Cerpen
Oleh: Oswal Wan Budi
Siswa SMAK St. Klaus Kuwu
Di senja yang begitu indah, tampaklah seorang remaja yang sedang melamun di bawah pohon besar yang rindang. Entah apa yang dipikirkan oleh pemuda tersebut. Nama dari pemuda tersebut Tono. Tono salah seorang siswa di salah satu SMA ternama di Manggarai yakni SMAS Santu Klaus Kuwu.
Di SMA, Tono tinggal di Asrama, karena sekolah tersebut diwajibkan untuk siswa/i tinggal berasrama, atau kerap kali disebut boarding school. Tono sekarang sudah menginjak kelas XI. Dia merasa hari-harinya penuh dengan beban, hingga membuatnya selalu menyendiri.
Suatu hari, tepatnya hari di mana libur telah usai, siswa diminta untuk kembali ke asrama. Di situlah Tono mulai sedih, karena sudah sekian minggu telah berlibur di kampung halamannya dan kembali lagi ke almamaternya dan kembali menikmati saung daeng atau makanan yang amat sederhana.
Di Asrama, Tono merasa bahwa seakan-akan, ia dibuang oleh orangtuanya, Ia merasa sudah setahun hidup dalam penyiksaan dan akhirnya kembali lagi untuk tersiksa kurang lebih dua tahun lagi.
Waktu kelas X, Ia sudah merasakan hidup berasrama selama satu tahun. Di situlah muncul ketidakbetahan dalam dirinya hingga memutuskan untuk pindah.
Belum seminggu di asrama setelah kembali dari liburan, Ia sudah menangis untuk pulang ke rumahnya. Melihat itu, teman-teman seperjuangan merasa heran kepadanya sampai muncul sebuah pertanyaan: Mengapa Tono harus bersedih?
Suatu waktu, Ia memutuskan untuk menelepon orangtuanya menggunakan HP dari seorang pendamping asrama untuk menginformasikan kepada orangtuanya bahwa Ia ingin pindah sekolah.
Dari situ, munculah pertanyaan dari pendampingnya “Mengapa harus bersedih? Bukankah kamu sudah bertahan sampai setahun di sini?” Dengan nada yang sedih Tono menjawab: “Saya sudah tidak betah lagi di sini!. Di kampung, makananya enak,,bisa main HP sepuasnya, dan tidak dibebani oleh aturan.”. Dengan santai Pembimbingnya menjawab; “ sudahi gengsimu kawan!
Memang di Asrama itu tidak senikmat dengan hidup di rumahmu, tapi ingat, itukan hanya soal kenikmatan jasmani semata, tanpa kamu sadar bahawa, dengan sekolah di sini, kamu juga mempunyai kenikmatan yang sepiesal dibandingkan dengan teman yang di kampungmu.
Dan juga dengan sekolah di sini, kamu tentu mempunyai bekal bukan hanya sesaat saja, tapi untuk masa depanmu”. Mendengar nasehat dari pembimbing tersebut, tergeraklah hati Tono, dan tiba-tiba ia teringat waktu dibina karena melanggar aturan, yakni: tidak menghargai orang lain ketika berbicara.
Dari situ, Tono tidak lagi melakukan kebisaan buruknya, hingga mempraktekkan dalam kehidupannya baik di asrama, maupun semenjak ia berlibur di kampungnya.
Tidak lama kemudian, Tono memeluk pendampingnya karena nasehat yang membuat Tono tersadar bahwa, kehidupan ini tidaklah seperti yang Ia bayangkan.
Sudah sekian lama ia hampir terhasut oleh tipu daya duniawi. Dia memeluk pendampingnya sambil menangis dan berkata” terimakasih ya pak, sudah merubah pikiran saya.
Ternyata, kehidupan ini bukan hanya untuk hari ini, tapi baagaimana caranya untuk bisa menata hidup di masa yang akan datang”.
Mendengar itu pembinanya sangat terharu dengan Tono, ternyata Dia sudah tahu bahwa hidup itu bukanlah tentang hari ini, tapi bagaimana caranya untuk bisa hidup dihari esok.
Dari situ Tono akhirnya memutuskan untuk tidak berpindah dan mau menikmati susah senangnya hidup berasrama.
Dia sudah sadar bahwa pentingnya menata kehidupan dimasa depan mulai dari sekarang, dengan membina karakter dan kepribadiannya yang menjadi kunci kesuksesan.
Dengan kata lain, ia harus menikmati berbagai kepahitan dalam perjuangan hari ini, untuk kebaikan dihari esok, seperti pepatah yang berbunyi demikian“ bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian”