Oleh: Yohanes Mau
Pernah bertugas di Zimbabwe Afrika. Kini sedang bertualang di Tanah Marapu.
Buku Malu Aiba’a adalah hasil karya dari Pastor Benediktus Mali, SVD. Dia adalah anggota misionaris Serikat sabda Allah (SVD).
Dia berasal dari Kampung Asueman, Paroki Santo Theodorus Weluli, Keuskupan Atambua. Kini dia sedang berkarya di wilayah Provinsi SVD Jawa.
Tugas utamanya sebagai pastor Kepala di paroki St. Yosef Matraman Jakarta, Keuskupan Agung Jakarta.
Karya Buku Malu Aiba’a adalah kontribusinya yang besar untuk tanah tempat lahirnya yang mengandung, hingga membesarkannya menjadi Imam abdi Allah yang setia bekerja di ladangNya.
Ketika membaca buku ini hati saya tersapa kembali ke kampung halaman tempat lahir dan tempat bermain saya dulu.
Saat acara kematian di kampung Suku Bunaq, selalu saja orang menyebut dua kata ini, Malu dan Aibaá.
Kedua kata ini lazim disebutkan dan tidak asing lagi bagi suku orang bunaq.
Sejak itu, saya belum tahu sebenarnya apa arti dua kata ini. Namun yang biasa terjadi adalah suku Malu ai datang dan memberi sesuatu dan suku Aiba’a menerima sesuatu, selanjutnya Aiba’a kasih sesuatu kepada Malu Ai.
Di sinilah saya melihat ada aktivitas timbal balik terima dan kasih (Malu Aiba’a).
Setelah saya membaca dengan cermat isi buku Malu Aiba’a ini baru saya mengerti secara baik dan benar arti dari kedua kata tersebut.
Ternyata Malu Aiba’a itu adalah terima kasih dalam bahasa Bunaq. Aktivitas Malu Aiba’a itu bukan hanya terjadi saat hajatan kematian saja tetapi lebih dari itu segala aktivitas kehidupan yang memiliki relasi dengan Tuhan, sesama dan alam semesta termuat di dalamnya secara rapi.
Sehingga hadirnya buku Malu Aiba’a ini adalah bentuk kontribusi terbesar dari seorang Gembala kepada umat sebagai domba gembalaannya.
Pastor Beni Mali tidak hanya sebagai pastor misionaris yang berkoar-koar di atas Mimbar dengan kata-kata kosong tetapi Beni adalah pastor yang melebur dan mencair di dalam realitas budayanya secara hari ini.
Hatinya tidak tega membiarkan budaya keaslian di kampungnya itu tergerus oleh derasnya arus budaya zaman terkini. Dia bekerja keras dan melakukan penelitian yang ketat hingga menghasilkan karya besar ini.
Karya Buku Malu Aiba’a bukanlah karya kaleng-kalengan tetapi karya ini lahir dari hasil doa, kontemplasi serta aksinya yang luar biasa selama ini.
Pastor Beni dilahirkan dari keluarga Bunaq di kampung Asueman. Ia dibesarkan di dalam nuansa kampung yang sangat kental dengan budaya Malu Aiba’a.
Budaya ini sejak kecil telah membentuk dirinya dan menjadikan dia sebagai pribadi yang tahu terima kasih (Malu Aiba’a).
Terima kasih adalah budaya yang menggoreskan hati orang-orang bunaq untuk setia melantunkan syukur kepada Hot Esen ujud tertinggi (Tuhan), sesama, dan alam ciptaan sebagai sesama ciptaan yang mesti di-respect dan dihormati sebagai korelasi yang tak terputuskan dalam memaknai seluruh ziarah hidup manusia di dunia fana ini.
Dunia fana adalah medan tempat sandiwara manusia. Manusia berlakon dengan segala kreativitasnya yang dibaluti segala macam tawaran dunia terkini yang menggiurkan.
Generasi muda gampang berubah hati, tinggalkan budayanya sendiri dan mengadopsi budaya asing menjadi budayanya sendiri.
Buku Malu Aiba’a adalah karya brilliant di tengah gencarnya aneka kemajuan teknologi dan komunikasi yang tak terbendung lagi oleh apa dan siapa pun.
Buku Malu Aiba’a membuka hati para tokoh masyarakat, agama, pendidikan, dan pemerintah untuk melek mata dan buka hati untuk memblokir budaya asing dan konsisten dalam melestarikan kearifan lokal.
Pastor Beni telah menjadi pioner yang membuka jalan bagi generasi kini dan generasi yang akan datang untuk setia dan konsisten berpegang teguh pada budaya Malu Aiba’a.
Malu Aiba’a sebagai cara jitu menyadarkan generasi dalam mempromosikan budaya lokal kepada tingkat nasional dan menuju puncak internasional.
Janganlah sekali-kali menjadi pelaku dalam melenyapkan budaya lokal yang telah diwariskan oleh nenek moyang.
Di dalam budaya lokal Malu Aiba’a
terselubung makna suci dan luhur yang memiliki kontak langsung dengan ujud tertingga Hot Esen- Pemilik langit dan bumi, sesama, dan alam ciptaan.
Pada bab dua, Pastor Beni menulis tentang Hidup Dalam Relasi Terima Kasih, Malu Aiba’a. Dia menulis bahwa hidup manusia itu adalah ungkapan terima kasih yang terjalin sebelum terjadinya hubungan biologis.
Istri terima cinta dari suami dan suami terima cinta dari istri. Saling terima dan saling kasih. Juga segala bentuk perhatian yang diberikan oleh orangtua kepada anak-anak adalah ungkapan memberi dan anak-anak menerimanya dengan rasa syukur dan terima kasih.
Jadi relasi Malu dan Aiba’a adalah hubungan terima kasih yang utuh dan tak terputuskan.
Buku Malu Aiba’a adalah karya luar biasa yang hadir di tengah keresahan orang tua terhadap dunia generasi muda yang semakin hari perlahan menanggalkan keaslian budayanya dan menggenakan budaya-budaya luar yang dianggap menyapa realitas gaya hidup mereka hari ini.
Sehingga patut kita beri apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Pastor Benediktus Mali, SVD atas jasanya yang sangat luar biasa untuk merawat dan melestarikan budaya Bunaq di tengah arus globalisasi dunia modern terkini.
Buku Malu Aiba’a ini sangat relevan untuk semua budaya yang ada di seluruh NTT dan wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Karena hakekat dari hidup manusia adalah ungkapan terima kasih yang tak akan pernah selesai hingga kapan pun.
Rawat dan jadikanlah Malu Aiba’a, terima kasih sebagai budaya warisan suku Bunaq yang memiliki korelasi tak terputuskan dengan Tuhan, sesama, dan alam semesta sebagai tempat manusia melakonkan cinta untuk menggapai kebaikan umum demi kesejahteraan hidup bersama.
Semoga Pemerintah Daerah dan pemerintah Provinsi berpikir untuk menerbitkan karya Pastor Beni Mali, SVD ini dan membagikannya ke sekolah-sekolah tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, agar generasi muda tidak merasa asing dengan budaya di negerinya sendiri.