Oleh: Deonezio Manek
Anggota Komunitas Pikir Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira
Mungkin kebanyakan dari masyarakat merasa aman saja dengan pernyataan bahwa bangsa Indonesia sedang berada pada taraf moral/ kehidupan nilai-nilai kemanusian baik-baik saja.
Bahkan dalam diskusi lepas ada pernyataan yang mengatakan moral kehidupan bangsa Indonesia lagi meningkat.
Akan tetapi lain halnya dengan para akademi karena masih ada kebanyakan masyarakat yang merasa sangat perihatin dengan bangsa ini terkait dengan kemerosotan nilai-nilai moral dan kemanusian.
Tentunya tidak semua lini kehidupan bangsa Indonesia mengalami degradasi nilai kemanusian, yang pasti bahwa adanya penurunan sikap kejujuran, rasa keadilan, kemanusian, etika, dan lain-lain.
Setelah bangsa Indonesia merdeka dari penjajahan Jepang dan Belanda, bangsa Indonesia mulai bergelut mencari sistem pemerintahan yang ideal.
Pencarian akan sistem bernegara bangsa Indonesia dikatakan sebagai pencarian sistem kemanusian yang menyesejahtrakan.
Sebab sistem negara yang baik berdampak positif bagi perkembangan nilai-nilai kemanusian dalam hal ini (etika, moral, keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan).
Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, negara ini sudah empat kali melakukan pergantian sistem negara yakni masa demokrasi konstitusi/parlamenter, masa demokrasi terpimpin, masa demokrasi Pancasila/orde baru, masa demokrasi reformasi.
Tentunya dinamika pergantian sistem pemerintahan ini sangat menjelaskan betapa tingginya bangsa Indonesia mendambakan akan nilai-nilai kemanusian yang baik dan benar.
Di satu sisi bangsa Indonesia harus bersyukur telah menemukan sistem bernegara yang baik.
Menjelang pesta demokrasi tahun 2024 atau pesta sistem bernegara bangsa Indonesia yang ke-78, muncul permasalahan dalam benak masyarakat sebagaimana ditandai dengan adanya etika dan moralitas dalam dunia politik makin hari kian kabur bahkan mati kesurupan.
Hal ini terjadi karena adanya oknum-oknum tertentu memanfaatkan kebaikan dari sistem demokrasi demi kepentingan diri sendiri.
Politik tahun ini kelihatan semakin ramai digambarkan sebagai rasa perebutan kekuasaan. Sedangkan masyarakat mengalami kehilangan kedaulatan dan kebebasan.
Bahkan kebijakan-kebijakan umum diputuskan berdasarkan besarnya pembayaran seolah-olah bangsa ini menganut sistem oligarki.
Akibatnya tindakan korupsi merejalela, ekonomi meredup, keadilan tidak merata. Bahkan putusan mahkamah konstitusi sifatnya hanya konsultasi antara sang ayah dan anak kandungnya.
Spirit demokrasi yang berlandaskan pada kedaulatan rakyat akhirnya hanyalah sebatas doa para elit.
Demokrasi
Kata demokrasi pada umumnya masyarakat kenal dalam pengertian politik. Kata demokrasi secara etimologis berasal dari Bahasa Yunani “demokatia”.
Kata demos artinya rakyat. Sedangkan kata kratia artinya pemerintahan. Jika kedua terminoligi ini digabungkan maka sederhananya demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat.
Kata demokrasi pertama kali digunakan di Kota Athena dipimpin oleh Clesthenes tahun 507-508 SM, Clesthenes disebut senagai bapak demokrasi.
Sistem demokrasi yang terrealisasi di Kota Athena diwujudkan lewat keterlibatan seluruh masyarakat dalam menentukan pejabat pemerintahan.
Artinya, masyarakat mempunyai kedaulatan secara penuh dalam menentukan kebijakan pejabat pemerintahan.
Persoalannya bahwa kedaulatan masyarakat modern saat ini tidak lagi utuh seperti yang terjadi di Kota Athena.
Demokrasi modern yang sedang dijalankan oleh negara-negara Asia, Afrika dan Eropa pada umumnya mengikuti konsep demokrasi Aristoteles dalam karyanya “politeia” yang menyajikan tentang hakekat demokrasi.
Siangkatnya, Aristoteles mengatakan bahwa negara yang baik adalah negara yang mementingkan kepentingan umum masyarakat. Sedangkan politeia selalu identik dengan demokrasi modern yang berbasiskan pada Undang-undang.
Demokrasi Aristoteles perwujudan dari pentingnya kebebasan individu sistem pemerintahan yang berlandaskan pada konstitusi, dan pentingnya keberadaan kelas menengah.
Demokrasi bangsa Indonesia saat ini menekankan pentingnya kebebasan, kedaulatan, persamaan, dan pemerintahan transparasi.
Jadi, demokrasi bangsa Indonesia sementara merealisasikan demokrasi Aristoteles.
Idealisme Cacat Demokrasi
Michael Sandel filsuf berkebangsaan Amerika dan profesor di Harvart pada tahun 2020 menerbitkan buku berjudul ‘The Tyrany of Merit’.
Buku ini secara singkat mau menggambarkan tentang meritokasi sebagai prinsip hidup yang ideal dan krisis demokrasi yang terjadi di Amerika. Kritik Sandel terhadap demokrasi.
Pertama, berkaitan dengan ideologi meritokrasi yang berkeyakinan bahwa hanya orang-orang berprestasi saja yang mampu mengatur kehidupan demokrasi.
Tentunya ideologi meritokrasi berdampak pada ketimpangan sosial bagi masyakat pinggiran.
Artinya, masyarakat yang miskin tidak bisa mendapatkan posisi yang sama dengan orang-orang yang berprestasi.
Kedua, terkait dengan meritokrasi sistem pendidikan. Artinya, sistem pendidikan bagi masyarakat kecil sangat penting dalam mengatasi ketimpangan sosial, akan tetapi dengan adanya meritokrasi pendidikan maka sistem pendidikan hanya diperuntukkan bagi mereka yang berprestasi, dalam arti mereka yang ekonomi kuat ketimbang ekonomi lemah.
Ketiga, berkaitan dengan liberal. Artinya, kebebasan individu dalam demokrasi dijadikan basis utama perlindungan diri dari kemungkinan kehendak umum.
Bertitiktolak dari realitas demokrasi yang marak terjadi menjelang pesta demokrasi tahun 2024, ternyata memperlihatkan kenyataan spirit demokrasi yang berlandaskan semangat kebebasan, kedaulatan, belum pantas dijadikan praksis kehidupan bernegara.
Kenyataan ini disebabkan adanya cacat demokrasi yang dilakukan oleh segelintir kelompok. Lantas apa penyebab dari cacat demokrasi bangsa Indonesia?
Pertama, adanya pelanggaran etika demokrasi melalui putusan MK terkait dengan Undang-undang Nomor 90/puu-xxl/2023.
Kedua, hoaks. Bangsa Indonesia sedang dihujani oleh hoaks. Akibatnya, menjelang pesta demokrasi masyarakat sulit membedakan antara kebenaran dan kepalsuan.
Lebih dari itu bahwa putusan menjelang pilkada tidak jernih sehingga terjadinya perpecahan antara masyarakat dalam isu-isu agama dan HAM, dan lain-lain.
Ketiga, adanya permainan politik dinasti dengan tujuan kekuasaan tetap berada dalam lingkaran kekeluargaan yang diwariskan secara hirarki.
Lebih dari itu bahwa adanya politik identitas yang mematikan rasa keadilan dalam demokrasi bangsa Indonesia.
Demokrasi bangsa Indonesia tidak saja dibangun atas dasar kedaulatan dan kebebasan rakyat, akan tetapi dibangun atas dasar nilai-nilai kemanusian yang diwujudkan lewat akal budi yang memadai serta pemikiran yang kritis.
Artinya, demokrasi bangsa Indonesia dibangun atas dasar pengetahuan akan kemanusian yang utuh dengan sendirinya memperdayakan para elit untuk memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu juga masyarakat dengan jeli melihat persoalan lalu mengambil putusan yang final.