Kupang, Vox NTT-Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Kota Kupang menuntut dengan tuntutan pidana berbeda bagi 6 terdakwa dalam kasus pembunuhan Roy Herman Bolle akhir tahun lalu.
Hal itu dibacakan oleh JPU pada sidang tuntutan yang digelar di PN Kupang, Rabu (20/3/2024).
JPU menuntut terdakwa dari sebanyak enam orang dalam kasus tersebut, empat terdakwa di tuntut dengan hukuman dua tahun pidana penjara, diantaranya, Marten Konay, Stevi Konay, Donny Konay dan Ruben Logo.
Sementara, terdakwa Maryanto Labura 12 tahun penjara. Sedangkan Mateos Alang 14 tahun pidana penjara.
Tuntutan JPU ini, tentu saja menuai protes dan ragam keberatan keluarga dan juga aliansi yang sejak awal ikut mengawal kasus ini.
Itu sebabnya, usai pembacaan tuntutan, puluhan orang berjalan kaki menuju Kantor Kejari Kota Kupang.
Mereka menyampaikan keberatan dan juga protes atas tuntutan yang dinilai mengesampingkan fakta-fakta dalam persidangan itu.
Koordinator massa aliansi, Germas menyebut jika ada dugaan persengkongkolan yang terjadi sehingga usai sidang pembacaan tuntutan ditunda sebanyak dua kali, juga sampai kepada masa tuntutan yang dinilai terlalu rendah.
“Kami mau Kajari Kota Kupang menjelaskan kepada kami apa alasannya sehingga tuntutannya cuma dua tahun. Lama lama orang nanti bisa saja bunuh orang karena mereka sudah tahu pidananya sedikit,” kata Germas.
Kuasa hukum keluarga korban Paul Hariwijawa Bethan mengatakan, sejak awal sebagai kuasa hukum dan perwakilan keluarga dirinya sudah menduga ada kejanggalan.
“Dari masa penahanan yang diperpanjang oleh kejaksaan, terus mau di P21 mengalami kekurangan alat bukti. Sampai dengan hari ini saat pembacaan tuntutan. Memang orang yang mengantar dan mekakukan penikaman dengan terdakwa lain memiliki jumlah tuntutan yang berbeda jauh,” beber Paul.
Menurutnya, soal tuntutan terhadap Teny Konay, Ruben Logo dan dua lainnya hanya dituntut dua tahun penjara.
“Kami duga ada deal karena saat sidang ada keterangan ahli yang menyatakan adanya voice note dan ahli menerangkan adanya hubungan kejadian itu dengan perintah sebelumnya,” kata dia.
“Sangat janggal karena saat sidang pembuktian jaksa menghadirkan ahli yang menerangkan rerkait adanya perintah. Tapi malah tuntutannya jauh lebih rendah tentu kami merasa adanya kejanggalan. Apalagi perasaan keluarga korban,” tambahnya.
Meskipun begitu, Paul masih berharap sepenuhnya kepada majelis hakim.
“Kami masih memiliki harapan kepada majelis hakim agar mengambil sikap memvonis lebih tinggi selama tidak melebihi batas maksimal sesuai dengan dakwaan pasal KUHP,” tukasnya.