Oleh: Prof. Dr. Drs. Fransiskus Bustan, M.Lib
Dosen Pascasarjana Undana Kupang
Beberapa waktu lalu, saya dipercayakan untuk menyampaikan sambutan berupa ungkapan hati mewakili keluarga kedua mempelai dalam suatu resepsi pernikahan di Kota Kupang.
Karena isu seksi yang sedang menggeliat di sejumlah media dan menjadi topik perbincangan publik saat itu bertautan dengan deklarasi paket politik pasangan bakal calon (balon) kepala daerah di beberapa wilayah, maka saya sisipkan sepenggal pesan kepada kedua mempelai melalui analogi komparatif seputar perbedaan paket cinta dan paket politik.
Analogi yang saya kemas itu mengundang gelak hadirin karena sebagian tamu undangan yang menghadiri resepsi pernikahan itu adalah kelompok relawan paket politik tertentu.
Seperti kita ketahui bersama, hubungan antara pasangan suami-istri dalam paket cinta bersifat organis.
Mengapa? Karena hubungan suami-istri dalam paket cinta berlangsung secara berkelanjutan dan berjalan sepanjang hayat tanpa ada batasan waktu, kecuali dalam konteks kawin kontrak sesuai hasil kesepakatan bersama di atas kertas bermeterai.
Esensi janji paket cinta yang diikrar di depan imam atau penghulu adalah sehati-sesuara dalam bingkai sehidup-semati, baik dalam suka maupun dalam duka.
Seandainya terjadi konflik karena perbedaan pendapat dan pendapatan, misalnya, kedua belah pihak biasanya berupaya melalui berbagai bentuk dan cara untuk menengarai konflik tersebut dengan cara damai demi mencapai kebahagian bersama.
Mengapa? Karena sejak awal kedua pihak menyatakan komitmen menerima sesama pasangannya dengan segala kelebihan dan kekurangan sehingga, dalam konteks kehidupan bersama sebagai pasutri, mereka saling mengisi dan melengkapi satu sama lain.
Bukan cuma itu. Dalam paket cinta, tidak ada pemilahan nomor antara nomor satu dan nomor dua karena mereka memahami dan memaknai kehadiran sesama pasangannya sebagai kembaran diri.
Perpisahan paket cinta hanya bisa terjadi jika ada situasi dan kondisi tertentu yang dipandang luar biasa karena, misalnya, salah satu pihak mulai bergerak di luar radius cinta yang menjadi komitmen awal.
Lain cerita dengan paket politik, seperti pasangan bupati dan wakil bupati atau pasangan wali kota dan wali kota, hubungan antara pasangan pemimpin dan wakilnya bersifat kontraktual.
Mengapa? Karena hubungan itu berlangsung secara periodikal selama lima tahun berdasarkan periodisasi masa jabatan sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam melaksanakan tugas, terdapat pemilahan yang jelas antara orang nomor satu dan orang nomor dua. Demikian pula dengan besaran pendapatan yang diterima sebagai imbalan kinerja niscaya berbeda dalam angka.
Seandainya terjadi konflik karena perbedaan pandangan politik, kepentingan, dan pendapatan dalam merebut lahan, tidak jarang kedua belah pihak tidak berupaya semaksimal mungkin melalui berbagai bentuk dan cara untuk menengarai konflik tersebut dengan cara yang elegan agar dampaknya tidak membias dan merembes secara meluas kemana-mana.
Mengapa? Karena kedua belah pihak selalu mengedepankan kepentingannya masing-masing yang biasanya berujung pada pecah kongsi.
Kata-kata manis yang diucapkan orang nomor satu ketika melakukan peminangan orang nomor dua hanya sebatas janji-janji palsu karena lain di bibir lain di hati.
Janji-janji itu ibarat rayuan gombal agar proses peminangan berjalan lancar dan mencapai tujuan.
Karena tujuan yang disepakati saat peminangan mulai melenceng, orang nomor dua yang semula begitu patuh karena kantongnya tidak begitu kuat ketika dipinang mulai mencongak dan melakukan akrobat politik setelah dirasakan pundi-pundinya mulai berisi.
Apalagi jika ada kelompok tertentu yang siang-malam berupaya mengomporinya agar pecah kongsi dan membentuk paket politik tersendiri dengan mengusung slogan berdimensi baru melalui penggunaan kosakata bernada profetis.
Sepanjang arena permainannya berkutat di seputar perebutan kekuasaan, kosakata tersebut hanya menjadi asesoris untuk tampil beda dengan sebelumnya.
Demikian ulasan sekilas tentang perbedaan paket cinta dan paket politik sebagai refleksi bagi kita sebagai akar rumput bahwa politik tidak saja ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai seni.
Seni mencari masalah melalui pengungkapan dusta. Semoga tidak ada dusta di antara kita.