Oleh: Bertiana Stasia Jemina (Berti)
Aktivis PMKRI Cabang Ruteng
Perempuan saat ini tidak hanya berperan dalam satu pembangunan.
Hal ini bisa dilihat dari peran perempuan dalam lingkungan keluarganya. Ia mampu meningkatkan perekonomian keluarga.
Peningkatan peran perempuan dalam hal peningkatan perekonomian keluarga mengarah pada pemberdayaan perempuan.
Pemberdayaan perempuan merupakan tantangan global karena secara tradisional perempuan masih berada di bawah kendali laki-laki.
Perempuan tidak diharapkan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan dari tingkat domestik hingga nasional.
Di tingkat keluarga, sikap yang menganggap laki-laki sebagai kepala rumah tangga masih ada, yang membatasi suara perempuan untuk mempengaruhi alokasi sumber daya domestik.
Pada dasarnya pengarusutamaan gender (PUG) adalah menarik perempuan ke dalam arus utama pembangunan bangsa dan masyarakat sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki.
Mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender di dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan negara melalui perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan program pembangunan nasional.
Pengarusutamaan gender berfungsi untuk menciptakan mekanisme-mekanisme kelembagaan bagi kemajuan perempuan di semua bidang kegiatan dan kehidupan masyarakat dan pemerintahan.
Kebutuhan praktis adalah pemenuhan jangka pendek seperti penyediaan lapangan pekerjaan, pelayanan kesehatan, pemberantasan buta aksara dan sebagainya.
Pemenuhan kebutuhan strategis merupakan kebutuhan jangka panjang, seperti perubahanposisi subordinasi perempuan dalam berbagai bidang ke dalam posisi setara dan adil gender.
Perkembangan pemahaman mengenai peranan dan keterlibatan kaum wanita di masa kini, tentunya tidak terlepas dari perspektif, pemahaman, sikap dan perlakuan masyarakat terhadap eksistensi wanita di masa lampau.
Di Indonesia, keberadaan wanita dan peranannya dalam posisi-posisi yang strategis, terutama yang bersentuhan langsung dengan kaum pria, menghadapi banyak tantangan dan tentangan, mengingat budaya paternalistis yang mengakar sangat kuat dalam pikiran dan budaya masyarakat Indonesia.
Pandangan yang demikian juga masih terjadi hingga saat ini, dimana kaum perempuan dianggap tidak bisa melakukan sesuatu hal yang baru khususnya di posisi-posisi tertentu.
Perspektif terhadap eksistensi wanita, khususnya dalam peranan-peranan tertentu, tidak bisa lepas dari interpretasi dan pemahaman terhadap eksistensi wanita di masa lampau.
Arti, Kedudukan, dan Peranan Wanita
Secara biologis wanita dan pria memang tidak sama, akan tetapi sebagai mahluk sosial yang dilengkapi dengan akal dan budi dan kehendak merdeka, kedua macam insan itu mempunyai persamaan yang hakiki.
Keduanya adalah pribadi yang mempunyai hak sama untuk berkembang. Namun dalam kenyataannya, baik di negara maju maupun di negara berkembang, wanita dianggap sebagai warga negara kelas dua, yang selalu mengalami kesulitan untuk dapat menikmati hak yang dimilikinya. (Hadriana Marhaeni Munthe, 2003: 10).
Wanita dikategorikan sebagai “kelamin kedua” yang berada di bawah subordinasi pria, antara lain dapat dicari pada pelacakan kaum arkeolog yang meneliti kehidupan dan kebudayaan penduduk pada zaman pra-sejarah.
Di antara hasil penelitian zaman Paleolithikum sebuah periode yang sangat panjang dan berakhir pada sekitar tahun 12.000 SM, penduduknya adalah pengumpul pangan dan pemburu hewan serta ikan.
Para ahli filsafat abad ke-XVIII dan abad ke-XIX menganggap bahwa kaum wanita lebih lemah daripada pria.
Tokoh pemikir Inggris yang berhaluan liberal mendasarkan falsafah liberal, yaitu bahwa semua orang diciptakan dengan hak-hak yang sama dan setiap orang harus mempunyai kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya.
Dalam melaksanakan kebebasan mengembangkan bakat, wanita memilih rumah tangga, sedangkan kaum laki-laki memilih kehidupan profesi (Maria Ulfah Subandio dkk, 1983: 55).
Montagu mengemukakan bahwa sifat-sifat psikologis wanita membuktikan lebih unggul daripada laki-laki.
Selain itu terdapat fakta-fakta yang membuktikan bahwa wanita adalah organisme yang secara biologis lebih unggul, unggul dalam arti menikmati nilai kelangsungan hidup yang lebih tinggi daripada pria berkat sifat-sifat biologisnya.
Pemikiran teoritis di atas menunjukkan bahwa masalah wanita dalam hubungannya dengan pria mencakup dua bagian.
Pertama, pemikiran yang dipengaruhi oleh pendekatan biologis yang tidak memberi pertimbangan pada unsur sosial-budaya. Ini berarti bahwa faktor-faktor luar hampir tidak berpengaruh sama sekali.
Kedua, pemikiran yang dipengaruhi oleh pendekatan sosial-budaya yang mempertimbangkan peranan besar dari kekuatan-kekuatan luar.
Di Indonesia gerakan emansipasi dilakukan oleh organisasi-organisasi wanita berlandaskan pada gagasan Kartini.
Kartini menuntut pendidikan bagi wanita, berarti orientasinya lebih ditekankan pada tingkatan kecerdasan secara individual.
Sasaran yang ingin lebih jauh capai adalah mengangkat martabat kaumnya, sehingga sejajar dengan martabat kaum pria.
Dengan demikian, maka gerakan emansipasi yang dilakukan oleh kaum wanita dari ketergantungan pada orang lain terutama pada kaum laki-laki.
Tujuan gerakan itu agar wanita dapat hidup mandiri, menggunakan hak-haknya seperti halnya yang berlaku pada kaum laki-laki, sehingga mereka tidak lagi menyandang sebutan “warga negara kelas dua”.
Bertolak dari gagasan Kartini yang menuntut pendidikan bagi kaumnya dan menyadari adanya ketidakadilan, maka dalam Kongres Perempuan I (1928) memasukkan pendidikan untuk anak-anak perempuan dan usaha perlindungan wanita dalam perkawinan sebagai program perjuangan.
Menurut Cokrowinoto dkk, (198: 27) bahwa dalam sejarah pergerakan nasional disebutkan dalam usaha mencapai kemerdekaan negara dan bangsanya kaum wanita melakukan kerja sama dengan kaum pria.
Prinsip kerjasama itu tetap dipegang dan dapat dibuktikan pada waktu perang kemerdekaan dan pada masa pembangunan nasional.
Wanita Indonesia dalam Lintasan Sejarah
Sejak awal abad ke-19, beberapa wanita Indonesia telah tampil dipanggung sejarah secara perorangan dalam membela tanah air dan bangsanya, misalnya Nyi Ageng Serang XIX, Christina Martha Tiahahu (1817-1819), Cut Nyak Dien (1873-1904), R.A. Kartini (1879- 1904), Dewi Sartika (1884-1947), Maria Walanda Maramis (1872-1924), Nyai Ahmad Dahlan (1872-1936).
Namun masa yang amat penting dan itu menjadi titik balik dari perjuangan gerakan perempuan adalah pada tahun 1928, saat dimana diadakan Kongres Perempuan yang pertama di Yogyakarta, dan Soekarno yang kemudian yang menjadi presiden RI memberikan kata sambutan (Mukmin, 1980: 78).
Usaha-usaha yang dilakukan Dewi Sartika sejak tahun 1904 dengan kemampuan yang ada padanya, ia membuka semacam bentuk pendidikan untuk memberi pengajaran dan peningkatan keterampilan khusus wanita.
Pendidikan yang dikoordinasikan oleh Dewi Sartika kemudian dikenal dengan Sekolah Istri atau Sekolah Gadis yang dibuka pada 16 Januari 1904. Sekolah yang dimulai dibuka di daerah Paseban Bandungitu, ternyata mempunyai pengaruh yang cukup luas.
Anak-anak gadis atau kaum wanita yang telah tamat dari Sekolah Istri (Kautaman Istri) dapat mendirikan sekolah-sekolah yang sama ditempat lain.
Secara sporadis sekolah-sekolah seperti itu dibuka dan perkumpulan-perkumpulan serta bentuk kelompok terbatas tumbuh di mana-mana (Rochiati Wiraatmadja, 1986: 108).
Setelah tahun 1920-an, jumlah perkumpulan wanita semakin banyak. Timbul perkumpulan-perkumpulan wanita yang bergerak dalam kegiatan sosial dan kemasyarakatan yang sifatnyapun lebih luas dari perkumpulan sebelumnya disamping jumlahnya yang bertambah.
Hal itu disebabkan karena kesediaan serta kesadaran wanita untuk terlibat dalam kegiatan organisasi lebih meningkat dan kecakapan bertindak dalam berorganisasi semakin maju.
Selain itu organisasi politik juga memberi perhatian kepada wanita dan menyokong pendirian bagian dari organisasi bersangkutan.
Kesetaraan jender (gender equality) antara pria dan perempuan merupakan konsep yang menyatakan bahwa semua manusia baik pria maupun wanita, bebas untuk mengembangkan kemampuan pribadi mereka dan membuat pilihan tanpa batasan stereotipe, peran gender yang kaku dan prasangka.
Kesetaraan gender berarti bahwa perbedaan perilaku, aspirasi dan kebutuhan perempuan dan laki-laki dianggap, dihargai dan diakui secara sama.
Ini tidak berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus menjadi sama, tapi hak, tanggung jawab dan kesempatan mereka tidak akan tergantung pada apakah mereka lahir sebagai pria atau wanita (ILO, 2000).
Kesetaraan gender berarti perlakuan yang adil bagi perempuan dan laki-laki, sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Kesetaraan gender juga berarti kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati pembangunan tersebut.
Permasalahan Perempuan Masa Kini
Permasalahan perempuan masa kini masih menunjukkan sebagian gambaran permasalahan masa lalu yang belum terselesaikan.
Seperti telah dikemukakan di atas, masalah kini semakin kompleks, berbagai permasalahan yang muncul merupakan senyawa dari masalah lokal/internal dan global/eksternal. Munculnya berbagai permasalahan tersebut disebabkan oleh beberapa hambatan sebagai berikut:
Pertama, kondisi politik. Perempuan belum terwakili secara proporsional dalam posisi politik strategis. Jumlah wanita yang menduduki jabatan eselon I dan II departemen hanya 5,5% atau 843 atau 15.332 orang.
Hal ini dapat disebabkan oleh sosialisasi keluarga yang menanamkan bahwa pendidikan politik itu keras, jahat, dunia laki-laki, penuh persaingan tidak sehat, tidak tepat bagi perempuan. Aktif dalam pendidikan politik perlu kesediaan waktu tanpa batas.
Kedua, kondisi sosial ± ekonomi. Masalah utama yang dihadapi adalah kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah. Saat kini perempuan Indonesia memiliki peran ganda, di satu sisi sebagai ibu rumah tangga dan di sisi lainnya sebagai wanita karier yang ternyata belum diimbangi oleh perubahan infrastrukrur dan tata nilai-nilai religius yang memadai.
Arus peran ganda ini merupakan konsekuensi logis dari hadirnya industrialisasi dan urbanisasi serta kondisi ekonomi negara yang ada dalam krisis berkepanjangan.
Dalam transformasi menuju era masyarakat industri dan kondisi krisis tersebut, wanita dipaksa menanggung beban keluarga, menjadi tenaga pekerja.
Rendahnya tingkat pendidikan secara umum yang dimanifestasikan ke dalam ketrampilan buruh dapat menyebabkan buruh wanita masuk ke dalam kelompok vulnerable (kelompok rentan) dan akan masuk kedalam lingkungan kerja yang memiliki predikat 3D, yaitu dirty (kotor), dangerous (berbahaya) dan difficult (kesukaran).
Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan menujukkan bahwa 60% perempuan Indonesia harus menghidupi diri sendiri dan keluarganya (Kompas, 4 juli 2000).
Selain itu kondisi umum keterlibatan perempuan dalam pembangunan tidak menghasilkan manfaat bagi perempuan sendiri.
Sukses besar peran perempuan dalam menurunkan angka kelahiran 6,2% pada tahun 1970-an menjadi 3,2% pada tahun 80-an ternyata tidak diikuti oleh berubahnya status kesehatan perempuan.
Ketiga, masalah yang berkaitan dengan aspek ideologis dan psikologis. Masalah ini terutama dihadapi oleh wanita yang berkiprah di bidang politik, yang meliputi peran tradisional, kurangnya kepercayaan, peran media massa.
Peran tradisional perempuan dalam dunia politik menuntut perubahan pola emosi, cara memandang sesuatu serta berfikir sebagai proses dalam memutuskan sesuatu hal.
Pola pendiktean yang berlangsung lama dalam lingkup tradisional perlu diubah, hal ini dapat mematikan potensi kreatif dan memperlemah kekuatan intelektual.
Sebenarnya membuat keputusan bukanlah karakter khusus gender, melainkan kemanusiaan pada umumnya, atau dengan kata lain seorang manusia memegang kekuasaan adalah alami, atau seharusnya demikian.
Kurang kepercayaan diri merupakan alasan utama perempuan tidak terwakili dalam organisasi politik.
Perempuan memiliki potensi sebagai juru kampanye, pengorganisasian pendukung mobilisasi, tapi takut berkompetisi memperebutkan kedudukan atau posisi dalam parlemen (misalnya). Ia masih dihinggapi budaya takut berkompetisi.
Dikutip dari data BPS tahun 2023 jumlah keseluruhan perempuan Indonesia sebanyak 49,92%.
Struktur usia penduduk indonesia didominasi oleh penduduk usia muda, persentase terbesar penduduk baik perempuan maupun laki-laki berada pada kelompok umur 10-14 tahun.
Sedangkan Penduduk usia produktif perempuan sebesar 68,52%. Artinya, sebagian besar penduduk di Indonesia didominasi oleh kaum perempuan.
Namun demikian terlepas dari semua bidang yang seharusnya bisa digeluti oleh kaum perempuan, sampai sejauh ini perempuan sudah mampu membuktikan keikutsertaannya didalam proses pembangunan.
Ke depannya pemerintah dan seluruh stakeholder terkait hanya perlu memberikan kesempatan yang lebih luas kepada perempuan agar kontribusi yang diberikan dapat lebih optimal.