Oleh: Dino Kese
Mahasiswa IFTK Ledalero
Perkembangan informasi dan teknologi terus melanda dalam kehidupan manusia. Manusia yang hidup di era ini mendapatkan pelbagai banyak informasi, baik dikancah nasional maupun internasional.
Informasi tersebut didapatkan dari beragam media digital. Media-media digital memberikan sumbangsi besar bagi para penggunanya, jika digunakan dengan baik dan bijak.
Hal ini akan menjadi pelajaran bagi manusia yang hidup di era digital ini (homo deus). Di mana manusia digital telah menjadi semakin popular dan sering dibahas dalam arus utama media berita selama tiga hingga lima tahun terakhir.
“Hal ini terjadi ketika revolusi industri keempat (4.0) menyatukan dunia fisik dengan virtual atau digital, pengguna teknologi akan mencari pengalaman yang nyata bahkan saat berselancar di jagat digital” (Melki Deni, 2022).
Salah satu dari sekian banyaknya alat digital ialah handphone. Dekinus Kagoya mendefinisikan handphone sebagai sebuah perangkat telekomunikasi elektronik yang mempunyai kemampuan dasar yang sama dengan telepon kabel, sehingga konvensional namun dapat dibawa ke mana-mana (portable) dan tidak perlu disambungkan dengan jaringan telepon menggunakan kabel (nirkabel, wireless).
Keunggulan inilah yang mengakibatkan banyak orang memiliki handphone, baik dari mereka yang berstatus anak-anak hingga mereka yang berlansia.
Nyatanya, kehadiran handphone di era modernitas mendatangkan banyak pengaruh buruk bagi para pengguna. Salah satu dampak yang amat aktual dan layak diperbincangkan ialah minimnya perkembangan iman kaum muda Katolik dalam keterlibatan kegiatan Gereja.
Aksi tersebut menimbulkan perasaan memprihatinkan pada diri penulis. Ketika penulis menilik di kehidupan sebenarnya, banyak kaum muda Katolik lebih memilih untuk mendekatkan diri dengan handphone ketimbang mengedepankan momen-momen bersama Allah.
Lantas, apa pengaruh handphone terhadap perkembangan iman kaum muda katolik dalam aktivitas Gereja?
Iman Katolik telah menjadi fondasi hidup bagi ribuan kaum muda Katolik.
Iman Katolik juga memberi wejangan tentang aspek-aspek moral, perdamaian, dan pengabdian kepada Tuhan. Aspek-aspek tersebut didapatkan melalui doa-doa, penerimaan sakramen, serta kegiatan spiritual lainnya.
Perkembangan aspek-aspek tersebut bukan hanya sebatas penerimaan saja, tetapi juga diaktualisasikan dalam realitas kehidupan. Karena, iman dan perbuatan, keduanya penting. Dan iman tanpa perbuatan pada hakikatnya mati (fides sine operibus mortua est) (Yak. 2:26).
Esensi dasarnya bahwa manusia mesti bersikap peduli kepada semua makhluk ciptaan (human being) dan mengembangkan perasaan bertanggung jawab terhadap dunia yang sedang berkembang pesat.
Namun halnya berbanding terbalik dengan realita. Di mana sebagian kaum muda Katolik, memproduksi sikap acuh tak acuh dengan sesama ciptaannya.
Tragedi ini menggambarkan tantangan baru bagi kaum muda Katolik dalam mempertahan dan mengembangkan keyakinan serta nilai-nilai spiritual di tengah arus informasi yang terus menerus.
Perkembangan iman kaum muda Katolik yang hidup di era modernitas amatlah berbeda jika dibandingkan dengan kaum muda Katolik sebelumnya. Orang Muda Katolik (OMK) sebelumnya begitu aktif dan kreatif ketimbang OMK yang bereksis di dunia dewasa ini.
Hal ini dapat dibenarkan, ketika melihat peran OMK dewasa ini, di mana mereka jarang (tidak) aktif dalam pelbagai aktivitas Gereja. Di antaranya, tidak mengikuti kegiatan-kegiatan katakese, doa bersama, paduan suara, dan perayaan misa. Hemat penulis, yang menjadi aspek pengganggunya ialah handphone.
Handphone telah melekat pada diri mereka. Akibatnya, banyak kaum muda Katolik mencari handphone kapan dan di mana pun itu. Sebagai contohnya, mereka masih menggunakan handphone di tempat tidur dan menjadi hal utama yang dicari setelah tidur.
Aksi inilah yang mengakibatkan muncul pelbagai keinginan buruk. Mengakses situs-situs yang memengaruhi perkembangan iman misalnya.
Menurut halnya, kaum muda adalah penentu perkembangan iman atau Gereja Katolik di masa yang akan datang.
Ketika penulis menilik realita yang sebenarnya, penulis menemukan dan melihat secara langsung kerapkali sebagian kaum muda Katolik tidak dapat melepaskan diri dari handphone saat perayaan Ekaristi atau ibadah, dan akivitas-aktivitas gereja lainnya.
Ini berarti handphone dapat diibaratkan sebagai cocain yang membuat para penggunannya (kaum muda Katolik) candu (ketagihan).
Wajarlah jika handphone memberi banyak pengaruh buruk bagi kalangan muda. Berikut penulis akan menggambarkan pengaruh negatif handphone terhadap perkembangan iman kaum muda Katolik dalam keterlibatan kegiatan Gereja.
Pertama, kritis identitas dan iman. Kaum muda yang telah terpapar oleh pelbagai teori dan gaya hidup yang kontra dengan doktrin Gereja dapat mengalami krisis identitas dan iman.
Kaum muda juga mungkin meragukan doktrin-doktrin Gereja atau bahkan meragukan eksistensi Allah.
Kedua, eksposur ke nilai-nilai sekuler. Tahu bahwa, internet dan media sosial dipenuhi dengan konten yang acapkali kontra dengan nilai-nilai Gereja, semisalnya materialisme, hedonisme, atau perspektif liberal yang tidak sejalan dengan ajaran Gereja sehingga merasa terasing dari relasi-relasi yang konkret dan tidak bersikap manusiawi.
Atau aspek yang banyak kali terjadi di kalangan muda Katolik dewasa ini ialah menggunakan handphone untuk menyebar aksi-aksi kurang terpuji yang menjadikan Gereja sebagai media perantara.
Di antaranya, pengiriman, dan penerimaan pesan seksual, foto atau gambar melalui ponsel, menyebarkan hoaks dan pelecehan atau bully sesama agama.
Ketiga, komunitas Gereja yang lemah. Keterlibatan dengan handphone mampu mengurangi interaksi secara langsung sesama anggota Gereja.
Menurut halnya, relasi yang kuat dan sehat dalam komunitas Gereja begitu penting untuk membangun iman dan solidaritas antarjemaat.
Keempat, perhatian terganggu. Di sini kaum muda merasa terganggu ketika merayakan Ekaristi (kegiatan lainnya) karena terus memikir hanphone.
Mereka mungkin tergiur oleh media sosial, menunggu pesan teks, atau aplikasi lainnya, sehingga tidak fokus mengikuti perayaan Ekaristi.
Kelima, minimnya rasa khusuk. Kehadiran fisik tanpa kehadiran mental bisa menurunkan nilai kerendahan hati dan ketenangan yang semestinya dirasakan ketika berdoa.
Keenam, rendahnya nilai spiritual. Menyerahkan diri terus menerus dengan handphone menyebabkan minimnya waktu untuk merefleksi dan berdoa, sehingga kualitas spiritual kaum muda sangat rendah.
Aspek terakhir ini berpengaruh, bagaimana mereka mengetahui dan mengaktualisasikan doktrin-doktrin Gereja dalam realitas kehidupan.
Di dunia digital ini, iman Katolik mengalami peroposan yang mengerikan. Banyak kalangan muda yang minim akan makna iman.
Waktu lebih banyak digunakan untuk bermain handphone ketimbang mendekatkan diri dengan Allah Bapa. Padahal, beriman itu penting dalam kehidupan.
Karena dengan beriman kita bisa bijaksana, rendah hati, dan terbuka dalam hidup. Sejatinya, beriman adalah cara seseorang (umat Allah) untuk mendekatkan diri lebih dalam dengan Allah.
Seandainya, penggunaan handphone dapat diimbangi dengan iman yang kuat, tentu beragam godaan dan tantangan serta pikiran keliru tidak akan terarahkan.
Oleh karena itu, amatlah urgen umat Katolik, kalangan muda khususnya untuk menyeimbangi waktu antara dunia iman dan digital.