Ruteng, Vox NTT- Unika St. Paulus Ruteng membedah buku berjudul “Distraksi Pembelajaran di Era Digital: Mengawal Paragon Pendidikan Transformatif, Kolaboratif, dan Berkarakter”, Rabu (15/5/2024).
Bedah buku yang dimoderatori oleh Rudolof Ngalu ini menghadirkan pembedah Dr. Yohanes M. Dangku, S.Fil, M.Pd dan editor Dr. Marianus Mantovanny Tapung, S.Fil, M.Pd.
Wakil Rektor I Unika Santu Paulus Ruteng Dr. Marselus Ruben Payong, M.Pd dalam sambutannya mengatakan, tradisi bedah buku adalah sebuah tradisi intelektual dan akademik yang belum terlalu lama berkembang.
“Dulu di kampus-kampus yang ada adalah diskusi buku,” kata Marsel.
Menurut dia, buku-buku baru yang membawa isu dan ide-ide baru umumnya direspons akademisi dengan melakukan diskusi bersama. Dalam diskusi itu, gagasan-gagasan penulis dikuliti, dikaji, dipersoalkan, dan dipertanggungjawabkan.
Diskusi semacam ini akan memantik ide-ide baru yang kemudian bisa melahirkan penelitian dan kajian-kajian lebih lanjut, dan akan menghasilkan buku atau artikel-artikel dan disebarluaskan kepada masyarakat.
Marsel menegaskan, salah satu kewajiban akademisi menurut Edward Shils, adalah keluar dari menara gading kampus dan menyebarluaskan gagasan-gagasan dan temuan-temuan penelitiannya kepada masyarakat luas.
“Temuan-temuan penelitian atau kajian-kajian yang dipublikasikan dalam jurnal-jurnal ilmiah atau dipresentasikan dalam forum-forum ilmiah sangat terbatas jangkauannya karena terbatas pada komunitas keilmuan tertentu saja,” urai Marsel.
Tetapi, lanjut dia, dengan membedah pemikiran-pemikiran dan dipublikasikan secara luas, merupakan sumbangan yang sangat berarti dari masyarakat akademis untuk masyarakat.
Ia menjelaskan, tradisi bedah buku dalam perkembangan selanjutnya tidak hanya dilakukan di perguruan tinggi tetapi juga oleh perpustakaan-perpustakaan, toko-toko buku bekerja sama dengan penerbit-penerbit buku.
Tujuannya tidak saja untuk memantik wacana-wacana dan ide-ide baru, tetapi juga untuk bisnis.
Menurut Marsel, gagasan bedah buku semacam ini muncul karena keprihatinan akan rendahnya minat baca masyarakat.
Minat Baca Sangat Rendah
UNESCO, jelas Marsel, menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Artinya, minat baca sangat rendah.
Menukil data UNESCO, indeks minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma satu orang yang rajin membaca.
Penelitian lain berjudul World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, menempatkan Indonesia berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara yang disurvei soal minat membaca, di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).
Padahal, menurut Marsel, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia sudah bagus.
Ironisnya, meski minat baca buku rendah tapi data Wearesocial per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih sembilan jam sehari dengan porsi terbesar adalah media sosial.
Tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan kelima dunia dan kota paling cerewet di dunia maya adalah Jakarta.
Sebab, angka kicauan dari akun Twitter yang berdomisili di ibu kota Indonesia ini paling padat melebihi Tokyo dan New York.
Fenomen ini tidak mengherankan karena menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet Indonesia tahun 2024 telah mencapai 221.563.479 orang (79,5%) dari total populasi 278.696.200 penduduk Indonesia.
Karena itu melalui bedah buku ini, Marsel berharap tradisi intelektual untuk mengembalikan martabat manusia sebagai makhluk literer tetap dipelihara.
“Meskipun kita sudah hidup di abad digital, maka format buku juga sudah banyak berubah dari hardcopy ke softcopy, dari buku cetakan menjadi buku elektronik. Ini sama sekali tidak menghilangkan esensi tradisi intelektual kita,” ujar Marsel.
Sebagai masyarakat akademik yang menjunjung tinggi nalar dan akal sehat, Marsel berharap tradisi ini harus tetap menjadi tradisi tahunan, terutama pada setiap ulang tahun atau dies natalis universitas.
Terima Kasih
Dalam sambutannya pula, Marsel menyampaikan terima kasih kepada panitia dies natalis Unika St. Paulus Ruteng yang ke-65, seksi akademik, yang telah merancang dan mengorganisasi kegiatan bedah buku ini.
Ia juga mengucapkan terima kasih kepada Badan Pengurus Yaspar yang telah mendukung penerbitan buku dan kegiatan bedah buku.
“Terima kasih kepada para penulis/kontributor, editor yang telah bersusah payah menyediakan naskah dan menyunting naskah untuk menjadi buku seperti ini,” ucap Marsel.
Marsel selanjutnya menyampaikan terima kasih kepada kepada pembedah Dr. Yohanes M. Dangku, S.Fil, M.Pd, para dosen, mahasiswa dan para undangan dan hadirin semua yang hadir dan ikut ambil bagian secara aktif dalam kegiatan bedah buku.
“Semoga bedah buku ini dapat memancing ide-ide baru untuk riset dan kajian-kajian selanjutnya,” katanya. [VoN]