Oleh: Ernestus Holivil
Dosen Administrasi Publik Uiversitas Nusa Cendana Kupang
Pemilihah kepala daerah (Pilkada) 2024 tinggal beberapa bulan lagi. Para calon, mulai dari gubernur hingga wali kota dan bupati, sudah resmi mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk siap bertarung dalam ajang demokrasi ini.
Sejumlah calon mulai bermanufer menggalang dukungan massa melalui berbagai strategi kampanye politik.
Mulai dari penyebaran informasi hingga penggalangan suara, kampanye-kampanye ini dilakukan dengan intensitas yang semakin meningkat.
Harus diakui, pelaksanaan Pilkada di era digital saat ini membawa perubahan signifikan dalam cara kampanye dan mobilisasi massa.
Namun, pada saat sama pula, dibalik potensi peningkatan efisiensi dan keterjangkauan itu, muncul kekhawatiran bahwa algoritma yang digunakan dalam kampanye dapat mendistorsi proses demokrasi.
Manipulasi data, penyebaran informasi yang salah, dan bias algortima menjadi tantangan serius yang mengancam integritas Pilkada.
Dalam konteks ini, penting bagi kita memahami bagaimana algoritma dapat mempengaruhi hasil Pilkada, apakah memperkuat demokrasi atau justru mengarah pada distorsi yang barbahaya.
Era Digital dan Algoritma dalam Pilkada
Dengan semakin berkembangnya teknologi, kampanye politik mengalami digitalisasi yang signifikan.
Algoritma yang mendasari platform media sosial dan mesin pencari kini menjadi alat yang kuat dalam membentuk opini publik.
Calon kepala daerah menggunakan algortima ini untuk menargetkan pemilih dengan konten yang dipersonalisasi, memanfaatkan data besar untuk mengidentifikasi dan mengarahkan pesan kepada segmen-segmen masyarakat yang spesifik.
Iklan kampanye di media sosial misalnya, merupakan algoritma yang memungkinkan calon untuk menjangkau pemilih potensial secara efisien dan efektif
Namun, algortima tidak selalu netral.
Algortima dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan, yang seringkali menyoroti konten yang kontroversial atau emosional.
Dalam konteks Pilkada, ini bisa berarti bahwa informasi yang tidak akurat atau bias lebih mudah tersebar luas, mempengaruhi keputusan pemilih secara tidak adil.
Sebagai contoh, menjelang Pemilu 2023, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengidentifikasi total 101 isu hoaks yang beredar mengenai Pemilu. Data tersebut meningkat 10 kali lipat dari tahun 2022 yang hanya terdapat 10 isu hoaks Pemilu (Kominfo.co.id., 2023).
Berita-berita tersebut banyak beredar di media sosial karena algoritma yang memprioritaskan konten yang menarik perhatian, tidak peduli apakah informasi tersebut akurat atau tidak.
Salah satu ancaman terbesar dari penggunaan algortima dalam Pilkada adalah potensi memanipulasi data dan penyebaran disinformasi.
Data pribadi pemilih sering digunakan untuk menargetkan iklan yang mempromosikan narasi tertentu yang menguntunkan calon tertentu.
Penyalahgunaan data ini kemudian menciptakan ilusi popularitas atau dukungan yang sebenarnya tidak ada, serta meminggirkan kandidat lain yang mungkin lebih layak.
Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh George Orwell, “Siapa yang mengendalikan informasi, mengendalikan pikiran.”
Artinya, Manipulasi informasi melalui algoritma yang mengatur arus berita di media sosial dapat mempengaruhi presepsi publik dengan cara yang halus namun berbahaya.
Informasi yang tidak akurat bisa secara serentak mempengaruhi persepsi publik secara tidak adil.
Akibatnya, disinformasi yang disebarkan melalui algortima ini bisa mengikis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Ketika pemilih terus menerus terpapar informasi yang salah atau bias, mereka mungkin membuat keputusan berdasarkan fakta yang tidak benar, yang akhirnya merusak hasil Pilkada.
Dalam situasi ini, teknologi yang seharusnya membantu memperkuat demokrasi justru dapat menimbulkan distorsi yang yang merugikan.
Bias Algortima dan Keadilan dalam Pilkada
Algoritma juga dapat membawa bias yang tidak diinginkan. Bias ini mungkin muncul dari data yang digunakan untuk melatih algortima, yang mungkin mencerminkan preferensi tertentu berdasarkan faktor-faktor seperti jenis kelamin, etnis, atau logika geografis.
Dalam konteks Pilkada, bias algortima ini dapat menghasilkan ketidakadilan dalam distribusi informasi, di mana kandidat dari latar belakang tertentu mungkin mendapat liputan yang lebih banyak atau lebih sedikit.
Biasanya, kandidat dengan latar belakang tertentu, seperti yang memiliki dukungan partai besar, seringkali mendapatkan banyak eksposur di media sosial.
Seperti yang dikatakan oleh Lord Acton, “Semua kekuasaan merusak; kekuasaan absolut merusak secara absolut.”
Algortima yang tidak diatur dengan baik dapat memprioritaskan konten dari kandidat tertentu, dan konsekuensinya bisa menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan dalam Pilkada.
Ketidakadilan ini tidak hanya mempengaruhi persepsi publik, tetapi juga dapat mempengaruhi hasil Pilkada secara langsung.
Misalnya, jika algoritma lebih cenderung menampilkan konten dari kandidat yang lebih popular atau kontroversial, maka calon yang kurang dikenal atau lebih moderat mungkin kehilangan kesempatan untuk menjangkau pemilih.
Ini bisa mengarah pada hasil yang tidak mencerminkan kehendak rakyat secara keseluruhan, melainkan hanya cerminan dari preferensi algoritma.
Penguatan Regulasi dan Literasi Ditigal
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan regulasi yang seimbang. John Locke mengingatkan bahwa “kebebasan tanpa regulasi adalah anarki; regulasi tanpa kebebasan adalah tirani”.
Penggunaan teknologi dalam kampanye politik harus diimbangi dengan regulasi yang ketat untuk memastikan bahwa proses demokrasi tetap transparan dan adil.
Sebagai contoh, beberapa negara, seperti Uni Eropa dengan Regulasi Perlindungan Data Umum (GDPR), telah mengambil langkah untuk mengatur penggunaan data pribadi dalam kampanye politik.
Hal ini penting dilakukan agar publik dapat memahami bagaimana informasi yang mereka terima diatur dan diprioritaskan
Untuk menyeimbangi regulasi yang ketat itu, penguatan literasi digital juga memainkan peran penting.
Literasi digital bukan hanya tentang kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga tentang bagaimana memahami cara kerja algoritma, bagaimana data pribadi digunakan, dan bagaimana informasi dapat dimanipulasi.
Di Finlandia misalnya, pendidikan media dan literasi digital telah diperkenalkan ke dalam kurikulum sekolah untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menilai informasi secara kritis.
Dengan literasi yang kuat, masyarakat akan lebih mampu mengidentifikasi disinformasi dan resistensi terhadap manipulasi data, sehingga mereka dapat membuat keputusan politik yang lebih baik.
Di satu sisi, kita memanfaatkan tekonologi untuk memperkuat demokrasi, tetapi di sisi lain, kita juga harus waspada terhadap potensi penyalahgunaan.
Terakhir, penting untuk diingat bahwa “teknologi tidak baik atau buruk; juga bukan netral,” seperti yang dikatakan oleh Melvin Kranzberg.
Teknolgi, termasuk algoritma, memiliki potensi untuk memperkuat atau mendistorsi demorkasi, tergantung pada bagaimana dan oleh siapa mereka digunakan.
Oleh karena itu, sangat penting untuk terus mengawasi penggunaan teknologi ini dalam konteks Pilkada, guna memastikan bahwa demokrasi kita tidak tergelincir menjadi distrosi yang berbahaya.