Oleh: Maria Roswita Boe
Mahasiswi Fakultas Filsafat Unwira Kupang
Pribadi yang autentik adalah pribadi yang sanggup menunjukkan keaslian dirinya, menjadi diri sendiri dan sanggup menentukan dirinya sendiri.
Menurut seorang Filsuf eksistensialis Albert Camus, manusia adalah ia yang memiliki hidupnya dan yang berkuasa atasnya.
Hidup yang bebas adalah wadah manusia berekspresi dan mengisi hidup dengan menunjukkan keaslian dirinya.
Dalam hal ini manusia dapat terus menjalani hidupnya dan terus berupaya untuk mencari makna dan memberi makna pada hidupnya atau manusia dapat memilih untuk menyerah dan bersikap apatis terhadap dunia yang absurd atau mustahil.
Dalam usaha pencarian makna dan arti hidup tersebut manusia dihadapkan dengan berbagai pertanyaan yang tidak akan selesai dijawab, tentang siapa dirinya, bagaimana ia hidup dan dari mana ia datang.
Ini adalah pertanyaan- pertanyaan yang sangat eksistensial yang mana membawa manusia itu sendiri pada satu titik di mana ia sendiri merasa hidup tidak berarti, tidak masuk akal, tidak bermakna dan tidak bernilai.
Albert Camus menyebut kondisi manusia seperti ini dengan absurditas. Absurditas merupakan suatu kondisi hidup manusia di mana ia tidak mampu memahami dunia yang bertentangan dengan kerinduan alamiahnya untuk menemukan kebenaran dan kejernihan.
Berhadapan dengan situasi seperti ini manusia dituntut untuk memahami diri secara autentik karena dengan autensitisitas yang ada dalam diri, manusia mampu menentukan pilihan dan menjalani hidupnya secara bebas.
Dengan memahami dan mengenal diri secara baik manusia mampu memberi makna pada hidup dengan keyakinan yang ia pilih. Pilihan itu membawanya pada suatu kebahagiaan yang tidak dapat diambil darinya, dan kebahagiaan itu menjadi bagian dari hidupnya.
Menentukan pilihan hidup untuk bahagia merupakan suatu kebebasan. Kebebasan itu merupakan suatu yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia, yang selalu ada dalam dirinya.
Dengan adanya kebebasan manusia dapat menentukan, memilih dan berkomitmen bahkan seorang filsuf eksistensialisme Jean Paul Sartre mengatakan kebebasan manusia itu tiada batasnya. Dengan kebebasan itulah manusia bertindak.
Berhadapan dengan kenyataan seperti ini pada jaman kita saat ini yang menjadi suatu pertanyaan adalah apakah para filsuf eksistensialisme mengenal apa yang disebut dengan kebebasan bertanggung jawab?
Kebebasan bertanggung jawab merupakan suatu kebebasan menyangkut keutuhan manusia di mana kebebasan itu meliputi hal- hal yang bersifat lahiriah dan batiniah.
Di sini manusia dihadapkan dengan suatu kenyataan bahwa segala sesuatu diperbolehkan, benar, namun bukan segala sesuatu berguna. Segala sesuatu diperbolehkan, benar.
Tetapi bukan segala sesuatu membangun. Di era modern di mana dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat pemahaman mengenai kebebasan bertanggung jawab dan pernyataan “segala sesuatu diperbolehkan, benar, namun bukan segala sesuatu berguna.
Segala sesuatu diperbolehkan, benar. Tetapi bukan segala sesuatu membangun”, menjadi suatu tantangan bagi setiap orang.
Orang akan selalu merasa tidak puas dan merasa bahwa segala sesuatu itu berguna dan dibutuhkan meskipun pada kenyataannya tidak berguna dan tidak dibutuhkan.
Menghadapi tantangan seperti ini orang dituntut untuk kembali masuk pada pengenalan diri yang autentik sehingga kebebasan dalam menjalani pilihan hidup itu membawanya pada suatu kebahagiaan yang tidak dapat diambil darinya dan bukan kebahagiaan semu yang bergantung pada barang- barang instan.