Oleh: Wilfridus Fon
Mahasiswa IFTK Ledalero, Maumere
Pada 14 Februari 2024 mendatang, kita akan menselebrasikan pesta demokrasi. Namun menjelang pergelaran pesta demokrasi, iklim politik semakin memanas.
Pergerakan politik berdasarkan level kepentingannya, yaitu politik kekuasaan (power politics) dan politik kepedulian sosial (politics of social concern) menjadi penyebab utamanya.
Untuk konteks power politics, tidak sedikit bakal calon pemimpin ikut dalam persaingan memperebutkan kursi kekuasaan. Kini, mereka sedang berjuang, mengerahkan segala pikiran dan tenaga dalam menyususn strategi agar menjadi ‘gembala’ (shepherd) masyarakat di masa depan (in the future).
Pada saat bersamaan, antusiasme (enthusiasm) masyarakat pemilih semakin tampak di atas permukaan.
Banyak pergelaran seri diskusi atau wacana dialektis-kritis secara terbuka untuk mewacanakan pemilu mendatang, dengan harapan pemilu kali ini akan melahirkan para pemimpin populis. Jadi, inilah hiruk-pikuk masyarakat Nusantara pada hari ini menjelang pemilu nanti.
Isidorus Lilijawa, dalam bukunya yang berjudul, “Mengapa Takut Berpolitik?” secara komprehensif menjelaskan politik berdasarkan kepentingannya.
Menurut kepentingannya, politik dibagi menjadi dua, yaitu politik kepedulian sosial (politics of social concern) dan politik kekuasaan (power politics) (Lilijawa, 2007:40-41).
Penjelasan seputar kedua bentuk politik tersebut akan dibentangkan secara berurutan sebagai berikut.
Pertama, politik kepedulian sosial (politics of social concern). Politics of social concern merupakan politik yang didasarkan atas kesadaran adanya panggilan kemanusiaan (humanity) dan kewarganegaraan (citizensip).
Artinya, individu yang terlibat di dalamnya tidak berorientasi pada upaya memperoleh kekuasaan dan mempertahankannya, melainkan memanfaatkan segala probabilitas (probability) untuk bonum commune.
Politik kepedulian sosial bergerak di luar lembaga-lembaga demokratis dengan menempuh jalur informal (informal way); dengan melancarkan fungsi advokasi, kritik, kontrol, pemberdayaan dan penyadaran masyarakat.
Politics of social concern dapat diimplementasikan dalam pentas power politics, bila orang-orang yang terlibat di dalamnya terdorong oleh panggilan humanity dan kepedulian sosial bagi banyak orang (social concern for many people).
Politics of social concern berdimensi moral sebab mengusahakan tatanan hidup sosial masyarakat yang mentereng, rukun, dan penuh sembari menumpas egoisme, individualisme, dan keculasan yang membelokan tujuan mulia dari kegiatan politik.
Kedua, politik kekuasaan (power politics). Power politics – lawan dari politik kepedulian sosial – tidak terlepas dari upaya untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Guna menduduki kursi kekuasaan, urgensitas keterlibatan lembaga-lembaga demokratis – legislatif, yudikatif, eksekutif, dan partai-partai politik – sangat dibutuhkan.
Namun tak dapat dimungkiri bahwa atensi untuk mengengam kekuasaan acap menempuh banyak cara, baik halal maupun tidak halal, legal maupun ilegal. Hal inilah yang menentukan sifat ambivalensi dari politik kekuasaan.
Power politics bercorak ambivalen. Ada sisi gelap dan sisi terangnya. Lugas saja, dengan meneropong dari sisi gelapnya, power politics diafirmasi sebagai bentuk partisipasi politik yang tidak terlepas dari aktus merayakan pelbagai cara destruktif, vandalistis, medok, najis, penuh intrik busuk, tidak bermoral, dan culas.
Individu yang terlibat di dalamnya berpegang teguh pada prinsip rasionalitas tujuan.
Prinsip rasionalitas tujuan merupakan bentuk partisipasi politik yang hanya ingin meraih keuntungan pribadi semata dengan mengangkangi norma-norma yang berlaku dan bergerak di luar etika berpolitik.
Untuk konteks politik kekuasaan, para politisi yang mengengam prinsip ini sebetulnya sedang diperbudak oleh hasrat gila kuasa yang hiperbolis.
Jika mereka berhasil menduduki kursi kekuasaan, maka individualisme dan egoisme menjadi bahan pertimbangan dalam menelurkan pelbagai kebijakan publik.
Sebagai konsekuensi logisnya, pembuatan kebijakan publik acap dilakukan secara despotis, blunder, dan tidak menjawabi tantangan mutakhir masyarakat akar rumput. Sedangkan, jika ditilik dari sisi terannya, ide tentang politik kekuasaan berkiblat pada upaya konstruktif.
Artinya, para elit politik meleburkan diri dalam percaturan politik bukan karena didorong hasrat gila kuasa, melainkan kerena kesadaran akan panggilan kemanusiaan (humanity) dan kepedulian sosial melalui lembaga-lembaga politik kekuasaan.
Mereka telah mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin yang siap melayani masyarakat dan tidak mudah dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan lain.
Suara masyarakat adalah objek rebutan para bakal calon pemimpin yang bergerak dalam power politics.
De facto, upaya merebut hati masyarakat membutuhkan strategi dan techne yang menguras banyak energi, pikiran, dan tenaga.
Mirisnya, tidak sedikit orang menghalalkan segala cara, baik secara halal maupun tidak halal.
Lihat saja, selama masa kampanye! Ada segelintir politisi yang menjalankan kampanye secara sehat dan bergerak di dalam koridor etika berkampanye.
Presensi mereka di tengah masyarakat sekadar untuk membangun kedekatan dengan masyarakat sembari mempromosikan personal branding dan mengaungkan visi-misi yang akan dilakukan ketika terpilih nantinya.
Namun, tidak sedikit politisi juga melakukan aktus yang mengangkangi aturan main berkampanye. Mereka bergerak di luar koridor etika berkampanye, semisal; money politic (Melanggar undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu, pasal 280 ayat 1 huruf j berbunyi, “Pelaksanaan, peserta, dan tim kampanye dilarang memberikan uang atau materi lainnya untuk mempergaruhi penyelengara pemilu dan/atau pemilih.”), adanya ungkapan sarkastis atau ujaran provokatif, dan degradasi rival politik.
Selain itu, para buzzer politik berkeliaraan di medsos sembari mamanipulasi data dan mengaungkan irasionalitas dalam bentuk penyebaran hoaks dan hate speach.
Di hadapan faktum tersebut, bagaimana masyarakat menempatkan posisinya menjelang pemilu mendatang?
Pemilu merupakan ajang untuk mempertajam kesadaran politik masyarakat agar dapat menentukan pilihan politiknya (Lilijawa, 2010:289).
Sebagai masyarakat pemilih, penulis pasti berharap agar pemilu kali ini akan melahirkan para pemimpin yang siap mengabdi kepada masyarakat.
Oleh karena itu, sikap primordial untuk mencegah perjalanan calon pemimpin yang dianggap tidak layak ialah menjadi pemilih cerdas.
Sekurang-kurannya, ada dua hal yang dilakukan oleh pemilih cerdas. Pertama, mengenal bakal calon. Pemilih cerdas didemonisasi sebagai pemilih otentik (authentic voter).
Keputusannya lahir dari pertimbangannya sendiri tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya, disogok atau dipaksa. Dia tidak memilih asal-asalan.
Hukum kedekatan atau relasi sosial tidak mempengaruhi pilihannya. Dia memilih karena telah mengenal sosok yang dipilih berdasarkan track record-nya.
Hal inilah yang memungkinkannya tiba pada penilaian kelayakan atau kepantasan bakal calon pemimpin untuk menjadi pemimpin di masa depan.
Kedua, memahami visi dan misi. Setiap bakal calon pemimpin memiliki visi-misi yang berbeda-beda.
Setiap visi-misi yang dijabarkan berkelindan dengan upaya menciptakan kehidupan mentereng di tengah masyarakat.
Dari beragam visi-misi yang ada, pemilih cerdas mampu mengevaluasi visi-misi yang dipaparkan.
Evaluasi yang dimaksud tidak terlepas dari pergulatan tentang kerelevanan dari visi-misi yang dijabarkan.
Jika visi-misi tersebut dianggap terlalu mengawang, maka langkah pamungkas yang dilakukan ialah mempertimbangkan kepantasan bakal calon pemimpin bersangkutan.
Pemilu dikatakan sukses bukan karena orang sudah memilih, melainkan apabila keseluruhan prosesnya menunjukan bahwa kita telah menjadi warga negara yang dewasa dalam berdemokrasi.
Oleh karena itu, kedewasaan kita dalam berdemokrasi menjadi ikhtiar yang membidani lahirnya para pemimpin populis.
Tampuk kekuasaan di negeri ini akan duduki oleh pemimpin populis bila masyarakat pemilih menentukan pilihannya secara cerdas. Hal inilah yang menentukan perjalanan politik di negeri ini selama lima tahun ke depan.
Bakal calon pemimpin yang sedang diperbudak oleh gila kuasa mesti dicegah perjalanannya menuju tampuk kekuasaan. Mari lapangkan karpet merah bagi para pemimpin yang dianggap mumpuni untuk menjadi servant masyarakat di masa depan!!!