Oleh: Pater Vinsensius Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Pengantar
“Anak anak kurang gizi, guru guru kurang gaji dan pendidikan menghasilkan tamatan yang berkualitas kuli,” kata Ketua Dewan Pembina Forum Masyarakat Indonesia Emas (Formas), Hashim Djojohadikusomo saat menjadi keynote speaker pada acara dialog nasional tentang ‘Sinergi Menyusun Peta Jalan Pendidikan untuk Menyongsong Indonesia Emas di Auditorium Kampus Podomoro, Jakarta, 7 September 2024.
Isu ini amat menarik bagi saya, selain tentu saja isu-isu tentang SDM yang unggul, berkarakter dan bermoral spiritual, serta pentingnya desain kurikulum nusantara berbasis kearifan lokal.
Menarik untuk direfleksikan secara mendalam ungkapan miris ini. Betapa tidak, Indonesia, negeri yang kaya akan sumber daya alam, namun masih dihadapkan pada kenyataan pahit di bidang pendidikan dan kesehatan.
Masalah gizi buruk, gaji guru yang kurang layak, serta kualitas pendidikan yang rendah terus menghantui perkembangan generasi muda kita.
Banyak anak-anak di berbagai pelosok negeri yang menderita akibat kurang gizi, sehingga tumbuh kembang mereka tidak optimal.
Di sisi lain, para guru yang menjadi ujung tombak pendidikan, sering kali tidak mendapat penghargaan yang layak, baik dalam bentuk materi maupun fasilitas, sehingga motivasi dan kinerja mereka terhambat.
Akibatnya, kualitas pendidikan pun ikut terdampak, dan lulusan sekolah sering kali hanya bisa mengisi posisi-posisi pekerjaan yang kurang menghargai potensi dan kapasitas manusia, seperti menjadi buruh kasar atau pekerja rendahan.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan dan bertentangan dengan tujuan luhur pendidikan yang seharusnya membentuk individu yang cerdas, bermoral, dan berkarakter kuat sejak dini hingga pendidikan tinggi.
Pendidikan yang berkualitas adalah hak setiap anak, dan mereka berhak tumbuh dalam kondisi yang mendukung perkembangan fisik, mental, dan spiritual yang sehat.
Gizi seimbang menjadi elemen mendasar dalam membangun pondasi kecerdasan dan karakter, sementara pendidikan yang inklusif, relevan, dan berkeadilan adalah jembatan yang mengantarkan anak-anak menuju masa depan yang lebih baik, baik secara moral maupun profesional.
Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menata ulang sistem pendidikan kita dengan memperhatikan dua faktor utama: pertama, pemenuhan gizi seimbang bagi ibu hamil, anak-anak sekolah, dan seluruh lapisan masyarakat; kedua, peningkatan kesejahteraan para pendidik melalui gaji yang layak.
Program gizi seimbang yang menyentuh langsung pada anak-anak sejak masa kehamilan hingga sekolah dasar dan menengah akan membantu mereka tumbuh menjadi individu yang cerdas, sehat, dan memiliki kapasitas untuk belajar dengan baik.
Sementara itu, guru yang sejahtera akan mampu mengajar dengan dedikasi penuh, sehingga dapat menghadirkan pendidikan yang berkualitas, membentuk lulusan yang berintegritas dan profesional.
Pendidikan yang berkualitas, relevan, inklusif, dan berkeadilan bukan hanya mimpi, tetapi sebuah keharusan untuk membangun SDM unggul yang akan menjadi pilar utama pembangunan bangsa.
Mari kita bersama-sama mendukung upaya perbaikan di sektor gizi, pendidikan, dan kesejahteraan guru, demi masa depan anak-anak bangsa yang lebih cerah dan berdaya saing global.
Kurang Gizi, Guru Kurang Gaji, Kualitas Pendidikan Rendah
Masyarakat yang sehat, terdidik, dan sejahtera adalah aset terbesar suatu negara. Situasi yang digambarkan memang mencerminkan ironi yang ada di banyak daerah di Indonesia, di mana kekayaan alam tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas hidup dan pendidikan masyarakat.
Anak-anak yang kurang gizi, guru yang bergaji rendah, dan rendahnya kualitas pendidikan adalah masalah serius yang dapat berdampak jangka panjang terhadap perkembangan individu dan negara.
Kurang gizi pada anak menghambat perkembangan fisik dan mental mereka, menyebabkan sulitnya mereka berprestasi di sekolah. Padahal, pendidikan adalah kunci untuk membuka peluang hidup yang lebih baik.
Ketika guru — yang berperan vital dalam pendidikan — tidak mendapatkan upah yang layak, motivasi dan kualitas pengajaran mereka bisa menurun, memengaruhi hasil belajar siswa.
Akibatnya, lulusan sekolah sering kali tidak memiliki keterampilan yang memadai, dan terjebak dalam pekerjaan berupah rendah atau tidak terampil, seperti menjadi buruh atau kuli.
Masalah kurang gizi pada anak-anak, rendahnya gaji guru, dan kualitas pendidikan yang buruk merupakan hasil dari berbagai faktor sistemik yang saling berkaitan.
Anak-anak dari keluarga miskin sering kali tidak mendapatkan asupan makanan yang bergizi karena keterbatasan ekonomi.
Kemiskinan membuat orang tua tidak mampu menyediakan makanan yang cukup atau bergizi, yang berdampak pada pertumbuhan fisik dan perkembangan mental anak. Kemiskinan juga memengaruhi akses terhadap pendidikan berkualitas.
Sekolah-sekolah di daerah miskin sering kali kekurangan fasilitas, buku pelajaran, dan tenaga pengajar yang kompeten.
Di banyak daerah, terutama di pelosok, anggaran untuk pendidikan tidak memadai, sehingga guru-guru, khususnya yang berstatus honorer, sering kali menerima gaji di bawah standar. Hal ini dapat mengurangi motivasi guru dalam mengajar.
Meski Indonesia memiliki kekayaan alam yang besar, alokasi anggaran untuk pendidikan sering kali belum cukup memadai.
Pemerintah pusat maupun daerah masih sering mengalami ketimpangan dalam distribusi dana pendidikan, sehingga sekolah-sekolah di daerah terpencil mendapatkan alokasi anggaran yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan sekolah-sekolah di perkotaan.
Pemerintah dan sektor swasta belum sepenuhnya menginvestasikan sumber daya yang cukup dalam membangun infrastruktur pendidikan yang layak, termasuk fasilitas yang mendukung kesehatan anak di sekolah.
Daerah-daerah terpencil sering kali sulit diakses, sehingga sekolah-sekolah di daerah tersebut kekurangan tenaga pengajar dan fasilitas.
Selain itu, minimnya perhatian dari pemerintah dan lembaga swasta memperparah ketimpangan dalam hal kualitas pendidikan.
Di banyak daerah, guru yang berkualitas lebih memilih bekerja di kota-kota besar atau di sektor swasta yang menawarkan gaji lebih tinggi. Akibatnya, sekolah-sekolah di pedalaman kekurangan guru yang kompeten.
Banyak sekolah menerapkan kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan lokal atau keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja.
Akibatnya, siswa sering kali tidak siap menghadapi realitas dunia kerja atau tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh industri.
Korupsi dan inefisiensi dalam penggunaan dana pendidikan juga menjadi faktor utama yang memengaruhi rendahnya kualitas pendidikan.
Anggaran yang sebenarnya dialokasikan untuk pendidikan sering kali tidak sampai ke sekolah-sekolah yang membutuhkannya.
Banyak guru yang tidak mendapatkan pelatihan berkelanjutan yang dibutuhkan untuk meningkatkan keterampilan mereka dalam mengajar. Hal ini memengaruhi kualitas pembelajaran di kelas.
Guru sering kali tidak mendapatkan insentif yang memadai untuk meningkatkan kinerja mereka, baik dari segi finansial maupun non-finansial.
Rendahnya gaji membuat profesi guru kurang diminati oleh individu yang berkualifikasi tinggi.
Di banyak sekolah, tidak ada program yang memastikan bahwa anak-anak mendapatkan makanan bergizi selama berada di sekolah.
Selain itu, pengetahuan tentang pentingnya gizi yang baik bagi perkembangan anak sering kali masih minim, baik di kalangan orang tua maupun sekolah.
Di banyak daerah, terutama daerah terpencil, akses ke layanan kesehatan yang mendukung gizi anak, seperti imunisasi dan pemberian vitamin, sangat terbatas.
Pendidikan dan kesehatan anak sering kali dipandang sebagai dua sektor yang terpisah, padahal keduanya sangat berkaitan.
Anak-anak yang kurang gizi tidak dapat belajar dengan baik, sementara pendidikan yang baik dapat membantu mengurangi ketidakpahaman tentang pentingnya gizi.
Anak Sehat dan Guru Sejahtera
Pentingnya anak-anak bergizi seimbang, gaji guru yang layak, pendidikan berkualitas, serta lulusan yang cerdas, bermoral, dan berkarakter sejak usia dini hingga perguruan tinggi tidak bisa dipandang sebelah mata.
Hal ini berperan besar dalam membentuk masyarakat yang sehat, produktif, dan berintegritas serta profesiona.
Anak-anak dengan asupan gizi seimbang memiliki perkembangan otak yang optimal, yang mendukung kemampuan belajar mereka.
Gizi buruk, terutama selama usia dini, dapat menyebabkan keterlambatan kognitif dan gangguan belajar, yang akan berdampak pada prestasi akademik dan keterampilan sosial anak-anak di masa depan (Bundy, et al., 2018).
Anak yang bergizi baik lebih sehat secara fisik, lebih mampu berpartisipasi dalam kegiatan belajar di sekolah, dan memiliki daya tahan tubuh yang lebih kuat untuk menghadapi penyakit (UNICEF, 2020).
Guru yang mendapatkan gaji layak akan merasa dihargai dan termotivasi untuk memberikan yang terbaik dalam proses belajar-mengajar.
Gaji yang rendah sering kali membuat guru mencari pekerjaan sampingan, yang mengurangi waktu dan energi yang mereka alokasikan untuk mendidik siswa (Bangs & Frost, 2012).
Guru yang bergaji tinggi dan mendapatkan pelatihan profesional berkelanjutan akan lebih mampu menyediakan pendidikan berkualitas, menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, serta mendukung perkembangan moral dan emosional siswa (Hargreaves, 2003).
Pendidikan berkualitas tidak hanya berfokus pada pengembangan intelektual, tetapi juga moral dan karakter. Pendidikan yang holistik membantu anak-anak memahami nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kerja sama, yang diperlukan untuk membentuk individu yang bermoral (Noddings, 2013).
Pendidikan berkualitas menyiapkan siswa untuk menghadapi tantangan global dengan membekali mereka keterampilan seperti berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif. Ini juga membantu lulusan untuk menjadi inovator dan pemimpin yang mampu bersaing di dunia kerja (Darling-Hammond, 2010).
Sejak usia dini hingga perguruan tinggi, pendidikan yang fokus pada pengembangan kecerdasan, moral, dan karakter menciptakan individu yang bertanggung jawab dan mampu mengambil peran penting dalam masyarakat. Pendidikan moral yang kuat juga memastikan bahwa lulusan tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki integritas dan etika dalam tindakan mereka (Freire, 2000).
Lulusan yang berpendidikan tinggi dan bermoral baik cenderung memiliki akses lebih baik terhadap pekerjaan yang bermutu tinggi dan berpenghasilan besar. Mereka juga lebih mampu menyumbang pada pembangunan masyarakat melalui inovasi dan kewirausahaan, yang dapat mengurangi kemiskinan dan ketimpangan sosial (Sen, 1999).
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapatkan nutrisi yang baik cenderung lebih berhasil di sekolah dan memiliki hasil pendidikan yang lebih baik di masa depan (Walker et al., 2007).
Kesehatan fisik yang baik memungkinkan mereka berpartisipasi penuh dalam kegiatan akademis dan non-akademis. Guru yang mendapatkan gaji layak mampu memberikan pengajaran yang lebih efektif, yang berdampak langsung pada kualitas pendidikan siswa.
Guru yang sejahtera lebih fokus pada pengembangan keterampilan intelektual dan emosional siswa, yang sangat penting dalam pembentukan karakter dan kecerdasan emosional siswa (Day, 2004).
Anak-anak yang bergizi baik, guru yang bergaji layak, pendidikan berkualitas, serta lulusan yang cerdas, bermoral, dan berkarakter merupakan fondasi penting dalam membangun masyarakat yang sehat, sejahtera, dan bermartabat. Semua elemen ini harus terintegrasi dan didukung oleh kebijakan pemerintah yang berorientasi pada kesejahteraan dan kemajuan rakyat.
Tanpa investasi yang memadai dalam kesehatan dan pendidikan, masyarakat akan terus menghadapi tantangan dalam menciptakan generasi yang siap menghadapi masa depan dengan bekal intelektual dan moral yang kuat.
Gizi Seimbang dan SDM yang Integritas dan Profesional
Program pemberian makanan bergizi seimbang kepada ibu hamil dan anak-anak sekolah memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan kecerdasan, pembentukan akhlak mulia, moral, serta pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berintegritas dan profesional. Gizi seimbang menjadi fondasi utama dalam mendukung perkembangan otak, kemampuan kognitif, serta kesejahteraan emosional dan spiritual seseorang.
Asupan gizi yang baik pada masa kehamilan dan usia dini sangat penting bagi perkembangan otak anak.
Nutrisi seperti asam lemak omega-3, zat besi, dan yodium berperan krusial dalam pertumbuhan saraf dan kemampuan kognitif.
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menerima gizi yang cukup memiliki hasil akademis yang lebih baik dan perkembangan kognitif yang lebih cepat dibandingkan mereka yang kurang gizi (Walker et al., 2011).
Sebuah studi oleh Grantham-McGregor et al. (2007) menyimpulkan bahwa anak-anak yang menerima makanan bergizi selama masa kritis perkembangan otak memiliki kemampuan belajar yang lebih baik, yang berkontribusi langsung pada prestasi akademik yang lebih tinggi.
Anak-anak yang mendapatkan gizi seimbang cenderung lebih stabil secara emosional. Kesejahteraan emosional yang baik memungkinkan mereka mengembangkan nilai-nilai moral, seperti rasa empati, kerja sama, dan kedisiplinan.
Anak yang sehat secara fisik dan emosional lebih mampu menerima pembelajaran nilai-nilai moral di sekolah dan keluarga (Rahman et al., 2009).
Gizi seimbang membantu anak-anak mengatasi stres dan emosi negatif. Anak-anak yang lebih sehat secara fisik cenderung memiliki pengendalian emosi yang lebih baik, yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan sifat-sifat moral yang lebih kuat seperti kesabaran, tanggung jawab, dan rasa hormat (Seligman, 2011).
Kesehatan fisik yang baik melalui gizi seimbang memengaruhi kemampuan individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan spiritual dan keagamaan. Anak-anak yang sehat lebih mampu mengikuti pendidikan agama dan terlibat dalam kegiatan spiritual, seperti beribadah, yang mendukung pembentukan ketakwaan mereka (Miller & Thoresen, 2003).
Anak yang mendapatkan nutrisi baik memiliki tingkat konsentrasi dan keterlibatan yang lebih tinggi dalam pembelajaran agama di sekolah, sehingga mereka dapat menginternalisasi nilai-nilai iman dengan lebih baik. Ini memungkinkan mereka untuk lebih terhubung dengan aspek spiritual dalam hidup mereka (King & Benson, 2006).
Kecerdasan kognitif yang berkembang dengan baik sejak masa kanak-kanak memungkinkan individu untuk lebih mudah mengembangkan keterampilan teknis dan profesional yang dibutuhkan di dunia kerja. Ini juga mendukung pengembangan integritas dan disiplin kerja, yang sangat penting bagi SDM yang profesional (Heckman, 2006).
Program makanan bergizi seimbang bagi ibu hamil dan anak-anak membantu membangun SDM yang lebih sehat, lebih produktif, dan lebih inovatif di masa depan. Hal ini berkontribusi langsung pada pembangunan ekonomi dan sosial yang lebih berkelanjutan (Behrman, 2009).
Investasi dalam program pemberian gizi seimbang untuk ibu hamil dan anak-anak sekolah dapat memutus siklus kemiskinan antar generasi. Anak-anak yang sehat cenderung tumbuh menjadi individu yang lebih mandiri secara ekonomi dan memiliki kemampuan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak (Hoddinott et al., 2013).
Anak-anak yang tumbuh dengan gizi yang baik akan menjadi generasi penerus yang tidak hanya sehat secara fisik dan mental, tetapi juga memiliki keterampilan, moral, dan integritas untuk berkontribusi dalam masyarakat dan dunia kerja. Ini akan menciptakan masyarakat yang lebih berkeadilan dan sejahtera (Victora et al., 2008).
Program pemberian makanan bergizi seimbang kepada ibu hamil dan anak-anak sekolah sangat penting dalam meningkatkan kecerdasan, iman dan takwa, akhlak mulia, serta moral anak-anak.
Program ini juga berperan penting dalam menciptakan SDM yang berintegritas dan profesional, yang akan membawa dampak positif jangka panjang pada kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat.
Tanpa dukungan gizi yang baik, sulit untuk mencapai potensi penuh dalam aspek-aspek spiritual, moral, dan profesional.
Penutup
Sebagai bangsa yang berkomitmen untuk membangun masa depan cerah, kita harus menyadari pentingnya fondasi yang kuat dalam bentuk gizi seimbang, kesejahteraan para guru, dan pendidikan berkualitas.
Program gizi seimbang tidak hanya berkontribusi pada kesehatan fisik, tetapi juga berperan besar dalam membentuk kecerdasan, mental, dan karakter anak-anak kita.
Ketika anak-anak tumbuh dengan gizi yang baik, mereka lebih siap untuk belajar dan berkembang menjadi individu yang berdaya saing, bermoral, dan berintegritas.
Selain itu, kesejahteraan para guru juga merupakan faktor kunci dalam menciptakan pendidikan berkualitas.
Guru yang mendapat penghargaan layak melalui gaji yang sejahtera akan lebih termotivasi dan berdedikasi dalam tugas mulia mereka, yakni membentuk generasi penerus bangsa.
Guru yang sejahtera mampu memberikan pendidikan terbaik yang relevan dengan tantangan zaman, membimbing siswa menjadi pribadi yang cerdas, berkarakter, dan siap berkontribusi secara profesional.
Dengan pendidikan yang inklusif, berkualitas, dan berkeadilan, kita akan menghasilkan SDM unggul yang tidak hanya menguasai keterampilan teknis, tetapi juga memiliki integritas dan profesionalisme tinggi.
Inilah kunci utama menuju Indonesia Emas, di mana setiap warga negaranya mampu berperan aktif dalam membangun bangsa yang maju, sejahtera, dan berkeadilan sosial.
Oleh karena itu, melalui sinergi program gizi seimbang, kesejahteraan guru, dan pendidikan berkualitas, kita bersama-sama dapat mewujudkan cita-cita luhur Indonesia.
Mari kita berkomitmen untuk terus mendukung dan memperjuangkan program-program yang memastikan setiap anak mendapat kesempatan untuk tumbuh dan belajar dengan optimal, serta setiap guru mendapat penghargaan yang setimpal.
Dengan langkah ini, kita akan menciptakan generasi penerus yang siap mengantarkan Indonesia menuju kejayaannya di masa depan—Indonesia Emas 2045.
Daftar Pustaka
Behrman, J. R. (2009). Early Life Nutrition and Subsequent Education, Health, Wage, and Intergenerational Effects. IZA Discussion Paper.
Grantham-McGregor, S., Cheung, Y. B., Cueto, S., Glewwe, P., Richter, L., Strupp, B., & International Child Development Steering Group. (2007). Developmental Potential in the First 5 Years for Children in Developing Countries. The Lancet.
Heckman, J. J. (2006). Skill Formation and the Economics of Investing in Disadvantaged Children. Science.
Hoddinott, J., Alderman, H., Behrman, J. R., Haddad, L., & Horton, S. (2013). The Economic Rationale for Investing in Stunting Reduction. Maternal & Child Nutrition.
King, P. E., & Benson, P. L. (2006). Spiritual Development and Adolescent Well-being and Thriving. Advances in Child Development and Behavior.
Miller, W. R., & Thoresen, C. E. (2003). Spirituality, Religion, and Health: An Emerging Research Field. American Psychologist.
Rahman, A., Iqbal, Z., Roberts, C., & Husain, N. (2009). Cluster Randomized Trial of a Parent-based Intervention to Support Early Development of Children in a Low-income Country. Child: Care, Health and Development.
Bangs, J., & Frost, D. (2012). Teacher Self-Efficacy, Pedagogical Competence and Pupil Outcomes: A Review of the Literature. Cambridge University Press.
Bundy, D. A., Silva, N. D., Horton, S., Jamison, D. T., & Patton, G. C. (2018). Child and Adolescent Health and Development: Realizing the Rights of All Children and Adolescents. The World Bank.
Darling-Hammond, L. (2010). The Flat World and Education: How America’s Commitment to Equity Will Determine Our Future. Teachers College Press.
Day, C. (2004). A Passion for Teaching. Routledge.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the Oppressed. Bloomsbury Publishing.
Hargreaves, A. (2003). Teaching in the Knowledge Society: Education in the Age of Insecurity. Teachers College Press.
Noddings, N. (2013). Education and Democracy in the 21st Century. Teachers College Press.
Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.
UNICEF. (2020). State of the World’s Children Report.