Oleh: Igen Padur
Jurnalis Vox NTT yang bertugas di wilayah Kabupaten Manggarai
Polemik nasib tenaga kesehatan (nakes) non-ASN di Kabupaten Manggarai beberapa ahad belakangan ini masih menjadi buah bibir. Sejumlah media massa ikut meramaikan kanal berita terkait simpang siur nasib mereka yang bekerja menyelamatkan nyawa manusia itu.
Para nakes terus memperjuangkan dan meminta Pemerintah Kabupaten Manggarai agar serius memperhatikan nasib mereka.
Pada 12 Februari 2024 lalu, misalnya, ratusan nakes non-ASN menemui Sekretaris Daerah Manggarai Fansi Jahang di Aula Ranaka Kantor Bupati Manggarai. Saat itu, mereka meminta pemerintah segera menerbitkan surat perintah kerja (SPK) tahun 2024.
Juga, pada 6 Maret 2024, ratus nakes non-ASN menemui Komisi A DPRD Manggarai. Mereka meminta DPRD agar mendorong pemerintah untuk mengusulkan dan membuka sebanyak mungkin formasi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) bagi tenaga kesehatan tahun 2024.
Kala nasib mereka masih ‘kabur’, muncul masalah lain yang menyasar 18 nakes sukarela murni di Rumah Sakit Pratama Reo, Kecamatan Reok. Mereka dipecat Pemkab Manggarai dengan dalil pertimbangan tidak tersedianya jaminan anggaran terhadap bahaya atau risiko pekerjaan yang sangat besar sebagai tenaga kesehatan.
Belakangan dari total tersebut, delapan di antaranya sudah kembali bekerja sebagai tenaga sukarela di Puskesmas Reo berdasarkan surat perintah tugas (SPT) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai. Sedangkan 10 orang lainnya terpaksa ‘dirumahkan’.
Bupati Manggarai Herybertus G.L Nabit memang bergeming atas polemik ratusan nakes. Namun ia justru mengeluarkan pernyataan ‘miris’ bahwa akan memberhentikan dan tidak memperpanjang SPK honorer nakes di Kabupaten Manggarai.
Menariknya, pernyataan pemecatan para nakes ini dikeluarkan menjelang masa pendaftaran PPPK tahun 2024. Hal ini tentu wajar bertanya “Apakah ini mekanisme seleksi politik?”
Jika ditelusuri lebih jauh soal ketentuan, tidak ada mekanisme seleksi politik dalam pengadaan ASN, baik CPNS maupun PPPK. Namun berdasarkan persyaratan pendaftaran tahun sebelumnya (pengadaan ASN tahun 2023), kita patut mencurigai langkah Nabit sangat kontroversial, emosional, dan bahkan politis.
Penulis belum menemukan peraturan turunan dari Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 14 Tahun 2023 tentang Pengadaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja untuk Jabatan Fungsional yang mengatur tentang mekanisme seleksi PPPK 2024.
Namun jika dicermati persyaratan tahun sebelumnya, mekanisme pengadaan ASN untuk tenaga guru, kesehatan, dan teknis tahun 2023 tertuang dalam KepmenpanRB Nomor 648 Tahun 2023 tentang Mekanisme Seleksi Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja Untuk Jabatan Fungsional Tahun 2023.
Dalam Kepmen ini, kriteria pelamar bagi formasi khusus PPPK Fungsional meliputi: a. eks tenaga honorer kategori II (eks THK-II); atau b. tenaga non-ASN. Tenaga kesehatan honorer yang dipecat masuk dalam kategori ini.
Bahayanya, dalam diktum keempat, dijelaskan bahwa “Tenaga Non ASN sebagaimana dimaksud dalam diktum jedua huruf b adalah pegawai yang melamar pada instansi pemerintah tempat bekerja saat mendaftar dan memiliki pengalaman kerja paling sedikit 2 (dua) tahun secara terus menerus pada instansi pemerintah yang dilamar”.
Jika dihubungkan dengan kebijakan Bupati Nabit, tenaga kesehatan yang dipecat sebelum pendaftaran akan kehilangan peluang untuk mendaftar PPPK melalui formasi khusus, sebab diktum keempat yang berbunyi “bahwa tenaga non ASN sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua huruf b adalah pegawai yang melamar pada instansi pemerintah tempat bekerja saat mendaftar” adalah pegawai yang masih bekerja saat mendaftar, dan masih bekerja pada instansi Pemda Manggarai. Tenaga kesehatan yang dipecat akan gugur secara administratif karena saat mendaftar, sudah tidak lagi bekerja pada instansi yang dilamar.
Tidak dapat dipungkiri, kebanyakan dari pegawai honorer menunggu momentum pendaftaran PPPK, apalagi bagi tenaga fungsional (termasuk tenaga kesehatan) yang sudah bekerja lebih dari dua tahun, untuk mengikuti seleksi PPPK fungsional jalur khusus.
Formasi PPPK Khusus Lebih Menguntungkan
Pada diktum ke-14 pada Kepmen ini disebutkan bahwa peserta formasi khusus dinyatakan lulus seleksi jika berperingkat terbaik. Sedangkan, untuk peserta pada kebutuhan umum, dinyatakan lulus seleksi jika memenuhi nilai ambang batas dan berperingkat terbaik.
Artinya, peserta formasi khusus PPPK tidak dipersyaratkan ambang batas (passing grade), tetapi cukup dengan memperoleh peringkat terbaik sesuai kebutuhan formasi.
Keuntungan lainnya dari Kepmen ini, bagi peserta dengan formasi khusus adalah jumlah peserta yang lebih sedikit, karena tidak semua orang memiliki kesempatan “berkerja pada instansi pemerintah tempat bekerja saat dilamar”.
Ada banyak nakes yang tidak bekerja pada instansi pemerintah (dalam hal ini, instansi yang dimaksud adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai), sehingga tidak bisa mendaftar pada formasi khusus, tetapi mendaftar pada formasi umum yang harus melewati seleksi murni tanpa kekhususan. Klausul dalam diktum ini menjadi imbas bagi nakes yang diberhentikan sebelum dibukanya seleksi PPPK.
Padahal, pemerintah pusat tengah mengapresiasi tenaga honorer yang telah mengabdi lama pada instansi pemerintah dengan membuka sejumlah formasi dan mekanisme pengadaan dengan sejumlah kemudahan yang mengikuti. Mengapa malah Bupati Nabit mempersulit?
Pengaturan Berkedok Peraturan
Bupati Nabit kelihatan tersulut emosinya dengan adanya aksi protes yang dilakukan ratusan nakes di DPRD. Sebagaimana dilansir Vox NTT dalam berita “Selain Berhentikan Nakes, Pemkab Manggarai Tak Perpanjang SPK” tertanggal 19 Maret 2024, Nabit menganggap para nakes yang berdemo itu tidak mempercayai atasannya, sehingga layak diberhentikan.
Argumentasi Nabit benar, bahwa PPPK tidak dapat diangkat tanpa proses seleksi. Itu menyalahi aturan. Tetapi juga menjadi salah, ketika pemerintah pusat sedang menyiapkan jembatan untuk keberlanjutan nasib tenaga honorer melalui PPPK, Bupati Nabit malah memutus jembatan itu.
Ketersinggungan Bupati Nabit akibat protes para nakes ke DPRD Manggarai, menyulut ketegangan antara pihak eksekutif dan legislatif. Penegasan Bupati Nabit untuk tidak memperpanjang semua tenaga Kesehatan yang protes, dapat dilihat sebagai wujud “bersih-bersih” menjelang Pilkada.
Menariknya, keputusan ini keluar sesaat setelah Bupati Nabit melantik 10 orang pejabat eselon II di Kabupaten Manggarai. Ini adalah agenda “bersih-bersih” yang massif. Pemecatan ini bisa menjadi sinyal “jangan melawan titah bupati.”.
Namun menjadi pertanyaan serius “Apakah 18 orang nakes yang dipecat termasuk dalam 300 orang yang melakukan demonstrasi di Kantor DPRD Manggarai?” Ataukah nama- nama yang dipecat sebenarnya sudah dikantongi jauh hari sebelum aksi demo itu berlangsung?
Jika benar, pemecatan bisa jadi adalah gimick menutupi pengaturan di belakangnya. Sebab, argumentasi anggaran sebagaimana disampaikan oleh pimpinan RS Pratama Reo tidak masuk akal, karena penetapan anggaran sudah dilakukan sejak tahun sebelumnya, dan nakes di Reo bekerja Januari-Maret tanpa SPK.