Oleh: Frido Umrisu Raebesi
Wartawan VoxNtt.com di Malaka
Ketika mendapat tawaran untuk meliput di Timor Leste, hal pertama yang ada dalam kepala saya adalah negaranya tidak aman dan miskin.
Dilansir dari Global Finance, Timor Leste berada di peringkat ke-31 dengan angka Gross Domestic Product (GDP) dan Purchasing Power Parity (PPP) 3.637 sebagai salah satu negara termiskin di dunia 2023.
Namun pikiran itu berbanding terbalik saat saya dan beberapa jurnoalis asal Kabupaten Malaka menginjakkan kaki mulai dari Batu Gede hingga Maliana Timor Leste.
Perjalanan bersama rombongan kontingen Festival Frontrera dari batas Motaain ke Maliana dikawal ketat oleh patwal polisi trans (lantas) Timor Leste.
Dalam perjalanan ada pemandangan yang menarik yang tidak pernah dijumpai di Indonesia. Soal etika berkendara di jalan umum.
Para pengguna jalan di Timor Leste sangat menghargai tamu dan polisi lalu lintasnya. Hal ini dibuktikan saat berpapasan di jalan.
Para pengguna jalan raya di Timor Leste langsung berhenti dan mematikan mesin motor atau mobilnya.
Tanda bahwa mereka menghargai tamu yang berkunjung ke negaranya. Atau bisa jadi, mereka juga taat dan manut saat bunyi mobil patwal seolah memberi kode, asa tamu luar negeri jadi harus berhenti sejenak setelah rombongan lewat.
Hal ini membuat saya kagum dengan ketertiban dan kepatuhan warga negara Timor Leste yang tidak perlu bersuara banyak. Hanya bunyi sirene patwal saja, mereka tertib di jalan.
Berbanding terbalik ketika di Indonesia. Mau ada tamu atau apapun itu, ketika di jalan raya, ada celah mereka bisa saling mendahului.
Seribu kali ada polisi ataupun petugas, mereka tidak peduli. Soal ini, kita kalah dengan Timor Leste yang baru saja merdeka tahun 2002 lalu.
Dan yang paling saya kagumi, masyarakatnya sangat menghormati aparat kepolisian di Timor Leste.
Tidak heran, polisi di Timor Leste tidak banyak bersuara, tapi di jalanan tertib. Mungkin mereka percaya bahwa polisinya sangat profesional dan bertanggung jawab.
Sepanjang perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 2 jam ke Maliana, banyak juga pemandangan alam yang dijumpai. Walaupun tandus dan berbukit, alam Timor Leste itu unik dan indah.
Ada beberapa ruas jalan adalah bekas zaman Indonesia ada juga yang sudah dipugar oleh pemerintah Timor Leste. Tapi beberapa jembatan baik kecil atau besar adalah bekas peninggalan Indonesia.
Maliana Kota Tua yang Belum Tersentuh Pembangunan
Setelah naik turun bukit dengan jalan yang berkelok dan tikungan ekstrim, akhirnya kami tiba juga di Maliana.
Kami disambut dengan jembatan panjang bekas Indonesia yang dekat dengan Haekesak, Indonesia.
Setelah itu, jalan lurus sepanjang 10 kilometer yang diapit oleh hamparan sawah kering yang sangat luas. Namun sayang, sawah itu hanya bisa diolah saat musim hujan.
Di ujung jalan lurus itu, mulai terlihat kota tua Maliana, ibukota dari distrik Bobonaro (dulu Kabupaten Bobonaro). Kami disambut lambaian tangan penduduk kota Maliana.
Tampak ramai sepanjang jalan Maliana, tuan rumah Festival Frontrera Interkambiun Kultura Ba Hametin Rekonsiliasaon. Sekilas, banyak gedung peninggalan Indonesia.
Ada kantor pos Indonesia, beberapa kantor dinas, kantor polisi dan lainnya yang masih ada bekas peninggalan Indonesia. Terlebih, jalan raya dan trotoar yang khas Indonesia.
Menurut masyarakat setempat, sejak berpisah dari Indonesia, Kota Maliana belum disentuh oleh infrastruktur dari pemerintahan Timor Leste.
Pantas saja, jalanan dalam kota sudah rusak parah dan banyak rumah rumah tua bekas Indonesia dan Portugal belum direnovasi. Sekilas, seperti kota tua yang kurang diperhatikan pemerintah setempat.
Di pusat kota Maliana, tepatnya di Gor Maliana dan lapangan umum, banyak mobil pemerintah dan kepolisian Timor Leste sudah standby menanti malam pembukaan Festival Frontrera.
Luar biasa ramainya. Sejenak, saya kagum dengan kota ini dan negara Timor Leste. Tidak ada motor yang memakai knalpot racing seperti di Indonesia dan hampir semua pengguna jalan tertib memakai helm.
Sungguh pemandangan yang menyejukkan batin. Beda dengan di Indonesia, apalagi ada kegiatan semacam festival ini, pasti sudah banyak motor knalpot racing berkeliaran dengan raungan yang memekik gendang telinga.
Di Timor Leste tidak ada satu pun. Negara ini aman dan tertib, polisinya disegani oleh warganya.
Polisi Timor Leste Disegani Warganya Namun Baik Hati dan Bertanggung Jawab
Hal yang paling berkesan bagimu saya adalah personil polisi Timor Leste atau PNTL (Policia Nationalist Timor Leste). Mereka berseragam biru tua pucat dan tidak banyak atribut kepangkatan.
Namun hal yang akui adalah semuanya bersenjata pistol otomatis. Perawakan mereka seram dan tegap, namun baik hatinya tiada banding. Pantas saja mereka disegani oleh warganya.
Sekitar pukul 15.00 waktu Timor Leste, kami tiba di penginapan di atas Katedral Maliana.
Ada homstay yang sudah disiapkan pemerintah Timor Leste khusus jurnalis dari Kabupaten Malaka. Semuanya gratis, dari penginapan hingga makan minum selama 3 hari ditanggung penuh oleh pemerintah Timor Leste.
Menariknya, ada dua personil polisi yang ditugaskan jaga kami selama kegiatan berlangsung.
Mereka berdua jaga mulai dari penginapan, makan minum hingga pengawalan di tempat kegiatan.
Dikawal seperti pejabat besar. Hal inilah yang memantik rasa kagum dari kami beberapa jurnalis dan supir rental dari Malaka.
“Di Malaka orang tidak anggap kita, tapi di Timor Leste polisi kawal kita 24 jam seperti pejabat besar,” kata seorang supir travel bernama Albinus disambut tawa dari kami para jurnalis.
Menurut dua orang polisi yang mengawal kami, mereka diperintahkan khusus jaga keselamatan dan kenyamanan kami selama berada di Timor Leste.
“Ini perintah negara dan kami siaga 1 untuk ini. Kami dipastikan untuk jaga kaka mereka selama berada di Timor Leste. Kalian itu tamu negara yang harus dilayani,” ungkap salah satu polisi yang kelihatan lebih senior dibandingkan dengan temannya.
Hebatnya, mereka tidak tidur saat kami tidur pulas menghilangkan lelah seharian penuh. Dengan setia, mereka gantian menjaga kami. Salut dan luar biasa bapak polisi berdua.
Tak terasa, 3 hari berlalu. Kami akhirnya harus pamit pulang ke Malaka. Namun nasib naas menimpa kami dan para sopir travel. Mobil jenis avansa yang kami tumpangi, rusak berat. Tali kipasnya putus.
Sialnya, semua bengkel mobil di Maliana tidak menyediakan suku cadangnya. Lagi – lagi polisi dua orang yang setia bersama kami menjalankan perannya sebagai pengawal tamu negara.
Mereka berdua naik – turun cari suku cadang mobil tersebut. Dua kali tali kipas yang dibeli putus lagi saat dicoba.
Semua rombongan dari Malaka sudah bergerak menuju pintu batas sejak pukul 8.00 waktu Timor Leste.
Sedangkan diwaktu yang sama, kami masih berusaha cocokkan tali kipas milik mobil merk lain yang dimodifikasi.
Kami hampir putus asa. Menurut warga setempat, toko bengkel di Maliana tidak lengkap.
“Kami biasa belanja di Atambua (Indonesia),” kata salah satu warga Maliana.
Namun berkat kesabaran dan keuletan para supir dibantu dua orang polisi Timor Leste tadi, mobil akhirnya nyala dengan dimodifikasi oleh mekanik dadakan dari supirnya kadis Pariwisata Malaka.
Kami akhirnya keluar dari Maliana dengan langkah yang kurang yakin. Namun tetap juga tiba dengan selamat sampai Malaka.
Terima kasih PNTL yang sudah memberikan pelayanan terbaik saat kami berada di Maliana. Terima kasih atas kebaikan hati yang diberikan kepada kami.
Dari kalian kamu belajar saling menghargai dan mencintai sesama kami. Kalian adalah sosok polisi teladan untuk Indonesia dan Timor Leste.