Oleh: Prof. Dr. Drs. Fransiskus Bustan, M.Lib
Dosen Pascasarjana Undana Kupang
Tulisan ini mengulas secara sekilas tentang konseptualisasi masyarakat Manggarai atau orang Manggarai tentang kampung halaman sebagai tanah kelahiran, sebagaimana diisyarakatkan melaui karakteristik bentuk dan makna ungkapan tradisional, Neka hemong kuni agu kalo, dalam bahasa Manggarai yang secara eksplikatif berarti ‘Jangan lupa kampung halaman’ dalam bahasa Indonesia.
Suatu keniscayaan yang berterima secara semesta, setiap masyarakat memiliki konseptualisasinya tentang keberadaan dan kebermaknaan kampung halaman sebagai tanah kelahiran, tidak terkecuali masyarakat Manggarai atau orang Manggarai.
Konseptualisasi orang Manggarai tentang keberadaan dan kebermaknaan kampung halaman tercermin dalam ungkapan tradisional bahasa Manggarai, Neka hemong kuni agu kalo.
Karakteristik satuan kebahasaan yang digunakan dalam ungkapan tradisional ini bercorak khas dan khusus dalam kebudayaan Manggarai sebagai kebudayaan induk yang mewadahi dan mewahanai bahasa Manggarai.
Kekhasan sebagai kekususan pembeda atau cirri pemerlain karakteristik satuan kebahasaan yang digunakan dalam ungkapan tradisional tersebut menyata dalam tataran bentuk dan makna.
Sesuai kenyataan bentuk tekstual yang tampak secara fisik dalam struktur mukaan, ungkapan tradisional, Neka hemong kuni agu kalo, adalah sebuah kalimat imperatif atau kalimat perintah bertipe kalimat permohonan.
Kalimat tersebut disifati sebagai kalimat perintah atau kalimat permohonan bercorak negatif karena ditandai dengan penggunaan kata tugas, neka ‘jangan’, sebagai salah satu bentuk pemarkah sangkalan dalam bahasa Manggarai.
Bentuk pemarkah sangkalan neka ‘jangan’ berdistribusi atau berposisi mendahului kata kerja atau verba, hemong ‘lupa’ dengan komplemen atau pelengkapnya adalah gugus kata, kuni agu kalo. Secara leksikal, kata (nomina) kuni berarti ‘air ketuban’ dan kata (nomina) kalo yang berarti ‘dadap’.
Kata (nomina) kalo dimaksud menunjuk secara khusus pada kalo karot ‘dadap berduri’ yang biasa ditanam orang Manggarai di seputar compang sebagai altar persembahan yang terletak tepat di pusat kampung tradisional berhadapan langsung dengan rumah adat Manggarai yang dikenal dengan sebutan mbaru gendang ‘rumah tambur’.
Yang menjadi pertanyaan adalah, ‘Mengapa kalo karot yang ditanam dan bukan jenis tanaman yang lain?
Sesuai konseptualisasi orang Manggarai, kalo karot ‘dadap berduri’ yang ditanam karena pohon dadap berduri adalah salah satu jenis tanaman yang menjadi media pengingat bagi orang Manggarai tentang peralihan tahun musim, dari musim panas ke musim hujan.
Konseptualisasi itu dapat disimak dalam ungkapan tradisional bahasa Manggarai, Mberang wela kalo, tura cai usang, yang secara eksplikatif berarti, ‘Jika pohon dadap berduri mulai berbunga (berwarna merah), itu adalah suatu tanda hujan akan turun’.
Fenomena alam itu merupakan media pengingat bagi orang Manggarai yang bermukim di suatu desa untuk segera menanam jagung (weri latung) di kebun yang sudah lama digarap (uma lokang).
Bertalian dengan konteks sosial-budaya Manggarai sebagai wadah nirkata yang melatari penggunaannya, ungkapan tradisional bahasa Manggarai itu merupakan salah satu media pengingat bagi orang yang merantau di luar desa kelahiran (natal village) agar jangan lupa kampung halamannya.
Mengapa? Karena di sanalah kuni ‘air ketuban’ dikuburkan segera setelah dia dilahirkan sebagai simpul budaya merajut hubungan batiniah dengan kampung halamannya.
Sebagaimana waktu berjalan dan dunia berubah, manifestasinya tentu dapat dilakukan melalui berbagai bentuk dan cara sesuai situasi dan kondisi.
Selain dalam bentuk ‘pulang kampung’ setiap tahun atau sekali dalam beberapa tahun, manifestasinya dapat diwahanai, antara lain, dengan tetap menggunakan bahasa Manggarai ranah keluarga batih.
Mengapa? Karena bahasa Manggarai sebagai refleksi kebudayaan Manggarai adalah jendela dunia orang Manggarai dan sekaligus jendela pikiran orang Manggarai.
Harapan demikian wajar dilontarkan dan dikuak ke permukaan karena sebagian kalangan orang Manggarai cenderung merasa malu menggunakan bahasa Manggarai ketika mereka berada di luar rahim kebudayaan Manggarai.
Berikut anak-anak mereka lupa pula dilatih dan diajarkan bahasa Manggarai karena bahasa Manggarai, sebagaimana halnya dengan bahasa daerah yang lain di Indonesia, hampir selalu dikonotasikan dengan desa alias ndeso kata orang Jawa.
Hasil amatan penulis, fenomena perubahan itu adalah salah satu tantangan yang sedang dihadapi warga diaspora Manggarai di Kota Kupang sekarang ini.
Mereka menyebut dirinya orang Manggarai, tetapi tidak bisa omong atau bicara bahasa Manggarai.
Kalau bukan orang Manggarai, siapa lagi yang diharapkan dapat melakukan gerakan cinta tanah kelahiran Manggarai melalui penggunaan bahasa Manggarai.
Selain menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Dialek Kupang, generasi muda diaspora Manggarai yang lahir dan dibesarkan di Kota Kupang, misalnya, perlu dilatih dan diajarkan bahasa Manggarai dalam ranah keluarga batih masing-masing.
Itu adalah salah satu ancangan sederhana dan secuai harapan yang dapat dilakukan orang Manggarai agar ungkapan tradisional bahasa Manggarai, Neka hemong kuni agu kalo, tetap hidup dan berkembang dalam nadi kehidupan orang meski sudah sekian lama berada di luar rahim kebudayaan Manggarai karena mencari nafkah. Semoga.