Betun, Vox NTT- Agrowisata merupakan perpaduan antara pariwisata dan pertanian atau perkebunan dikombinasikan menjadi tempat destinasi yang menarik bagi masyarakat untuk beraktivitas di lingkungan perkebunan.
Berbicara agrowisata ini, Bali menjadi favorit dan sudah terkenal di seluruh Indonesia bahkan mancanegara. Salah satu yang terkenal di Provinsi Bali adalah Desa Kertalangu yang berada di Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar.
Desa Kertalangu menjadi pilihan masyarakat berwisata di tengah Kota Denpasar. Daya Tarik Wisata (DTW) ini menawarkan alam persawahan yang masih alami, sejuk dan damai.
Hal itulah yang menghantarkan para kepala desa dari Kecamatan Malaka Tengah ditemani Bupati Malaka Simon Nahak, berkunjung sekaligus studi banding di Desa Kertalangu ini.
“Studi banding kali ini mendapatkan beberapa manfaat dan hal baru yakni terkait pembagian air yg diatur oleh engatur subak terutama adilnya para petugas irigasi untuk membagi air bagi para petani, kesadaran masyarakat pengolah lahan untuk memanfaatkan air,” ungkap Simon kepada VoxNtt.com, Senin (6/11/2023).
Selain itu, pemilik program SAKTI di Kabupaten Malaka ini pun mengatakan bahwa agrowisata di Desa Kertalangu sangat bisa diterapkan di Kabupaten Malaka.
Hal lain yang didapat menurut Simon, adalah pemanfaatan lahan sawah yang kekurangan pasokan air.
“Kita perlu juga jika air berkurang maka harus ditanam tumpang sari, atau lahan sawah air berkurang tidak harus tanam padi tapi bisa tanam jagung atau hortikultura lainnya,” kata Simon.
Selain sebagai desa wisata pertanian atau agrowisata, hal positif yang dipelajari di Kertalangu adalah soal pengelolaan BUMDes.
“Desa Kertalangu mengatur Bumdes secara mandiri dengan berbagai inovasi. Untuk menambah PAD bagi desanya juga dibangun desa wisata baik dari pertanian tradisionalnya maupun wisata spiritual karena Desa Kertalangu dijadikan tempat Yoga, juga bisa mengolah sampah menjadi pupuk serta Desa Budaya yang mencirikan pelestarian budaya desa setempat dengan menampilkan seni budaya yang dimiliki dan dipentaskan saat ada tamu yang berkunjung,” ujar Simon.
Sebagai contoh, budaya pertanian tradisional seperti Sapi yang dipakai untuk membajak sawah masih menjadi daya tarik wisatawan.
“Tempat ini juga dikelola secara profesional sehingga setiap tamu yang masuk diwajibkan bayar karcis untuk anak sekolah dikenakan sebesar Rp15.000 sedangkan orang sewasa dikenakan Rp30.000,” ungkap Simon.
Ia berharap agar hasil dari studi banding dapat menjadi contoh dan motivasi kerja untuk para kepala desa peserta studi banding. Hal ini agar dapat diterapkan dan dikembangkan di Kabupaten Malaka.
Penulis: Frido Umrisu Raebesi