“Kekuasaan tidak boleh dipercaya tanpa ada pengawasan…” (John Adams, Presiden AS kedua, 1735 – 1826)
Oleh: P. Kons Beo, SVD
Politisasi Alkitab?
Coretan kocak ini tentu bisa diduga sebagai politisasi alkitab. Bisa saja bakal ada suara bernada protes, “Lebih etis bila Alkitab cukuplah diteropong dalam kebenaran normatif. Dan terbatas di mimbar gereja. Tak usah merambah serunutnya pada rana sosial. Apalagi sepertinya mulai ‘menantang dan mengintervensi zona politik. Bisa celaka.” Iya, entahlah! Yang jelas, ada seberkas cahaya iluminatif dari kisah biblis yang ‘mengganggu imajinasi untuk menerawang.’
Kisah alih kekuasaan banyak kali tak dalam situasi cantik. Itu yang terbaca dalam Alkitab. Ambil saja contoh relasi antara Raja Saul dan anak muda si Daud. Tidak kah di balik Saul, Raja pertama Israel itu ada sekian banyak strategi nan piawai. Semuanya itu hanya untuk hentikan Daud, anak muda itu. Ketaknyamanan Saul bermula dari rasa irihati mendalam. Sebab Daud telah dengan gagah berani kalahkan musuh-musuh Israel.
Jebakan Raja Saul
Kisah glorifikasi akan Daud setelah membabat Goliat sungguh mengiris rasa Saul sebagai Raja Israel. Isi nyanyian para perempuan yang sambil menari itu benar-benar mengumpan amarah terpendam, “Saul membunuh beribu-ribu musuh, tetapi Daud berpuluh-puluh ribu” (1Samuel 18:7).
Saul coba menjebak Daud dengan ikthiar pernikahan politis, katakan saja begitu. Daud bisa menjadi menantu raja Saul dengan menikahi Mikhal, putrinya. Dan mas kawin yang aneh adalah 100 kulup orang Filistin. Tentu itu racikan strategi Saul agar Daud pasti bakal remuk di tangan orang-orang Filistin dalam peperangan!
Wah! Daud diiming-iming untuk masuk dalam ‘lingkaran kekuasaan keluarga Raja.’ Namun, sebenarnya ada bayangan maut yang sungguh diharapkan segera melenyapkan masa depan Daud dan bahkab nyawanya sendiri.
Saul, nampaknya berbaik perangai pada Daud, si anak muda itu, menggandengnya untuk satu maksud mulia. Namun, sebenarnya ada niat keji Saul di balik semuanya. Kata Saul, “Baiklah kutawar Mikhal kepada Daud supaya Daud terjebak dan dapat dibunuh oleh orang Filistin” (1Samuel 18:21).
Pura-Pura mau menyembah
Mari ingatlah juga ‘sakit jiwanya’ Herodes hingga harus membantai kanak-kanak di Betlehem (Matius 2:16-18). Tentu, Herodes berharap bahwa salah seorang bayi dibantai itu adalah Dia ‘Raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu’ (Matius 2:2).
Tetapi, yang bisa jadi inti kisah kecemasan Herodes sebenarnya adalah ‘berpura-puranya ia merendah hati di hadapan tiga majus itu.’ Kalimat penuh strategi politik milik Herodes dapat disimak, “Pergi dan selidikilah dengan saksama hal-hal mengenai Anak itu dan segera sesudah kamu menemukan Dia, kabarkanlah kepadaku supaya akupun datang untuk menyembah Dia” (Matius 2:8).
Mungkinkah Herodes, yang lagi panik dengan kekuasaan itu, bakal ‘datang dan menyembah Anak itu?’ Atau kah sebaliknya bahwa pasti ia akan segera melenyapkan Anak itu karena ketaknyamanan hati akan kekuasaannya yang terancam?
Tuan yang berbaik sangka, ternyata ujungnya?
Mari kita lanjut ke Perjanjian Baru seputar perumpamaan Yesus “Tentang Penggarap-Penggarap Kebun Anggur” (Matius 21:33-46). Tuan tanah yang sudah buka kebun anggur, telah siapkan segalanya demi kebun anggur itu. Ada pagar di sekeliling, ada lobang tempat memeras anggur, dan ada lagi menara jaga.
Karena ingin ke tempat jauh, si tuan tanah itu mesti sewakan kebun anggurnya kepada penggarap. Terbentuklah koalisi antara tuan tanah dan para penggarap. Sayangnya, di hari-hari musim petik buah anggur, semua hamba yang diutus tuan tanah ke para penggarap mesti alami kekerasan dan bahkan berujung kematian.
Kini, hanya tertinggal anaknya yang harus diutus ke penggarap-penggarap itu. Pikiran polos yang ayah terungkap, “Anakku akan mereka segani…” (Matius 21:37). Segani? Tidak kah justru karir dan hidup anaknya itu jadinya sungguh berakhir selamanya?
Kata-kata yang terungkap dari para pengarap itu sungguh jauh dari rasa segan!! Saat melihat anak itu datang, tidak kah para penggarap itu ramai-ramai sehati dan seirama, “Ia ini adalah ahli waris, mari kita bunuh dia, supaya warisannya menjadi milik kita” (Matius 21:38). Dan memang itu terjadi. Si putra pemilik tanah itu berakhir hidup sekian tragis. Tak hanya terlempar dari koalisi tanah garapan, lebih dari itu semuanya berakhir dalam segalanya.
Arung jeram jelang estafet kekuasaan
Jelang dan demi kekuasaan sebagai muara tujuan utama? Strategi dan perbagai modus sudah diracik. Mungkin masih tersamar, namun jelas tegas telah terbaca. Walau tentu tak seutuhnya. Tetapi itu sudah cukup untuk mengundang tafsir, menarik opini, menggagas konklusi. Intinya agar mayoritas publik bersimpati dan bahkan nantinya berkiblat hingga hari penentuan pilihan pasti.
Tirai politik jelang estafet kekuasaan di tanah air belumlah tersibak total. “Putraku akan mereka segani” dalam bingkai SBY dan partai Demokrat sudah terbukti ‘gagal.’ Di Pilkada DKI Jakarta 2017, AHY terbukti ‘belum atau tidak disegani.’ Sang ayah yang coba ‘turun gunung dengan taruhan pernah jadi 01 di Republik tercinta toh tak ada garansi disegani!
Dan di episode berikutnya, sikap si Anis Baswedan yang sudah berbelok-cikar kiri ke Cak Imin, tinggalkan AHY sendiri terpaku menatap langit kosong, sudah jadi bukti bagi SBY bahwa memang jauh dari kenyataan bahwa “Anakku dan kami ini akan mereka segani…”
Dan kini, ke mana kah langkah kaki Gibran Rakabuming Raka mengarah? Apakah si sulung dari Presiden Jokowi akan masuk dalam nominasi, “Putraku akan mereka segani?” Di sinilah muncul banyak pengandaian dengan litania komentar tebal dan tipisnya.
Lukisan karakter Prabowo yang tegas, yang minta izin rakyat ‘untuk kita berkuasa,’ sungguhkah lurus dan tulus sekiranya memang meminang Gibran demi ambisi kekuasaannya? Mari kita berandai seadanya: Prabowo inginkan Gibran demi dukungan publik di balik popularitas Jokowi? atau kah sebagai balas jasa politik pada Jokowi bahwa telah jadi Menhankam? Ataukah sebaliknya demi hentikan dan lenyapkan hegemoni popularitas Jokowi dengan isu dinasti politik itu?
Adu tangkas penuh intrik?
Nampaknya, Jokowi dan Prabowo lagi berhadapan dengan papan catur dengan posisi bidak yang sulit. Dan masih butuh waktu demi perhitungan ini-itu yang tak mudah ditebak pula. Siapa yang menguasai siapa sebenarnya?
Atau kah andaikan saja, sebagai ‘hamba dari tuannya,’ saatnya Prabowo sudah harus berpisah dari tuannya itu. Dan demi usaha dan jalan hidupnya yang damai dan selaras ambisinya, tak tanggung-tanggung dari sang tuan, Prabowo meminta putra dari si tuan sebagai ‘modal berharga dan jaminan…’
Maka di titik inilah tentu Jokowi dan ibu Iriana pasti berpikir serius, mungkinkah dengan Prabowo dan semua pihak yang terkait dengannya, dulu dan sekarang ini, “Anakku akan mereka segani? Atau sebaliknya akan dibuat tak berdaya seiring waktu di saat aku tak berkuasa dan menjadi tuan lagi?”
Akhirnya…
Untuk semuanya “Hanya Tuhan yang tahu pasti. Apa gerangan yang bakal terjadi lagi…”
Demi Indonesia yang jaya, maju dan kokoh, kita mesti kuat berharap dan bijak menentukan pilihan.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma