Oleh: Yulianus Risky Agato
Siswa SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo
Kebenaran yang tidak dapat kita sangkal bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk. Indonesia mengakui bahwa kemajemukan yang ada adalah suatu takdir yang tidak dapat dielak lagi.
Kemajemukan tersebut dilatarbelakangi oleh bahasa, suku, adat istiadat, budaya dan juga kepercayaan.
Menurut Kominfo saat ini bangsa Indonesia memiliki 742 bahasa/dialek, terdiri atas berbagai suku bangsa dan jumlahnya tidak kurang dari 478 suku bangsa, serta memiliki enam agama yang diakui secara sah oleh negara di antaranya; agama Islam, Kristen, Katolik, Budha, Konghucu, dan masih memiliki beberapa aliran kepercayaan yang dirawat dalam beberapa suku.
Kemajemukan tersebut dapat menjadi kekayan bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia dinobatkan sebagai bangsa yang beragam dan bangsa yang kaya.
Namun kerapkali keberagaman yang ada dapat memicu lahirnya konflik dan pertikaian di tengah kehidupan masyarakat yang beragam.
Sebagai contoh konkretnya adalah maraknya fenomena intoleransi yang berlabelkan agama. Seolah-olah agama mengajarkan pembunuhan, peperangan, dan permusuhan kepada setiap penganutnya.
Seolah-olah bermusuhan dengan mereka yang berbeda agama adalah suatu dogma yang diakui secara sah oleh agama dan diwariskan kepada semua penganutnya tanpa terkecuali.
Singkatnya agama mengijinkan permusuhan, pembunuhan, dan berbagai macam bentuk kejahatan lainya. Padahal agama mengajarkan tentang kebaikan, cinta kasih, perdamaian, dan toleransi.
Bagi saya, keenam agama yang ada di Indonesia mengajarkan tentang perdamaian. Tidak ada agama yang mengajarkan tentang permusuhan dan kejahatan.
Konflik antaragama muncul karena suatu kekeliruan dari masing-masing penganut agama yang menganggap bahwa agama yang dianut adalah agama yang paling benar.
Dan kebenaran itu sudah mutlak tidak bisa diganggu gugat oleh agama manapun dan oleh siapapun. Sehingga dari hal yang serupa lahirlah sikap intoleransi agama, fanatisme, dan radikalisme yang memilki potensi untuk memecahkan persatuan nasional bangsa.
Secara etimologi agama berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “A” dipahami tidak dan “Gemma” dapat dipahami sebagai kacau. Jadi secara sederhana agama dapat dirumuskan sebagai sesuatu yang tidak kacau atau suatu aliran untuk menghindari dan mengurangi kekacauan.
Keenam agama yang kita akui selalu mengutamakan dan mengedepankan martabat manusia. Martabat manusia dijadikan sebagai subjek yang utama dan sesuatu yang paling mahal, lebih berharga dari apapun.
Artinya adalah semua agama mengajarkan kepada setiap penganutnya untuk menjujung tinggi martabat manusia, perdamaian, cinta kasih, saling menghargai dan menghormati, singkatnya agama selalu mengajarkan kepada semua penganutnya untuk berbuat baik kepada siapa saja.
Tidak hanya sesama penganut agama, tetapi juga dengan mereka yang berbeda agama. Perlu kita catat bahwa berbeda agama bukan berarti berbeda Tuhan.
Contohnya adalah saya katolik memiliki cara berdoa yang berbeda dan bentuk rumah ibadah berbeda dengan saudara saya islam atau penganut agama yang lain.
Bukan berarti kita menghormati dan menyembah Tuhan yang berbeda. Dalam praktiknya kita memang memiliki tatacara dan ritual tersendiri yang sudah dianggap benar dan diwariskan oleh nenek moyang kita sejak dulu. Teks-teks agamapun memiliki multitafsir sehingga kebenaran dapat beranak cucu.
Namun perlu kita ketahui bersama bahwa hanya satu Tuhan yang kita sembah. Hanya saja tatacara dan ritual agama yang menggambarkan perbedaan. Padahal substansinya adalah menuju pada yang satu yaitu tiada lain selain Tuhan.
Namun ironisnya sekarang, masalah intoleransi antaragama begitu marak terjadi diberbagai segi kehidupan manusia yang serba modern seperti sekarang.
Seakan-akan hadirnya agama tidak lagi untuk mengajarkan perdamaian dan toleransi. Tidak sedikit para penganut agama yang menjadikan perbedaan ajaran agama sebagai salah satu alasan untuk memicu lahirnya konflik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai misal konflik intoleransi yang pernah terjadi di Tanggerang Jakarta, pada Mei 2024 kasus pembubaran sekelompok mahasiswa katolik yang sedang berdoa rosario pada malam hari oleh pak RT dan warga setempat.
Selain itu masalah intoleransi agama terjadi ditempat yang sama Tanggerang, pada 29 September 2020 yakni aksi perusakan musolah, selanjutnya aksi pembubaran ibadah umat kristen di Padang pada 19 Maret 2023 dan perusakan gereja di Samarinda pada tahun yang sama.
Sungguh kenyataan ini sangat tidak elok, bukan? Sangat menganggu keberagaman dan kenyamanan sosial bagi rakyat Indonesia. Tentunya ini dapat merusak persatuan nasional masyarkat.
Dilansir dari SETARA Institute dari Januari 2022 hingga akhir September 2022 menunjukkan terdapat beberapa fenomena intoleransi agama yaitu 32 peristiwa gangguan rumah ibadah, sebanyak 15 masjid mengalami gangguan, diikuti gereja sebanyak 13 peristiwa, dan gangguan terhadap vihara sebanyak 4 peristiwa. Angka ini mengalami peningkatan pada 2023 lalu.
SETARA Institute mencatat sebanyak 65 tempat ibadah mengalami gangguan yaitu 40 gangguan menimpa gereja, 17 menimpa masjid, 5 menyasar pura, dan 3 menimpa vihara.
Pada tahun yang sama SETARA Institute mencatat terdapat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB).
Angka tersebut mengalami peningkatan secara signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya 2022 yaitu terdapat 175 peristiwa dengan 333 tindakan.
Kenyataan tersebut menunjukan bahwa praktik agama di Indonesia belum terjalin secara harmonis. Praktik agama di Indonesia masih menimbulkan pro dan kotra di tengah kehidupan masyarakat padahal secara hukum negara telah mengakui enam agama yang sah.
Hal ini disebabkan begitu banyak konflik antaragama yang dapat mengganggu persatuan bangsa. Masalah intoleransi agama dijadikan semacam tren yang harus dirawat dan dijaga oleh masing-masing pemeluk agama apapun.
Betapa naifnya kita yang menjadikan agama sebagai corong utama untuk menyerbarkan masalah intoleransi. Seolah-olah fenomena intoleransi agama adalah sesuatu yang selalu diinginkan dan sesuatu yang kita cita-citakan sejak dulu.
Salah satu momok lahirnya konflik agama adalah tingginya sikap intoleransi para penganut agama. Secara sederhana sikap intoleransi didefinisikan sebagai bentuk sikap yang tidak menerima perbedaan dari orang lain.
Seorang yang intoleran mengalami kesulitan untuk menerima dan menghargai orang lain. Akibatnya adalah dapat memicu lahirnya masalah sosial dan juga yang paling parah bisa merusak rasa persatuan nasional. Semangat dan rasa persatuan nasional dapat tercemar dengan tingginya sikap intoleransi agama.
Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara yang beragam agama sehingga memiliki peluang besar untuk memicu masalah intoleransi agama.
Apabila masalah intoleransi agama tidak dapat dibendung maka bukan tidak mungkin lagi kesatuan dan persatuan nasional hancur lebur berkeping-keping.
Sebagai masyarkat Indonesia yang beragama dan berbhineka jua, kita perlu bahkan harus segera mengatasi masalah intoleransi agama dengan mengimplemntasikan moderasi beragama.
Masalah intoleransi agama dapat dibendung dengan moderasi beragama sebab moderasi beragama adalah proses untuk mencapai sikap toleransi. Lawan dari intoleran adalah toleran.
Saya menyadari bahwa moderasi beragama bukanlah sesuatu yang asing bagi kita orang-orang Indoensia. Namun perlu saya menjelaskan apa itu mederasi beragama yang saya maksudkan.
Pada 2019 yang lalu bapak moderasi beragama sekaligus mantan menteri agama Repulik Indonesia K.H. Lukman Hakim Saiffudin mencetuskan pentingnya moderasi beragama untuk merawat keIndonesian.
Singkatnya moderasi beragama sebagai salah satu upaya untuk memperkokoh kebhinekaan.
Dalam buku Moderasi Beragama yang resmi diterbitkan oleh Kementrian RI tahun 2019 menjelaskan bahwa Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. n pengurangan kekerasan, dan 2. n penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem.
Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara.
Penulis dapat menyimpulkan moderasi beragama adalah suatu sikap yang netral berupa bentuk praktik agama yang tidak ekstrem, radikal dan berlebihan melainkan suatu bentuk praktik agama yang mengedepankan prinsip adil dan berimbang.
Prinsip adil artinya tidak berat sebelah dan berimbang dapat kita pahami sebagai sikap untuk selalu berada ditengah di antara dua kutub.
Dalam hal ini moderasi beragama hadir untuk mendamaikan dua kutub yang saling menjauh atau saling bermusuhan.
Moderasi beragama dapat meminimalisasi konflik intolerasi agama. Sebab salah satu tujuan yang hendak dicapai dari moderasi agama adalah untuk memerangi fenomena intoleransi agama dan menciptakan sikap toleran.
Dapat dipahami bahwa kehadiran moderasi beragama sebagai upaya untuk mengatasi masalah intoleransi agama.
Sehingga agama kembali kepada esensinya yaitu mengedepankan martabat manusia serta menjunjung tinggi perdamain.
Untuk itu sebagai bangsa Indonesia yang cinta akan keberagaman agama marilah kita mengatasi masalah intoleransi agama dengan menerapkan moderasi beragama.
Penulis yakin dengan menerapkan moderasi beragama segala macam konflik intolerasni agama di Indonesia dapat kita cegah.
Dengan demikian kehidupan beragama dapat terjalin secara harmonis, sejahtera, dan damai.