Oleh: Kordina Luju
Mahasiswi STIPAS Ruteng
Manusia pada prinsipnya adalah mahkluk yang tidak pernah puas dengan dirinya sendiri. Selalu saja ada kecendrungan dari dalam diri untuk memiliki sesuatu yang lebih dari apa yang dimilikinya saat ini.
Akibanya, seringkali terjadi pelampiasan terhadap sesama atas dasar kemauan demi kepentingan diri sendiri.
Salah satu masalah publik atau problem publik yang sering ditemui di dalam kehidupan masyarakat sosial adalah ‘korupsi’.
Korupsi seringkali menjadi obat penyegar bagi oknum yang memiliki otoritas atau kekuasaan yang lebih, karena merasa tindakan itu dapat memenuhi keinginan pribadinya, tanpa mempertimbangkan martabatnya sebagai manusia yang beraklak dan berbudi luhur.
Korupsi juga merupakan penyalagunaan atau manipulasi kepercayaan rakyat, entah itu dalam bidang ekonomi, sosial, politik, religius dan lain-lain.
Tindakan korupsi ini mendatangkan keburukan dan kerugian yang sangat besar. Akibat tindakan korupsi tersebut seringkali terjadi kejanggalan di dalam setiap sektor kehidupan, seperti ekonomi menurun, dan royalitas selalu melampaui keinginan personal manusia.
Korupsi mampu merusak relasi antaroknum kekuasaan dengan masyarakat, karena kepercayaan yang dibangun oleh masyarakat atas pemerintah semacam direduksi atau dirampas dengan cara yang tidak wajar.
Akibatnya kemerosotan jangka panjang terjadi. Kepercayaan hilang seketika, bahkan tindakan negosiasi pun dianggap buruk dan tidak benar.
Memang persoalan korupsi sering tidak dirasakan dampaknya secara langsung, sehingga masyarakat sering apatis terhadap kasus-kasus korupsi.
Apalagi korupsi pada umumnya bersentuhan dengan kekuasaan dan masyarakat pada umumnya tidak mau mengambil risiko untuk bentrok dengan kekuasaan.
Namun sesungguhnya dampak korupsi itu sangat masif. Korupsi selalu dianggap sebagai isu elitis yang kurang menyentuh kehidupan masyakat pada umumnya
Lembaga International untuk Kerja Sama Ekonomi dan pemabangunan atau yang biasa dikenal dengan OECD melukiskan korupsi sebagai sebuah “kejahatan sistematis yang menyebar”.
Korupsi menyebabkan biaya produksi dan harga barang melambung tinggi dan manipulasi proses pengambilan keputusan.
Ia menghambat pertumbuhan ekonomi dan menguburkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga dari jabatan publik.
Dampak paling mendasar dari korupsi itu sering dialami oleh masyarakat miskin. Karena itu, korupsi sering dijuluki sebagai praktik perampasan tanpa rasa kemanusiaan atas hak-hak orang miskin dan terpinggirkan.
Akibat langsung dari korupsi untuk orang-orang miskin tampak dalam fenomena sekolah tanpa buku, perpustakaan, buku tulis, edung sekolah, dan lain-lain.
Sesunggunya korupsi adalah mesin pembunuh yang sangat canggih dengan dampak yang paling fatal dialami oleh masyarakat miskin dan terpinggirkan.
Praktik korupsi sering terjadi dalam ruang-ruang gelap dengan kemasan sistem yang rapi sehingga sulit dideteksi oleh pantauan masyarakat umumnya.
Ketidaktahuan ini sering membuat masyarakat umum apatis terhadap persoalan korupsi. Dengan menemukan berbagai macam fakta sosial yang melukiskan dampak korupsi, maka imbauan kecil dari penulis terkait dengan masalah korupsi yang ada di tengah-tengah masyarakat kita, hendaknya melenyapkan tindakan konyol itu.
Sebab selain memiliki dampak sosial juga dampat pribadi yang buruk, juga martabat manusia yang secitra dengan Allah itu dipandang buruk dan tidak berarti.
Sejatinya korupsi itu juga berdamapak langsung dengan kualitas hidup masyarakat setiap hari.
Akibat korupsi negara semacam gagal total dalam membina kestabilan pola pemerintahan, karena segala macam sektor dijadikan sebagai tempat untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Pola pikir macam ini menjadikan negara berada pada kungkungan kelomok-kelompok tertentu, yang tujuan utamanya memperluas kepuasaan pribadi atau bisnis pribadi, tanpa memikirkan kesejahteraan masyarakat atau negara.
Paus Fransiskus menyebut tindakan korupsi itu sebagai “tumor atau kanker sosial”.
Menurut dia, penyakit korupsi itu berakar dalam dosa individual para koruptor, kemudian seperti tumor menyebar tanpa kendali ke seluruh bagian tubuh komunitas sosial dan akhirnya berkembang menjadi dosa struktural atau sosial.
Jika korupsi sudah mengakar dalam kehidupan manusia, maka dia akan berkembang terus tanpa dikontrol dan merambat ke seluruh lapisan sosial masyarakat, termasuk di dalam institusi religius.
Paus Fransiskus memberi perhatian khusus pada dimensi etis dan spiritual terhadap fenomena korupsi.
Ia katakan “hati yang korup hanya sibuk dengan dirinya sendiri dan tak mampu lagi berpikir melampaui diri sediri.”
Paus Fransiskus mengingatkan kita akan perumpamaan tentang harta dalam injil Matius, di mana hati mesti menjadi dasar yang baik dalam melakukan berbagai macam perbuatan, bukan hati yang menghambat.
Kalau hati mengahambat maka korupsi mempunyai peluang besar untuk berkembangbiak di dalam hati kita.
Akar atau pengaruh paling fundamental dari korupsi menurut Paus Fransiskus adalah absolutisasi dimensi hidup manusia.
Hal itu terungkap di dalam diri manusia yang selalu mendewakan hal-hal material, tanpa memikirkan keadilan umum atau keadilan bersama, dan selalu memberi ruang kepada aspek-aspek yang tidak sama sekali mendukung kenyamanan hidup bermasyarakat.
Penulis hanya mengimbau bahwa sejatinya korupsi hanya mengantar kita pada kebobrokan atau ketololan. Oleh karena itu kuburlah dalam-dalam kemauan untuk korupsi. Tanamkanlah jiwa keadilan dan semangat berbela rasa di dalam kehidupan sosial masyarakat.