Oleh: Aurelia Jesinta Nawas
Mahasiswi STIPAS St. Sirilus Ruteng
Berbicara tentang korupsi tentu tidaklah asing lagi di tengah masyarakat. Korupsi telah menggurita di berbagai sektor kehidupan manusia.
Korupsi merupakan suatu bentuk ketidakjujuran atau tindakan pidana yang dilakukan oleh seseorang atau suatu organisasi yang dipercayakan dalam suatu jabatan kekuasaan, untuk memperoleh keuntungan yang haram atau penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi seseorang.
Korupsi politik terjadi ketika pejabat atau pegawai pemerintahan lainnya bertindak dengan kapasitas resmi untuk keuntungan pribadi korupsi dapat melibatkan banyak kegiatan yang meliputi penyuapan, penjualan pengaruh, penggelapan, dan mungkin juga melibatkan praktik yang legal di banyak negara.
Korupsi paling lazim terjadi di kleptokrasi, oligarki, negara narkoba, dan negara bagian mafia.
Korupsi tentu saja berdampak buruk terhadap kehidupan sosial masyarakat.
Korupsi mengakibatkan lambatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara, menurunnya investasi, meningkatnya kemiskinan, serta meningkatnya ketimpangan pendapatan.
Bahkan korupsi juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat di suatu negara.
Dari sisi ekonomi, dampaknya yaitu lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi, penurunan produktivitas, rendahnya kualitas barang dan jasa publik, menurunnya pendapatan negara dari sektor pajak dan meningkatnya utang pemerintah.
Tentunya masih banyak dampak negatif dari praktik korupsi bagi sektor kehidupan masyarakat.
Semangat Integritas dan Pendidikan
Semangat integritas merupakan kunci keberhasilan dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pentingnya membangun semangat integritas dalam segala aspek kehidupan masyarakat tidak dapat diabaikan.
Pendidikan karakter merupakan salah contoh praktek untuk membangun budaya antikorupsi.
Pendidikan karakter yang mengutamakan nilai-nilai integritas perlu diperkuat di lingkungan pendidikan dan keluarga, selain itu, perlu adanya perubahan budaya dalam masyarakat yang menolak segala bentuk korupsi.
Di era digital seperti sekarang, keterlibatan teknologi dan transparansi memegang peranan yang tak kalah penting.
Pemanfaatan teknologi informasi dari praktik transparansi dapat menjadi alat efektif dalam pemberantasan korupsi.
Sistem pengawasan yang modern dan transparan dapat memberikan keamanan bagi para pemberi informasi (whistleblower) dan memudahkan pendeteksian tindakan atau masalah yang berkaitan dengan korupsi.
Untuk mengurangi masalah korupsi, tidak akan berhasil kalau hanya mengandalkan kekuatan kelembagaan.
Korupsi hampir menerjang seluruh sektor kehidupan manusia ibarat penyakit yang telah mendarah daging dan sulit diatasi.
Biang kerok terjadinya korupsi adalah mental yang korup, kultur yang korup dan hilangnya jati diri sebagai entitas sebuah bangsa.
Namun karena merupakan manifestasi distorsi tatanan sosial, bagaimanapun pasti ada solusinya untuk menurunkan, mengurangi, ataupun menghilangkan kasus korupsi.
Sekalipun membutuhkan waktu yang lama, pendidikan antikorupsi sejak usia dini mesti diadopsi sebagai solusi yang bisa dijadikan acuan untuk mencegah atau memotong tangkal perbuatan korupsi di kemudian hari.
Pendidikan antikorupsi adalah ‘character building’. Itu sebabnya harus ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk melaksanakannya di tingkat lapangan.
Kurikulum sekolah harus didesain agar materi pendidikan antikorupsi menjadi bagian mata pelajaran yang wajib diajarkan kepada para peserta didik, agar mereka terlatih dan sudah terbiasa mendengar atau mengetahui betapa buruknya tindakan korupsi itu.
Iman Kristiani
Berbicara tentang korupsi juga muncul dalam Alkitab atau Kitab Suci agama Kristen.
Namun itu tidak berarti bahwa Alkitab atau Kitab Suci sebagai sumber atau acuan untuk melalukan korupsi.
Beberapa narasi dalam Alkitab menghadirkan atau menyajikan isi narasi yang berkaitan dengan korupsi.
Contohnya; cerita tentang Sakeus sang pemungut cukai, kasus Ananias-Safira, Yudas sebagai bendahara merupakan contoh nyata betapa malangnya menghadang jika mereka bermain api dengan kejujuran.
Timotius tentu bukan sebagai anggota ‘Gereja atau Church Corruption Watch’ ketika ia berteriak nyaring bahwa permulaan kejahatan adalah cinta akan uang. Tetapi ia sadari kalau akar dari segala kejahatan berawal dari sana.
Jauh sebelum Timotius, Yitro mertua Musa pun sudah mengingatkan agar keadilan dan kejujuran ditegakkan jangan berdasarkan uang. Para penegak hukum harus kredibel dan berkarakter.
Itu sebabnya tatkala Musa harus memilih para hakim untuk membantunya mengadili perkara, nasehat Yitro adalah pilihan yang cakap dan takut akan Tuhan, dapat dipercaya serta tidak mudah disuap (Kel 18:21).
Artinya iman, intelektual dan moralitas menjadi harga mati. “Jangan Mencuri”(Kel 20:15) ini merupakan salah satu dari Sepuluh Hukum, juga amat terang untuk dimengerti dan tidak perlu tafsir apa-apa.
Itu artinya, firman Tuhan dengan segala konsekuensinya sungguh sangat jelas. Pilihannya terserah kita. Dasar-dasar implementasi kehidupan dalam segala aspek sudah ditetapkan Alkitab.
Terang dan tidak rumit. Lalu jika kita dengan sengaja membelokan, tentu kita juga tahu risikonya.
Perspektif iman kristiani dalam merespon segala bentuk deviasi sosial adalah tegas, tidak kompromi dan tidak toleransi.
Ketaatan dan kepatuhan akan nilai-nilai kehidupan, tidak datang serta merta.
Ia tumbuh dalam internalisasi nilai-nilai yang cukup lama melalui proses pendadaran yang disebut pendidikan.
Pendidikan menjadi poros utama proses produksi sumber daya insani baik untuk kepentingan negara, gereja maupun masyarakat.
Mereka adalah stakeholder, yang menjadi cermin terdepan terhadap buram dan terangnya lulusan yang dihasilkan institusi pendidikan kristen.
Itu sebabnya tanggung jawab lembaga pendidikan kristen sungguh tidak ringan.
Gelombang demoralisasi yang mengepung di mana kita mengayunkan biduk di tengah samudra pembelajaran, luar biasa beratnya.
Salah ayun sedikit saja bisa-bisa kita terbawa arus.
Itulah kata lain, mengapa tidak adanya toleransi dan kompromi atas segala manifestasi deviasi sosial secara tegas harus menjadi sikap utama.
Ibarat apakah artinya jika nasi sudah menjadi bubur.
Lembaga pendadaran kristiani tidak punya banyak pilihan. Ikut arus, terbawa arus atau teguh berdiri menentang arus.
Moralitas adalah ‘character building’ yang membutuhkan energi dan sinergi kekuatan ekstra besar secara integratif.
Dapat dipastikan jika diantara lembaga yang sangat denominatif berjalan sendiri-sendiri, cepat atau lambat akan tergulung.
Ombak besar mestinya semakin menyatukan langkah ayunan dengan tidak lagi menoleh kanan-kiri kepentingan altar masing-masing.
Ingat ketika perahu murid-murid hendak karam? Meskipun satu tim perjalanan, rupanya di antara anggota sudah sangat berpikir bagaimana menyelamatkan diri duluan. Maka lembaga pendidikan kristen mestinya kembali ke fokus utama.
Bagaimana bisa sampai tujuan dengan mengibarkan panji Kristus tanpa kehilangan jati diri sebagai pelita yang bisa menerangi kegelapan yang sangat mencekam.
Lembaga pendidikan kristen sekalipun kecil harus terlibat aktif dalam mencegah atau memotong tangkal perilaku koruptif.
Perang antikorupsi ibarat melakukan perlawanan kepada proyek megaskandal. Tidak mudah memang, tapi kita mesti ambil peran.
Bukankah kesuksesan Daud menghempaskan Goliath bisa menjadi inspirasi sesuatu itu bisa kita lakukan dari yang kecil?
Segala bentuk aturan hukum hanya solusi parsial. Ibarat obat yang hanya mengobati luka.
Luka yang satu sembuh, muncul luka yang lain. Begitu seterusnya hingga sekujur tubuh luka dan perlu obat.
Tidak lekas berpikir, bagaimana hidup sehat terhindar luka dan bebas obat. Negara yang bersih, ibarat tubuh yang sehat.
Maka penyelenggaraan pendidikan antikorupsi harus dijalankan secara terintegrasi.
Topangan dan dukungan subsistem tatanan sosial dan moral yang lain amat menentukan.
Berhasil tidaknya, upaya mencegah tangkal praktek korupsi dapat dilihat hasilnya 10-15 tahun mendatang.
Mengimplementasikan budaya pendidikan antikorupsi pada anak usia dini adalah sebagai salah satu tumpuan moralitas generasi mendatang yang berani berkata haram terhadap korupsi.
Kepiawaian dan kecerdasan para pemegang kendali di pihak pemerintah pada saat ini yang akan menentukan, bagaimana mereka mempersiapkan generasi penerus yang anti korupsi, hal inilah yang menentukan nasib atau eksistensi dari negara kita Indonesia.
Maka tiga sikap moral fundamental harus melekat dalam diri setiap individu agar kebal terhadap godaan korupsi yakni kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab (Keluaran 18:21).