Oleh: Dr. Siprianus Edi Hardum, SH, MH
Sekjen Forum Advokat Manggarai Raya (Famara) dan anggota Tim Hukum PETIR
Minggu (5/5/2024) malam, ketua Rukun Tetangga (RT) dan sejumlah orang melakukan perskusi dan penganiayaan terhadap sejumlah mahasiswa/i beragama Katolik yang tengah berdoa rosario di kosan mereka di Kelurahan Babakan, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, Banten.
Yang ikut menjadi korban pembacokan dengan senjata tajam dalam peristiwa itu adalah dua orang mahasiswa yang beragama Islam yang justru melindungi teman-teman mereka yang beragama Katolik.
Peristiwa itu sontak mengundang reaksi masyarakat. Sekitar 300 orang masyarakat yang tergabung dalam Persatuan Timur Raya (PETIR) yang terdiri dari berbagai latar belakang profesi, Minggu (5/5/2024) malam mendatangi Mapolres Tangerang Selatan (Tangsel) mendesak polisi agar segera menangkap Ketua RT yang bernama Diding dan pelaku lainnya.
Tidak puas malam hari, Senin (6/5/2024), masyarakat yang tergabung dalam PETIR kembali mendatangi Mapolres Tangsel untuk bertemu langsung Kapolres, dimana penulis ikut hadir. Acara itu dipimpin Ketua Umum PETIR, Alex Kaju, SH dan Ketua Tim Hukum PETIR , Muhammad Firdaus Oiwobo, SH, MH.
Sebanyak 15 orang perwakilan dari 300.000 masyarakat yang tergabung dalam PETIR, Senin (6/5/2024) sore itu diterima Kapolres Tangsel, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP), Ibnu. Turut hadir pada pertemuan itu adalah Dirjen Bimas Katolik Kementerian Agama RI, Suparman Sirait.
Pada pertemuan itu, penulis dan teman-teman mendesak Kapolres dan jajarannya, pertama, menangkap Ketua RT bernama Diding dan semua pelaku sekitar 15 orang.
Kedua, ada pun upaya perdamaian tidak berarti dalang dan para pelaku perskusi dan pembacokan tidak dihukum, sebab hukuman sesuai dengan perbuatan para pelaku adalah sebuah bentuk pendidikan bagi mereka, agar tidak mengulangi perbuatan mereka serta tidak akan terjadi kasus yang sama ke depan di mana pun di Bumi Indonesia.
Ketiga, tindakan mengganggu dan menganiayai orang yang sedang menjalankan ibadah sesuai agamanya adalah sebuah tindakan yang melukai Indonesia sebagai negara Berbhineka Tungga Ika.
“Orang yang mengganggu orang yang sedang beribadah adalah hama negara. Hama negara harus diberantas,” tegas penulis dalam pertemuan itu.
Keempat, dalam pertemuan itu juga kami meminta Diding dipecat sebagai Ketua RT, termasuk Ketua RW-nya juga dipecat.
Sebab, tugas Ketua RT dan Ketua RW adalah melindungi semua warga dari berbagai latar belakang suku dan agama, apalagi saat warga menjalankan ibadah wajib dilindungi, bukan malah diperskusi dan dianiaya.
Alex Kaju, SH dalam pertemuan itu memberi waktu kepala Kapolres dalam waktu 2X24 jam menangkap semua pelaku dan mengumumkan kepada public nama-namanya.
Sedangkan Muhammad Firdaus Oiwobo, SH, MH, menegaskan, dalam negara Pancasila ini, semua orang berhak menjalankan ibadahnya di mana saja dan kapan saja.
“Orang non muslim berdoa di rumahnya silahkan, umat muslim juga demikian. Tidak perlu pakai izin kalau menjalankan ibadah. Oleh karena, polisi segera tangkap semua pelaku dan sampaikan kepada publik secara terbuka agar masyarakat puas dan percaya kepada polisi bahwa polisi tegas,” kata Firdaus.
Pada pertemuan itu, Kapolres Tangsel AKBP Ibnu berjanji akan menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
“Tanpa kami diminta seperti ini, kami pasti melaksanakan perintah hukum. Tugas polisi adalah melindungi, mengayomi dan menegakkan hukum,” tegas Ibnu.
Tantangan Indonesia
Negara kesejahteraan Indonesia belum terwujud sampai usianya ke-78 sekarang karena banyak tantangan (challenge) kalau tidak bisa dikatakan halangan (obstacle) atau ancaman (threat).
Ada beberapa tantangan sebagaimana disampaikan mantan Menteri Pertahanan Indonesia, Ryamizard Ryacudu, dalam acara Konferensi Umat Katolik Indonesia di Jakarta, Agustus 2017, antara lain, pertama, sikap dan perilaku kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dari masyarakat Indonesia, terutama birokrat serta pejabat negara, yang masih merajalela sampai saat ini.
Kedua, peredaran narkoba yang semakin masif dan sistematis. Ketiga, radikalisme agama serta usaha mengubah Dasar Negara Pancasila menjadi Negara Islam (Khilafah) dari sebagian orang Indonesia.
Menurut penulis, Ketua RT Diding dan para pelaku lainnya merupakan tindakan radikalisme beragama bahkan tindakan masukan dalam tindakan terorisme.
Menurut penulis, radikalisme beragama artinya tidak menerima agama lain eksis kecuali agamanya sendiri. Radikal dalam beragama tentu penting tetapi jangan sampai masuk ke radikalisme, yang artinya menganggap agama lain salah dan harus dilarang.
Padahal, Indonesia adalah negara Indonesia adalah majemuk dan kemajukan Indonesia adalah kehendak Tuhan sendiri.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBI) memberikan arti tiga kata radikalisme ini. Pertama, radikalisme yakni (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau keinginan yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, (3) sikap ekstrem di aliran politik.
Kedua, fundamentalisme yakni paham yang cenderung untuk memperjuangkan sesuatu secara radikal.
Ketiga, terorisme. UU yang disahkan DPR, Jumat, 25 Mei 2018, sebagai perubahan atas UU 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang, dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan, terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Akar dari terorisme adalah radikalisme. Di Indonesia saat ini, akar terorisme adalah radikalisme agama.
Begitu mudah dijumpai di sebagian wilayah Indonesia seperti Jabodetabek, bagaimana anak-anak TK dan SD mencap kafir teman-teman mereka yang berlainan agama.
Di sejumlah sekolah negeri juga ditemui, sejumlah siswa SD dan SMP mem-bully teman mereka dengan kata kafir karena berlainan agama.
Di sebagian kampus negeri dan swasta, penulis mendengar dan menyaksikan, beberapa mahasiswa lantang berbicara dalam seminar di kampus, bahwa Indonesia tidak maju karena memakai dasar negara Pancasila. Indonesia bisa maju kalau menggunakan sistem khilafah.
Di media sosial beberapa tahun lalu kita menyaksikan, petinggi Hizbut Thahrir Indonesia (HTI) dan Petinggi Front Pembela Islam (FPI) beragitasi bahwa suatu saat mereka “membajak” DPR dan bersepakat mengganti Pancasila sebagai Dasar Negara.
“Kalau mayoritas di DPR adalah Islam, maka ketika dilakukan voting maka menanglah kita, maka negara ini menjadi negara dengan sistem Khilafah”, tegas pemimpin FPI, Rizieq Shihab sebagaimana disiarkan Youtub.
Tidak akan Sukses
Namun, tindakan radikalime dan terorisme di Indonesia tentu tidak akan sukses bahkan tidak besar karena masih begitu banyak orang Indonesia cinta akan Indonesia yang majemuk ini.
Hal ini terlihat dalam aksi yang dilakukan masyarakat yang tergabung dalam PETIR Minggu (5/5/2024) malam dan Senin (6/5/2024) sore terkait tindakan Ketua RT Diding dan para pelaku penganiayaan terhadap mahasiswa yang tengah berdoa.
Orang yang tergabung dalam PETIR terdiri berbagai suku dan agama yang berada di Indonesia Timur yakni Papua, Sulawesi, Bali, NTB dan NTT.
Dalam dalam aksi, Muhammad Firdaus Oiwobo, SH, MH, justru kelihatan paling tegas mendesak polisi agar menangkap semua dalang dan pelaku kasus tersebut.
Ia menegaskan, Indonesia adalah negara yang melindungi semua umat beragama.
“Dalam menjalankan ibadat tidak perlu minta izin kepada Ketua RT atau pemerintah. Ibadat di rumah, di gereja, di masjid dan lain-lain silahkan,” tegas pria berdarah Bima dan Sulawesi Selatan ini.
Penulis sepakat dengan Muhammad Firdaus Oiwobo serta Kapolres Tangsel AKBP Ibnu serta tim hukum PETIR lainnya bahwa Ketua RT Diding dan para pelaku dalam kasus tersebut di atas dijerat dengan pasal berlapis seperti Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan, Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, UU Darurat karena menggunakan senjata tajam menyerang korban serta UU Perlindungan Perempuan dan Anak yang dimana semuanya dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun.
Semua Terlibat Bangun Negara
Sumber dari sumber hukum Indonesia adalah UUD 1945 yang didalamnya ada Dasar Negara, Pancasila.
Karena itu, orang yang menjalankan kewajiban dan hak sebagai warga negara berdasarkan hukum sudah pasti menjalankan ketentuan agama.
Mengapa? Karena Pancasila merupakan saripati dari semua agama di Indonesia.
Dua unsur penting dalam negara yatiu masyarakat dan pemerintah. Dua komponen ini harus bekerja sama dalam membangun negara.
Membangun negara bukan tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga masyarakat antara lain saling menghargai ketika orang beragama lain menjalankan ibadah menurut agamanya.
Seluruh masyarakat Indonesia perlu camkan pesan Presiden AS ke-35, Jhon F Kennedy. Pada 20 Januari 1961, ia dilantik dan menyampaikan pidato yang meminta rakyat AS untuk aktif membangun negara, dengan menyatakan, “Jangan tanya apa yang bisa negara berikan untuk kalian, tetapi tanyalah apa yang bisa kalian berikan untuk negara.”
Siapa pun yang melakukan gerakan anti Pancasila seperti dengan menggangu kenyamanan dan keamanan umat beragama lain dalam beribadah adalah musuh negara.
Musuh negara berarti musuh pemerintah dan rakyat (masyarakat). Memberantas hama (musuh) negara seperti ini bukan hanya tugas pemerintah tetapi juga masyarakat.
Untuk itu, mari kita saling mengingatkan sesama kita, agar siapa pun yang mengembangkan sikap dan tindakan radikalisme agama yang merupakan saudara kembar ajaran negara khilafah harus distop dan bertobat!