Oleh: Ernestus Holivil
Dosen Administrasi Publik Universitas Nusa Cendana Kupang
Setiap sistem demokrasi pasti menjadi tantangan. Namun jarang kita menyaksikan tantangan seintensif yang terjadi di Indonesia saat ini.
Negara ini tengah mengalami krisis kepercayaan yang serius terhadap institusi-institusi kunci yang seharusnya menjaga keberlanjutan demokrasi.
Di tengah situasi ini, menjadi semakin jelas bahwa demokrasi kita berada di persimpangan jalan yang kritis.
Ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara terang-terangan mengabaikan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka tidak hanya melanggar prosedur hukum, tetapi juga merusak fondasi kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
MK, yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan, kini justru diabaikan. Demokrasi yang kita junjung tinggi berubah menjadi panggung sandiwara. Aturan dan norma dipermainkan demi kepentingan segelintir elite.
Pembangkangan dan panggung sandiwara demokrasi menjadi dua wajah dari krisis yang tengah melanda negeri ini.
Tindakan pembangkangan ini tidak hanya mencerminkan pelecehan terhadap institusi hukum tertinggi, tetapi juga memperlihatkan bagaimana demokrasi telah kehilangan esensi utamanya dan tereduksi menjadi alat politik para penguasa.
Peringatan tentang kondisi darurat demokrasi yang marak di media sosial bukan hanya simbolisme belaka. Itu adalah refleksi dari ketidakpuasan dan kemarahan yang tumbuh di masyarakat.
Demokrasi, yang idealnya dimiliki oleh seluruh rakyat, kini dikuasai oleh segelintir elite yang mengabaikan suara mayoritas.
Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yudikatif tertinggi, seharusnya menjadi penjaga utama konstitusi, namun otoritasnya kini dilecehkan dengan tindakan pembangkangan yang terang-terangan.
Mengutip filsuf Jean-Jacques Rousseau, “hukum adalah ungkapan kehendak umum,” namun ketika hukum tidak dihormati oleh para penguasa, maka kehendak rakyat pun diabaikan.
Contoh-contoh kasus besar seperti Omnibus Law Cipta Kerja, revisi UU KPK, dan revisi UU Pilkada menggambarkan bagaimana keputusan MK tidak diindahkan oleh para pemangku kebijakan.
Meskipun MK memutuskan bahwa beberapa pasal dalam Undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi, proses legislasi terus berjalan tanpa memperhatikan perintah revisi yang telah ditetapkan.
Ini tidak hanya mencerminkan pelanggaran hukum, tetapi juga penghinaan terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya menjadi landasan negara.
Hannah Arendt, seorang filsuf terkenal, pernah mengatakan bahwa “Kebohongan besar sangat berbahaya karena merusak kepercayaan dan sistem yang sangat penting bagi demokrasi.”
Ketidakpatuhan ini menunjukkan bahwa seringkali kekuasaan diutamakan daripada kepatuhan terhadap hukum yang berlaku.
Panggung sandiwara demokrasi menjadi semakin nyata ketika tindakan-tindakan ini dibiarkan begitu saja di hadapan publik, sementara di balik layar, keputusan-keputusan penting diambil tanpa memperhatikan kepentingan rakyat.
Tampilan demokrasi yang seolah-olah berjalan baik hanya menutupi kenyataan bahwa proses politik seringkali dimanipulasi untuk kepentingan kelompok tertentu.
Praktik-praktik semacam ini menunjukkan bagaimana demokrasi telah berubah menjadi formalitas belaka, di mana aturan dan norma dipermainkan demi kepentingan segelintir elite.
Rakyat, yang seharusnya menjadi pemegang kekuasaan utama, kini hanya menjadi penonton dalam drama politik ini, sementara para elite terus berperan tanpa mempertimbangkan aspirasi dan hak-hak mereka.
Perjuangan Kolektif untuk Demokrasi yang Sejati
Krisis yang kita hadapi saat ini menuntut adanya perjuangan kolektif untuk mempertahankan dan memperkuat demokrasi.
Tujuan utamanya adalah mengembalikan demokrasi ke jalur yang benar, di mana setiap warga negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa suara mereka tidak diabaikan dalam permainan politik para elite.
Partisipasi aktif dalam proses politik dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah adalah langkah-langkah penting yang harus diambil untuk mencegah manipulasi oleh pihak-pihak yang sering mengabaikan kepentingan rakyat.
Pembangkangan terhadap MK bukan hanya masalah hukum; ini merupakan gejala kerusakan yang lebih mendalam dalam tatanan demokrasi kita.
Ketika lembaga yang seharusnya menjadi penjaga keadilan tidak lagi dihormati, demokrasi itu sendiri berada dalam ancaman.
Oleh karena itu, perjuangan kolektif menjadi sangat penting. Kita tidak boleh membiarkan demokrasi menjadi sekadar formalitas, di mana aturan dan norma hanya dipertontonkan tanpa makna yang sebenarnya.
Sebagai bagian dari upaya ini, kita harus mendukung kebijakan yang mendorong transparansi dan akuntabilitas, memastikan bahwa keputusan-keputusan penting tidak diambil tanpa pertimbangan yang matang terhadap kepentingan publik.
Selain itu, pendidikan kewarganegaraan harus ditingkatkan agar generasi mendatang memiliki kesadaran yang memadai tentang hak dan tanggung jawab mereka dalam sistem demokrasi.
Dengan pemahaman yang kuat tentang pentingnya hukum dan keadilan, masyarakat akan lebih mampu menolak tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Perjuangan untuk mempertahankan demokrasi yang sejati adalah perjuangan untuk memastikan bahwa setiap keputusan politik mencerminkan kehendak umum, bukan kepentingan segelintir orang.
Menghadapi tantangan seperti pembangkangan terhadap MK dan manipulasi demokrasi oleh para elite, kita harus semakin memperkuat komitmen untuk mengembalikan kepercayaan publik dan memastikan bahwa demokrasi kita tetap menjadi sistem yang adil dan merata bagi semua orang, bukan sekadar alat permainan politik.
Dengan demikian, perjuangan kolektif untuk memperkuat demokrasi adalah jawaban atas pembangkangan yang merusak dan panggung sandiwara yang menipu rakyat.
Hanya dengan bersatu dan bekerja bersama, kita dapat memastikan bahwa demokrasi kita tetap berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip yang sejati.
Demokrasi yang adil dan merata harus menjadi milik semua orang, bukan hanya alat bagi mereka yang berkuasa. Seperti yang diingatkan oleh Confucius, “Jika pemimpin adil, rakyat akan taat; namun jika pemimpin tidak adil, rakyat tidak akan pernah percaya.”