Kota Kupang, Vox NTT- Sejak pukul 08.00 Wita, Sabtu (18/11/2023), kurang lebih belasan anak muda berkumpul di Jalan Herewila.
Mereka menikmati kopi, sebagian teh dipadu kue yang dijual di pinggir jalan.
Beberapa perempuan terlihat menyiapkan beberapa gelas minuman.
Sisanya, mereka terlihat asyik mengobrol tentang kuliah, pertemanan dan lainnya.
Sejak Jumat, sehari sebelumya, undangan dilengkapi jadwal dan juga nama tempat yang bakal dikunjungi sudah beredar.
Panitia penyelenggara terlihat mengenakan seragam putih campur hitam.
Tampak, tertulis nama Kompak. Mereka adalah komunitas pemuda lintas agama. Mereka biasa disebut Komunitas Peace Maker Kupang.
Sejak tahun 2012, komunitas ini sudah ada dan terbentuk di Kota Kupang.
Setahun yang lalu, sekretariat mereka masih berada di Tuak Daun Merah (TDM), Oebufu, Kota Kupang.
“Kami sudah pindah ke sini selama satu tahun, ” tutur Ijong, Pengurus Kompak Kupang, Sabtu pagi.
Ijong berujar komunitas itu memiliki latar belakang keterwakilan agama, suku dan asal.
Mereka lebih fokus kepada urusan kerukunan. Bahkan, komunitas ini sering melakukan advokasi untuk pembangunan rumah ibadah di Kota Kupang.
Pada Sabtu (18/11/2023) kemarin, Ijong merinci akan melakukan kegiatan tour rumah ibadah lintas agama yang bertemakan “Tak Kenal Maka Tak Sayang”.
Kepada belasan anggota baru dalam komunitas itu mereka akan berkunjung ke Vihara Pubbaratana, Masjid Darul Hijrah, GMIT Kaisarea, Gereja St. Fransiskus dari Asisi dan terakhir mereka akan berkunjung ke Pura Agung Giri Kertha Kencana Buana.
“Kami ingin teman-teman yang ada ini bisa tidak canggung terhadap agama lain,” ujar Ijong.
“Minimal jika menemukan sesuatu yang lain, mereka sudah tahu dan kenal lebih dahulu,” kata dia.
Tempat paling pertama dikunjungi adalah Vihara Pubbarattana. Itu terletak di Bello, Kota Kupang.
VoxNtt.com juga ikut dalam rombongan untuk melihat dari dekat wisata kerukunan itu.
Bayu Sugani dan salah satu penjaga Vihara sudah menunggu sejak pagi.
Sebagai pengurus Viharra yang adalah tempat ibadah bagi Umat Hindu di Kota Kupang, Bayu terlihat sangat antusias.
Dalam beberapa jam, Bayu menjelaskan tentang proses pembangunan Viharra.
“Wihara ini pertama di Kota Kupang. Umat Budha jumlahnya kurang, sebenarnya tidak bisa dibangun jika ikut Peraturan Menteri Agama,” kata dia membuka dialog.
Tapi, menurut Bayu, Pemerintah Kota Kupang dan masyarakat yang memberikan perhatian.
“Meskipun kami minoritas kami bisa bangun rumah ibadah. 164 jiwa, NTT keseluruhan kurang lebih 300-an. Wihara ini dibangun mulai Tahun 2016 dan jadi tahun 2020,” katanya.
Belasan anak baru dalam Komunitas Kompak Kupang diperkenalkan pada hal yang sama di empat rumah ibadah lain sesuai dengan jadwal kunjungan.
Mereka berdialog dan mendapat pencerahan tentang rumah ibadah agama lain, tata cara dan nilai serta ajaran.
Sekira petang hari, kegiatan ini pun usai. Mereka kembali ke sekretariat. Sesuah berdoa, mereka kembali ke rumah masing-masing.
Ini adalah kegiatan rutinitad tahunan bagi anggota baru. Mereka diperkenalkan soal keanekaragaman.
Godeliva Ogot, salah satu anggota yang baru saja berganung dalam Komunitas Kompak mengaku sangat antusias.
“Ini pengalaman pertama dan sangat suka. Dengan melakukan kunjungan ini saya merasakan betul soal perbedaan,” ujar Godeliva.
Alumnus FKIP Undana itu mengaku jika “Yang paling saya rasakan saya kunjung ke Vihara,”.
Katanya, kunjungan itu merupakan pengalaman yang paling menyentuh, apalagi soal keberagaman.
“Betul betul sangat menyentuh semua agamanya itu intinya dua cinta kasih dan kedamaian,” aku Godeliva.
Dia mengatakan bahwa “saat ke Gereja Kaisarea pendeta bilang ini adalah bentuk pendewasaan iman”.
“Saya pergi dan melihat langsung agama agama lain. Setiap agama itu ada ciri khas tersendiri,” katanya.
Dia mengaku senang dan menemukan pengalaman yang sangat menarik.
“Harapannya ini terus berlanjut. Sebisanya teman teman yang hari ini tidak ikut bisa gabung lain gabung. Kalau mengenal agama sendiri kalau mereka tahu pasti mereka tahu bahwa semua agama itu mengajarkan cinta kasih,” katanya.
Menurutnya, setiap anak.muda harus berani keluar, belajar dan menemukan perbedaan dan menerimanya sebagai ilmu dan membentuk sikap toleransi.
“Harus keluar dari dunia yang hanya itu itu saja dan harus kenal dengan teman yang punya agama berbeda,” katanya.
Selaku penyelenggara, kata Ijong, ini kegiatan lingkar belajar Peace Maker, pendalaman materi.
“Biar mereka lebih peka lagi. Biar mereka tidak canggung. Informasi yang mereka dapatkan itu bisa bertabrakan dengan realitas yang nyata. Nanti kita akan kunjungi tokoh lintas agama dan kemudian kelompok rentan atau marjinal,” tukas dia.
Penulis: Ronis Natom