Oleh: Yosafat Brahmana Projo Dino (Dino Projo)
Bedomisili Di Nita, Maumere-NTT, Mahasiswa IFTK Ledalero
Indonesia dikenal bukan hanya negara yang sangat indah, tetapi juga dikenal sebagai negara yang sangat ramah dan bermoral.
Namun, tawuran pelajar, perampokan, seks bebas, dan lain sebagainya membuat anggapan itu sirna seketika.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam suatu kehidupan pasti ada problematika.
Hal tersebut menandakan masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami gejala dekadensi moral.
Dekadensi moral yang terjadi di bangsa ini melanda berbagai lini masyarakat, salah satunya kalangan orang muda.
Orang muda tentunya memiliki peranan sangat penting bagi suatu bangsa. Orang muda adalah agent of change.
Namun, kenyataannya bahwa saat ini tidak sedikit orang muda yang bersikap amoral dan tentunya jauh dari harapan para pendiri bangsa ini.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini,penulis ingin mengulas hal yang sama.
Namun, ulasan tentang masalah krisis moral orang muda tersebut hanya ditilik pada tingkat Keuskupan Ruteng.
Dekadensi moral merupakan suatu masalah yang memberi tantangan tersendiri bagi kehidupan umat manusia.
Hal ini dikarenakan moral mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan umat manusia.
Moral sendiri merupakan ajaran tentang baik buruk yang dapat diterima umum mengenai perbuatan, sikap kewajiban, dan sebagainya (KBBI: 2016).
Maka, pengakuan akan eksistensi seseorang dalam kehidupan bermasyarakat didasarkan pada moralnya.
Jika moral seseorang buruk,maka dalam kehidupan sosialnya pun ia akan dicap buruk dan dipandang sebelah mata.
Sebaliknya, jika seseorang mempunyai moral yang baik, maka dalam kehidupan harian eksistensinya pun akan dihargai.
Permasalahan Dasar Kaum Muda di Keuskupan Ruteng
Tentunya ada aspek yang melatar belakangi maraknya dekadensi moral pada generasi muda saat ini.
Ada dua poin penting yang dirasa cukup berperan dalam hal tersebut, yaitu; keluarga atau orangtua dan lingkungan (baik di dalam maupun di luar sekolah).
Keluarga dinilai sebagai faktor yang paling dominan dalam meletakkan dasar bagi perkembangan moral, karena sebagai madrasah pertama bagi remaja.
Namun pada kenyataannya banyak para orangtua yang kurang paham tentang perannya tersebut.
Para orangtua beranggapan bahwa pendidikan bagi anak-anaknya cukup pada rana sekolah saja.
Selain itu, kurangnya komunikasi antar orang tua dan anak. Mungkin, orangtua broken home atau karena pekerjaan.
Selanjutnya, banyak orangtua yang tidak sepenuhnya mendukung pengajaran yang ada di sekolah.
Misalnya, sanksi fisik yang diberikan oleh guru kepada siswa.
Di satu sisi, orangtua menilai bahwa untuk mendidik seseorang tidak perlu memberikan sanksi fisik.
Di sisi lain, penilaian dari orangtua tersebut malah mendukung para siswa untuk melawan guru.
Sehingga, para guru takut memberikan sanksi kepada siswa. Hal ini juga akan menyebabkan merosotnya moral anak tersebut.
Lingkungan sekolah dianggap berperan penting dalam pembentukan moral siswa.
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan yang secara sistematis melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan dalam rangka membantu siswa supaya mampu mengembangkan potensinya, baik berkenaan dengan aspek moral, spiritual, intlektual, emosional, maupun sosial.
Maka dari itu peran sekolah terbilang cukup besar ditambah lagi hampir sepertiga waktu siswa dihabiskan di sekolah.
Kebanyakan orangtua juga menganggap dunia pendidikan sudah cukup memberikan muatan-muatan moral pada anak-anaknya.
Namun kondisi dunia pendidikan saat ini dirasa belum mampu sepenuhnya untuk membentuk moral siswanya.
Kebanyakan para pendidik dalam mengajar hanya sebagai kewajiban saja.
Para siswa lebih ditonjolkan dalam hal intlektual saja dan mengesampingkan pendidikan moral.
Kecenderungan untuk melakukan prilaku menyimpang pada kalangan orang muda merupakan masalah mendasar terbentuknya dekadensi moral.
Dalam konteks Keuskupan Ruteng, peserta Sinode III menemukan kecenderungan peningkatan perilaku sosial menyimpanglah yang menjadi masalah mendasar orang muda di Keuskupan Ruteng.
Berbagai perilaku menyimpang itu antara lain, mencoret-coret fasilitas umum, mabuk-mabukkan, ngebut-ngebutan, tawuran, dan tindakan kriminal (Dokumen Sinode III 2013-2015 Keuskupan Ruteng Pastoral Kontekstual Integral. Hal 154).
Temuan dari peserta Sinode III Keuskupan Ruteng ini tentunya bukanlah semata-mata menjadi temuan belaka tanpa data.
Sehubungan dengan itu, aksi tawuran antar Sekolah Menengah Atas (SMA) di Ruteng terjadi antara SMK Sadar Wisata dan SMK Bina Kusuma pada hari Kamis, (2/12/2021) siang.
Aksi tersebut merupakan suatu masalah yang tentunya menjadi perhatian kita bersama.
Sekolah yang seharusnya menjadi wadah terbentuknya pribadi bermoral malah menjauh dari tugas dan kewajiban seturut amanat UUD 1945 tentang mencerdaskan kehidupan bangsa.
Idealnya sekolah menjadi tempat dalam meminimalisasi aksi tersebut.
Jika kejadian seperti ini tidak diperhatikan atau terus terjadi akan munculah suatu pertanyaan, apakah gunanya pendidikan? Apakah gunanya sekolah?
Hemat penulis Ada berapa hal yang harus diperhatikan dalam mengatasi krisis moral dalam kehidupan kaum muda diantaranya yaitu: Pertama, Sebagai seorang remaja yang berpendidikan dan berhati nurani hendaknya kita harus selektif atau memfilter dalam melakukan sesuatu tindakan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kedua, orang tua sebagai rumah pertama dalam pengembangan moral harus senantiasa menjalin komunikasi dan relasi yang baik sehingga anak muda tidak merasa ditelantarkan.
Ketiga, menanamkan sikap kedekatan kepada Tuhan. Sehingga, di manapun mereka berada, ke manapun mereka pergi dan bagaimanapun situasi dan kondisinya mereka akan selalu merasa bersama Tuhan.
Dengan demikian solusi ini, setidaknya mampu menyadarkan kaum muda untuk tidak sedikitpun menyimpang dari ajaran Gereja.
Keempat, memperkokoh keimanan kepada Tuhan dengan cara memberikan wejangan-wejangan agama, baik yang dilakukan di rumah, sekolah dan masyarakat, serta Gereja.
Sehingga mereka selalu terikat dan mau menyesuaikan diri dengan ketentuan Tuhan.
Hal ini sangat penting supaya generasi muda merasa selalu terikat dan mau menyesuaikan diri dengan doktrin-doktrin moral agama.
Kelima, lingkungan yang menjadi tempat sosialisasi kaum muda harus memberikan sumbasih terhadap prilaku moral, seperti membentuk organisasi atau perkumpulan orang muda, melibatkan orang muda dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti gotong royong.
Keenam, sekolah tidak hanya fokus pada pendidikan intlektual dari siswa dan menomorduakan pendidikan karakter. Tetapi perlu menyeimbangi antara pendidikan intlektual dan pendidikan karakter.
Melihat relitas diatas sudah seharusnya kita lebih bersikap peduli terhadap nasib para generasi muda bangsa ini.
Tidak hanya lingkungan masyarakat, orang Tua, dan sekolah saja yang perlu membebani hal tersebut.
Namun, dimulai dari diri kita sendiri juga sangat perlu untuk turut membantu dengan bersikap tak menyimpang, maksudnya tahu mana yang benar dan tahu mana yang salah.
Mari sama-sama kita berjuang untuk meningkatkan kualitas moral kita dengan cara saling merangkul, saling menasihati dan saling menjaga antara yang satu dengan yang lainnya, meskipun terdapat banyak perbedaan di antara kita.
Kita harus selalu menjunjung tinggi moral dan akhlak kita dengan cara saling menghargai antara yang satu dengan yang lainnya dalam kehidupan harian kita.