Oleh: Ariedne Elviani Kemis
Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kelurahan/Desa selanjutnya disebut Panwaslu Kelurahan Desa merupakan salah satu lembaga yang berwenang mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu di tingkat kelurahan atau desa.
Hal ini diatur dalam Pasal 89 ayat (1) dan ayat (2) huruf ‘e’ Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Di sana, dinyatakan bahwa “Pengawasan penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh Bawaslu. Bawaslu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Panwaslu Kelurahan/Desa”.
Panwaslu Kelurahan Desa adalah Panitia yang dibentuk oleh Panwaslu Kecamatan untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu di tingkat kelurahan/desa atau sebutan lainnya.
Pembentukan Panwaslu Kelurahan/Desa berpedoman pada prinsip penyelanggara pemilu yaitu mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif, efisien, aksesibilitas, dan afirmasi.
Dalam konteks afirmasi dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).
Namun sayangnya, penerapan prinsip afirmasi perempuan 30% menjadi sulit dilakukan karena faktanya tingkat partisipasi perempuan sebagai pengawas pemilu di kelurahan atau desa sangat rendah.
Hal itu langsung diamati penulis ketika menjadi staf Panwaslu Kecamatan Langke Rembong pada Pemilihan Kepala Daerah tahun 2020 yang lalu.
Di Kecamatan Langke Rembong pada 2020 lalu, ada empat orang perempuan Pengawas Kelurahan Desa yaitu Pengawas Kelurahan Rowang, Pengawas Kelurahan Lawir, Pengawas Kelurahan Golodukal, dan Pengawas Kelurahan Bangka Leda.
Sementara jumlah Kelurahan di Kecamatan Langke Rembong sebanyak 20 Kelurahan. Itu artinya jumlah Pengawas Kelurahan Desa di kecamatan Langke Rembong pada Pilkada tahun 2020 hanya mencapai 20% (dua puluh persen) atau tidak mencapai jumlah minimal 30% perempuan.
Sementara, secara formal, peningkatan keterlibatan perempuan sudah diatur dengan baik dalam undang-undang.
Peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik didorong melalui tindakan afirmatif sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan di partai politik, lembaga legislatif maupun di lembaga penyelenggara pemilu.
Tetapi dalam praktiknya, perempuan terbentur oleh banyak kendala dalam peningkatan keterlibatannya secara politik.
Perempuan mengalami halangan-halangan yang seringkali kasat mata, tetapi sangat nyata dirasakan dan menghambat perempuan untuk terlibat secara politik. Mengapa keterlibatan perempuan menjadi Panwaslu Kelurahan Desa sangat rendah?
Menurut penulis, hal itu dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Berikut beberapa faktor yang mungkin berperan dalam rendahnya partisipasi perempuan sebagai pengawas pemilu pada Pemilu.
Pertama, Stereotip Gender. Adanya stereotip gender yang masih melekat dalam masyarakat dapat menjadi hambatan bagi perempuan untuk terlibat dalam aktivitas politik, termasuk menjadi pengawas pemilu.
Beberapa masyarakat mungkin masih memiliki pandangan bahwa perempuan lebih cocok berada di rumah daripada terlibat dalam kegiatan politik.
Kedua, Keterbatasan Akses Pendidikan. Jika perempuan memiliki keterbatasan akses terhadap pendidikan.
Mereka mungkin kurang percaya diri atau kurang akses informasi terkait dengan proses pemilu.
Pendidikan yang rendah juga dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk memahami tugas-tugas pengawasan pemilu.
Ketiga, Tanggung Jawab Rumah Tangga. Peran tradisional perempuan sebagai penanggung jawab utama rumah tangga dapat menjadi kendala.
Beban pekerjaan rumah tangga yang berat dapat membuat sulit bagi perempuan untuk menyisihkan waktu untuk terlibat sebagai pengawas pemilu.
Keempat, Kurangnya Kesadaran Politik. Kurangnya kesadaran politik di kalangan perempuan juga bisa menjadi penyebab rendahnya partisipasi.
Mereka mungkin tidak merasa bahwa keterlibatan mereka dalam pengawasan pemilu dapat membuat perbedaan.
Kelima, Kurangnya Dukungan dan Dorongan. Jika tidak ada dukungan atau dorongan dari masyarakat atau keluarga, perempuan mungkin merasa kurang termotivasi untuk terlibat dalam pengawasan pemilu.
Keenam, Diskriminasi dan Ketidaksetaraan. Adanya diskriminasi gender atau ketidaksetaraan dalam kesempatan dan akses juga dapat menjadi kendala bagi partisipasi perempuan dalam pengawasan pemilu.
Ketujuh, Kurangnya Representasi. Jika perempuan merasa bahwa mereka tidak cukup direpresentasikan dalam proses politik atau bahwa suara mereka tidak didengar, mereka mungkin kurang termotivasi untuk terlibat.
Kedelapan, Tingginya Persaingan. Tingginya persaingan atau lingkungan yang kompetitif dalam pemilihan pengawas pemilu juga dapat membuat perempuan enggan untuk terlibat.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan partisipasi perempuan sebagai pengawas pemilu, perlu dilakukan upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut melalui pendekatan pendidikan, advokasi gender, dan perubahan budaya di masyarakat.
Peningkatan kesadaran politik dan dukungan dari berbagai pihak juga dapat memainkan peran kunci dalam mendorong partisipasi perempuan dalam proses pemilihan umum.
Berdasarkan hasil riset Puskapol FISIP Universitas Indonesia, ada beberapa hambatan yang secara nyata dialami perempuan dan menghalanginya dalam berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu, yaitu: 1) Masalah budaya, dimana jadi laki-laki sebagai tokoh adat, identik dengan pemimpin, dan itu terbawa dari adat ke sistem pemerintahan.
Perempuan pada dasarnya menerima peran seperti itu. Karena faktor budaya tadi. Kalau dari sisi saya secara pribadi, hambatan dari perempuan untuk masuk ke badan penyelenggara Pemilu, yang paling khusus, izin dari suami dan izin dari orang tua; 2) Pengetahuan kepemiluan. Contoh berdasarkan data Puskapol UI, “Dari 121 pendaftar, yang lolos tes tertulis ada 50 orang, 10 di antaranya perempuan.
Lalu untuk tahap 10 besar hanya ada 1 perempuan yang lolos. Jadi, masalah pengetahuan masih sulit bagi perempuan; 3) Kondisi Geografis. untuk beberapa wilayah di Indonesia, masalah geografis menjadi isu penting dalam mencakup keterlibatan perempuan dalam politik.
Jika dilihat dari paparan di atas, dapat disimpulkan peran perempuan menjadi pengawas pemilu khususnya di tingkat desa kelurahan masih rendah. Karena itu, semua pihak perlu mendorong partisipasi politik perempuan dan meningkatkan keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu.
Peningkatan keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu adalah bagian dari upaya mendorong partisipasi politik perempuan, atas tiga alasan: yaitu keadilan, akses yang setara dalam partisipasi politik, dan peluang yang setara bagi perempuan untuk mempengaruhi proses politik dengan perspektif perempuan.
Oleh karena itu, perempuan harus didorong untuk mendapatkan posisi sebagai penyelenggara pemilu melalui pengadaan pelatihan kepemiluan dan penguatan keterampilan perempuan itu sendiri. Semoga keterlibatan perempuan dari Pemilu ke Pemilu khususnya sebagai Pengawas Kelurahan/Desa semakin meningkat dengan kepedulian semua pihak untuk mendorong partisipasi politik perempuan dalam pemilu.
Akhir kata penulis meyakini, tidak ada Pemilu yang demokratis tanpa keterlibatan perempuan yang adalah pemilih dengan jumlah terbesar.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaporkan, daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 sebanyak 204,81 juta jiwa.
Jumlah itu terdiri dari 102,58 juta pemilih perempuan dan 102,21 juta pemilih laki-laki. Karena itu dapat dikatakan demokrasi tanpa perempuan adalah mati.
Dengan mengutip kata-kata bijak Margaret Thatcher saya tutup tulisan sederhana ini. Semoga berkenan. “Jika Anda ingin sesuatu dikatakan, tanyakan pada seorang pria; jika Anda ingin sesuatu dilakukan, tanyakan pada seorang wanita.”
Penulis adalah mahasiswa Program Studi Bahasa Indonesia Unika Santu Paulus Ruteng . Dia juga pernah menjadi Staf Panwaslu Kecamatan Langke Rembong pada Pilkada 2020