“Kematian tidak lain adalah kembali pulang kepada Tuhan; ikatan cinta tidak akan terputus untuk selama-lamanya” (St Bunda Teresa dari Kalkuta, 1910 – 1997)
Oleh: P. Kons Beo, SVD
Nafas Hidup: anugerah terindah
Kepastian itu memanglah milik semua kita. Iya, kepastian di dalam kisah kematian. Tinggal pada kapan dan bagaimana caranya kisah kita bakal hembuskan nafas terakhir itu. ‘Takdir alam’ tampaknya telah pastikan bahwa ‘kesementaraanlah jalan semua kita.’ Tak terelakan. Benarlah si Pengkhotbah, “Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal” (Pengkhotbah 3:2)
Sekeping waktu telah diperuntukkan buat setiap kita. Itulah pecahan-pecahan dari keabadian waktu. Ya, mengalir dari ‘Sepanjang Segala Masa Ilahi.’ Milik Tuhan sendiri. Tuhan sesungguhnya telah tiupkan nafas penuh daya agar setiap kita menjadi ‘hidup.’ Bukankah nafas kehidupan adalah anugerah terindah bagi setiap kita?
Tak boleh disia-siakan
Kiranya hidup ini tidaklah disia-siakan. Tuhan tak hadirkan kita tabula rasa. Seolah-olah bagai selembar kertas kosong, tak ada bekal sedikitpun buat perjalanan di kesementaraan ini. Tidak! Maka, mulailah kita dengan apa yang kita miliki. Sepantasnya dimeteraikanlah semuanya dalam usaha, semangat, perjuangan pengorbanan serta kesetiaan. Di situlah nilai-nilai kehidupan terpatri.
Talenta ini mesti digandakan! Hidup mesti dipertaruhkan agar bernilai dan berarti. ‘Tetap jalani saja hidup ini. Demi melakukan yang terbaik.’ Tak usalah bermuram durja penuh putus asa jika memang tantangan dan cobaan datang menghadang. Itulah keniscayaan riak-riak di kehidupan.
Tuhan hanya ingin melihat: Apakah setiap kita memang setia dan penuh perjuangan dari anugerah yang diberikanNya? Tataplah siapapun sesama kita! Andai sesama punya sukses? Punya pencapaian? Mencapai kegemilangan? Tiba pada kelimpahan? Nampaknya semua tersedia? Pandanglah semuanya dengan mata harapan. Sekiranya semuanya itu ditangkap sebagai pijar-pijar inspiratif demi semangat hidup buat diri kita sendiri.
Berjuanglah selalu
Tak usahlah mendengki. Jauhkanlah iri hati. Hentikanlah secepatnya riak-riak ‘kecemburuan sosial’ tak pada tempatnya. Kata Tuhan, ‘Kita jauh lebih berharga dari bunga bakung seindah apapun dia; kita jauh melampaui burung-burung di udara yang tak menanam dan menuai namun diberi makan oleh Allah’ (cf Matius 6:25-34).
Kita memang mesti berjuang dan bertarung di ziarah kehidupan ini. Hidup ini memang tak boleh disia-siakan dan mesti jadi berkat nyata. Nelson Mandela, Pemimpin besar Afrika Selatan itu, pernah membakar semangat bangsanya dengan seruan penuh kobar yang ditangkapnya dari William Shakespeare, “Orang yang tidak berjuang akan mati berulang-ulang sebelum ia mati sesungguhnya.” Sungguh, vita est militia, ‘hidup adalah perjuangan.’
Siapapun tak kehendaki dirinya mati berulang-ulang dalam hidup sebelum ajal datang menjemputnya pasti. Siapapun tak sudi bahwa jalan hidupnya ‘hanya sebatas yang itu-itu saja.’ Siapapun tak mau hidup disegel mati tanpa kreasi, tanpa alternatif, tanpa terobosan, serta tanpa berbagai kemungkinan demi perkembangan hidup itu sendiri.
Kesempatan tetap terbuka
Di dunia yang fana, namun penuh dengan ‘litania kesempatan,’ setiap jalan hidup kita masih tetap terbuka luas. Terbentang lebar. Kisah-kisah kita belumlah berakhir sebelum Kuasa Langit memastikan dan memanggil kita untuk kembali pulang.
Saat kita jatuh dalam ‘kematian minor berskala kecil’ ditampar rasa kecewa, putus asa, kebosanan, sakit hati, rasa terluka dan direndahkan, tak diperhitungkan, bukankah tetap tertangkap bisikan suara ilahi dan masih tetap terdengar suara orang-orang benar dan beriman yang berseru ‘bangun dan berjalanlah di dalam semangat dan harapan’? Itulah yang dialami oleh si timpang yang tersembuhkan. Sebab dalam Yesus, hidupnya tak boleh lagi ‘hanya sebatas area tilam itu’ (cf Yohanes 5:8).
Dalam Yesus yang penuh kuasa, hidup itu harus ‘bergerak, berubah, sungguh menjadi hidup.’ Iya, dalam Yesus ‘hidup itu harus berbuah dan menghasilkan dan tak boleh tetap saja menganggur tanpa orientasi dan sungguh kehilangan arah’ (cf Matius 20:6). Daya hidup sungguh tak boleh terkubur mati tanpa usaha dan perjuangan yang hanya berujung pada kesiaan-siaan (cf Matius 25:26-30).
Dunia: Sekolah Kehidupan
Bagaimana pun di sepanjang ziarah bumi, kesementaraan ini adalah sekolah kehidupan penuh harapan. Banyak pelajaran tanpa kata yang membawa asa. Tataplah penuh teduh tubuh lemah, letih lesu tak berdaya, kurus dan terbungkuk itu! Namun dari situ tetap terpancar semangat penuh makna yang tak pernah surut bagi setiap kita. Sepertinya kita diserukan untuk tetap berjuang dan teruslah berjuang sebelum semuanya ditamatkan oleh Tuhan keabadian. Si empunya segala kehidupan ini.
Walau raga telah tiada, jiwa penuh hidup tak pernah pudar
Tetapi akhirnya, kenangkanlah pula semua mereka yang telah kembali berpulang ke hadirat ilahi. Ada banyak jalan dan tapak-tapak berkat yang telah mereka lewati. Segalanya kini telah jadi wasiat dan warisan penuh makna. Semuanya kini hanya dapat kembali dalam rindu dan nostalgia hening nan sepih.
Bagaimana pun, di atas segalanya, bersyukurlah akan warisan iman kristiani. Orangtua yang telah berpulang itu telah jadikan kita tertenun dalam iman – harapan – kasih di dalam Yesus, Tuhan. Itulah harta teramat mulia yang mereka wariskan.
Hanya kepadaNya kita kembali
Dan pada saatnya, dalam iman, harapan dan kasih itu, kita semua akan kembali kepadaNya. Berkumpul bersama dalam kemuliaan dan sukacita abadi surgawi. Kesementaraan ini bakal berlalu. Yakinlah “… jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga” (2Korintus 5:1).
Hidup tetaplah anugerah. Kita jalani penuh sukacita, sambil tetap berjaga-jaga demi menuju Kasih Abadi. Saat kita kunjungi semua mereka, orangtua, sanak keluarga, sahabat kenalan di peristirahatan terakhir, tetap bergemalah harapan agar cita-cita dan harapan mulia mereka tak boleh pudar. Kita berikhtiar melanjutkan sebisanya di dalam pecahan-pecahan waktu yang tersisa…..
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma