Ruteng, Vox NTT- Ratusan warga Gendang Tere, Desa Mocok, Kecamatan Satarmese Kabupaten Manggarai, yang terdiri dari anak-anak, kaum muda dan para orang tua menyelenggarakan upacara ‘Roko Molas Poco’ pada Rabu (06/12/2023).
‘Roko Molas Poco’ merupakan salah satu upacara yang sangat penting dalam adat istiadat orang Manggarai pada umumnya ketika pembangunan rumah adat atau rumah gendang baru di sebuah kampung.
Umumnya, ‘Roko Molas Poco’ ditandai dengan perarakan kayu besar oleh warga masyarakat setempat yang nantinya kayu tersebut akan digunakan sebagai tiang utama atau yang dikenal dengan nama ‘siri bongkok’ dalam struktur pembangunan rumah gendang orang Manggarai.
Tahapan Roko Molas Poco Gendang Tere
Upacara Roko Molas Poco selalu dilakukan dengan menempati seorang gadis cantik diatasnya.
Dalam konteks Gendang Tere, perayaan tersebut berlangsung setelah sebelumnya tokoh adat dari empat keturunan di gendang tersebut melakukan ritual yang disebut ‘Ace Cola’.
Ritual ‘Ace Cola’ dilakukan di hutan pada awal bulan Agustus yang lalu. Ritual ini berlangsung saat masyarakat Gendang Tere sudah berhasil menemukan ‘haju mes’, salah satu jenis kayu berukuran besar dan lurus yang tumbuh di daerah pegunungan yang nantinya bakal digunakan sebagai tiang utama rumah Gendang Tere.
Ritual ‘Ace Cola’ ditandai dengan penancapan sebuah kapak berukuran besar ke kayu yang bakal dijadikan sebagai tiang utama. Sebelum ditancapkan, didahului dengan penyampaian maksud dan tujuan kedatangan dengan bahan sesajen berupa sirih pinang.
“Saat sirih pinang diberikan maka disampaikan maksud dan tujuan kedatangan. Kapak ditancapkan di kayu tersebut dengan perjanjian apabila dalam waktu tiga hari kapak yang ditancapkan itu jatuh maka itu pertanda bahwa kayu tersebut tidak bisa digunakan sebagai tiang utama rumah gendang,” ujar Joniardus Junar, Tokoh Adat Generasi Keenam Gendang Tere.
Tiga hari kemudian, warga bersama tokoh adat Gendang Tere pergi kembali ke tempat tersebut guna untuk melihat perjanjian yang dilakukan pada tiga hari sebelumnya.
“Kami mendapati bahwa semuanya masih normal. Sehingga dibuatkan acara kedua yakni ‘tuluk pu’un, batu mbarun, kaer waken”, karena kapak yang ditancapkan tiga hari sebelumnya tidak terlepas sehingga kayunya bisa ditebang dan dibersihkan,” tambahnya.
Setelah semuanya sudah berhasil dibersihkan maka warga boleh datang membawa kayu tersebut dalam kurun waktu lima hari kemudian. Kayu dibawa menuju ‘Wejang Asi’ yang berlokasi di perbatasan antara Gendang Lungar dan Gendang Tere atau yang dikenal dengan nama ‘Rewa’.
Sebelum kayu tersebut diangkat, ada sebuah ritual juga yang tidak kalah penting untuk dilakukan yakni ‘adak teti rantang lut agu lorong le mori golo’ (sebuah ritual agar para penghuni hutan yang lain juga tidak ikut bersama-sama ke kampung).
Sesampainya di Rewa maka acara yang dilakukan yakni ‘adak wa’u’. Setelahnya, daun yang dibawa pada saat bersamaan dengan kayu utama ‘siri bongkok’ tersebut diletakkan di atas tiang utama.
Titik start Roko Molas Poco kali ini dimulai dari ‘Rewa Beo’ (perbatasan antara Gendang Lungar dan Gendang Tere). Pada titik ini, seorang gadis dibiarkan duduk di atas kayu tersebut sambil memegang sebuah payung selayaknya sebagai seorang ratu yang harus dilindungi dan tidak dibolehkan untuk disinari matahari.
Para masyarakat Gendang Tere pun dibiarkan menempati kiri dan kanan kayu tersebut agar menggotongnya menuju halaman rumah gendang sambil diiringi dengan ‘ronda’.
Sebelum sampai di Halaman Rumah Gendang Tere, banyak ritual yang dilakukan yakni seperti saat masuk ke ‘Pa’ang’ atau gerbang kampung Tere.
Saat sampai di pintu gerbang kampung (pa’ang), acara yang dilakukan adalah ‘kapu agu naka’ dengan tujuan agar seluruh isi kampung tahu dan tidak ada ‘babang agu bentang‘ atau teguran dari leluhur di kampung tersebut.
Setelah ritual tersebut dilakukan, maka warga melanjutkan perarakan menuju halaman rumah Gendang Tere. Saat sampai di halaman rumah gendang, dilakukan ritual ‘oke ceki’ dan ‘gerep ruha’.
“Jadi dia tidak lagi menggunakan ‘ceki‘-nya saat masih di hutan melainkan menggunakan ceki gendang Tere yakni ‘ceki rutung’,” tutupnya.
Makna Roko Molas Poco
Pastor Inosensius Sutam, Pr menjelaskan bahwa pemilihan hewan berupa kambing atau ‘mbe kondo’ sebagai hewan persembahan dalam upacara ‘Roko Molas Poco’ Gendang Tere karena salah satu anak dari pendiri kampung mereka dahulu adalah orang muslim.
Sedangkan warna kondo adalah warna merah kekuning-kuningan yang memiliki makna positif dan kerap dipakai pada saat acara-acara syukuran dilakukan.
“Salah satu nama untuk Manggarai adalah Nuca Lale. Karena banyak ditumbuhi dengan pohon lale. Dan lale merupakan simbol tanah yang subur. Karena itu, warna lale adalah warna syukuran secara umum. Kalau ayamnya disebut manuk lale, kalau kambing namanya adalah mbe kondo, babi atau kerbau disebut ela rae dan kaba rae. Jadi warna merah kekuning-kuningan itu simbol emas,” jelas Dosen Unika Ruteng itu.
Sedangkan, upacara ‘Roko Molas Poco’ menurut Pastor Inosensius sama seperti saat seseorang meminang gadis. Oleh karena itu, yang dibawa ke kampung bukanlah benda mati melainkan membawa sumber kehidupan.
“Yang kita bawa tadi sebenarnya itu bukan benda melainkan manusia. Bahkan lebih dari manusia kita membawa alam, membawa sumber kehidupan. Jadi yang kita bawa adalah rahim kehidupan. Karena itu tadi ada air,” ujarnya.
“Bagi orang Manggarai, air ini adalah simbol jiwa yang disebut wakar. Karena itu, orang Manggarai sebelum dikandung selalu ada mimpi timba air. Makanya tiap kampung di Manggarai, wajib ada wae barong,” tambahnya.
Ia juga menjelaskan bahwa dalam proses upacara ‘Roko Molas Poco’ terdapat banyak sekali simbol yang digunakan seperti penggunaan beberapa jenis daun yang diyakini sebagai energi kehidupan bagi masyarakat di sana.
“Lalu (Molas Poco) kan ibu, dan seorang ibu ketika pulang rumah itu dia seolah-olah datang dari kampung baru, datang dari kebun dan membawa semua makanan yang menghidupkan anak. Jadi, tadi yang dibawa itu labe, ara, kilit, rempo, kuncang, ndusuk. Itu semua jenis daun-daunan yang ketika kita kelaparan atau tersesat di hutan itu kita bisa makan. Itu juga makanan bagi hewan yang ada di hutan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ketua Komisi Pariwisata Keuskupan Ruteng itu juga menyampaikan bahwa hal lain yang dibawa bersama adalah obat yang dikenal dengan sebutan ‘runus agu renggong’ oleh orang Manggarai.
“Runus dalam mitologi merupakan simbol wanita pertama dulu. Wela Runus dan Kambu Lawak. Ibu pertama dan bapak pertama menurut mitologi orang Manggarai. Akhirnya kita juga pergi mengambil ranting-rantingnya dan akar karena yang kita bawa bukan kayu mati melainkan pohon,” tutupnya.
Untuk diketahui, Gendang Tere merupakan salah satu dari beberapa Gendang yang ada di Desa Mocok, Satarmese. Adapun gendang lain yakni Gendang Mocok, Gendang Mori, Gendang Racang Jong, Gendang Rebak, dan sebagian warga desa yang masuk di Gendang Mano.
Malam sebelum upacara ‘Roko Molas Poco’ dilakukan, didahului dengan acara ‘pande nggelis weki’ (upacara pemurnian diri dari berbagai macam belenggu masa lalu).
Ritual ini dipercaya sebagai salah satu upaya memutus mata rantai terulang kembalinya kejadian masa lalu di Gendang Tere seperti ‘bowok haju’. Dalam kepercayaan orang Manggarai, ‘bowok haju’ dianggap sebagai ‘pau one ngaung, mbelos one lewo’ yang berarti keguguran.
Hingga saat ini, empat tokoh adat yang ada di Gendang Tere merupakan generasi keenam. Adapun tokoh adat yang dimaksudkan yakni Joniardus Junar, Yosef Sintu, Dominikus Hampir dan Yosef Sukar.
Penulis: Igen Padur