situ. Itulah sekiranya kata-kata sederhana penuh makna si La Fontaine, penyair Prancis itu.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma