Oleh: Eustakius Kerbiyono Dagur
Alumni Seminari Kisol
Dunia terus-menerus mengalami perubahan. Salah satu yang menandakan perubahan tersebut adalah kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek).
Pola pikir yang memadai dan teknologi canggih amat membantu kita untuk memperbaiki kondisi dan kualitas hidup.
Lebih jauh, kian hari kita semakin gencar untuk mengimplementasikan ide dan gagasan.
Meskipun tidak semua dari kita melakukan itu, tapi yang pasti hasilnya dinikmati oleh hampir semua manusia.
Dan sebuah hasil yang amat menggemparkan singgasana kehidupan, tidak lain adalah internet.
Berbicara mengenai internet sudah barang tentu lazim bagi kita manusia abad 21.
Bahwasanya kita sendiri sudah berselancar dalam arena tersebut, bahkan internet membantu kita untuk memperluas wawasan sekaligus ruang lingkup pilihan.
Pengembangan intelektual dan pemanfaatan peluang pun kita dekap melalui internet.
Itu berarti kehadiran internet sebagai mahakarya manusia tidak diragukan lagi akan bantuan dan pengaruhnya.
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa internet juga mendorong kita untuk melakukan sesuatu yang tidak bernilai positif.
Untuk lebih dalam memahami internet, kita perlu beranjak ke pemahaman tentang media sosial.
Media sosial merupakan salah satu pengembangan dari internet.
Sarana tersebut dapat dipahami sebagai sebuah platform digital yang menyediakan ruang, tempat serta fasilitas bagi para penggunanya guna melakukan aktivitas sosial.
Aktivitas sosial yang dimaksud mencakup di dalamnya berkomunikasi, berinteraksi, berelasi, membuat konten (berisi tulisan, berita, video, foto, dll), mencari informasi, dan banyak aktivitas lainnya yang tak bisa disebutkan satu persatu.
Senada juga, media sosial dipahami sebagai tempat atau alat untuk bersosialisasi secara daring (Rohani; 49).
Dengan media sosial para penggunanya dapat berinteraksi dan berkomunikasi secara online dengan siapa pun, bebas mengekspresikan diri serta tanpa tekanan untuk mengabadikan momen.
Karena keberadaannya yang berperan ganda atau biasa disebut multifungsi, banyak orang yang kemudian memanfaatkan kesempatan atau peluang untuk berselancar di media sosial.
Kesempatan tersebut tidak dibatasi waktu apalagi ruang gerak. Setiap orang berkesempatan untuk eksis di media sosial.
Media sosial dan Realitas Pewartaan Digital
Sama seperti orang lain, kita umat kristiani (umat Allah, pemuda/i, imam, biarawan/i) pun tidak menutup diri terhadap kehadiran media sosial.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh Paus Fransiskus dalam pesan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-48 bahwa, kita tidak boleh segan menjadi warga dunia digital.
Amatlah penting dan berguna perhatian serta kehadiran Gereja dalam dunia komunikasi guna berdialog dengan manusia masa kini dan mengantar mereka berjumpa dengan Kristus (Rohani;41).
Kita mesti beranjak menuju dunia digital dengan membawa serta ide atau gagasan injili. Kemudian semaksimal mungkin untuk mendekatkan manusia masa kini dengan Gereja.
Dalam penjelasan lebih lanjut, Paus Fransiskus juga mengatakan bahwa, teknologi dan dunia Maya menjadi sarana yang baik untuk meningkatkan komunikasi, kerja sama dan solidaritas antarbangsa di seluruh dunia.
Teknologi diterima kehadirannya, terlebih karena bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bersama.
Namun, Bapa Suci juga menekankan bahwa penggunaan teknologi dan dunia maya perlu dilakukan dengan bijak dan bertanggung jawab.
Demikian kita mesti memaknai kehadiran teknologi sembari selalu waspada terhadap tantangan yang akan datang (Rohani; 40).
Sarana yang ada dan melintas di depan mata kita ini patut digunakan untuk sesuatu yang berguna.
Sebut saja yang identik, yaitu untuk mewartakan kebaikan dengan menebar nasihat injili, pengalaman iman, serta segala yang berkaitan dengan kehidupan rohani.
Tugas demikian perlu kita teruskan, meski realitas dunia selalu berubah-ubah setiap saat.
Sebagai sarana pewartaan, media sosial mempunyai peran penting dalam menyebarluaskan pengajaran iman.
Media sosial mesti dipakai dengan tepat untuk meyakinkan umat akan karya pewartaan yang kita lakukan.
Di mana dengan adanya media sosial diharapkan karya pewartaan menjadi lebih lengkap daripada pewartaan konvensional.
Dengan begitu segala yang belum jelas dapat diperjelas dengan baik pun benar serta dimengerti secara lebih mendalam.
Selain itu, pewartaan injili melalui media sosial mesti menawarkan topik-topik pengajaran iman yang menyentuh setiap orang, sehingga iman dan kepercayaan tidak stagnan tetapi mengalir dan kuat selalu.
Topik-topik pengajaran iman yang dimaksud mesti dijabarkan dengan metode atau cara yang menarik.
Sebagai contoh dengan memberikan quotes, foto atau video tentang orang-orang Kudus serta spiritualitas yang mereka miliki, atau pun dengan menciptakan ruang diskusi yang berbicara mengenai kitab suci, ajaran-ajaran Gereja, dan lain sebagainya.
Atau bisa juga dengan menampilkan renungan-renungan singkat, seperti yang tengah dijalankan oleh para frater dan bruder Novisiat SVD Nenuk.
Di mana, melalui aplikasi YouTube, Facebook, dan Instagram, mereka mencoba menyuguhkan pesan-pesan injili kepada umat kristiani sekalian.
Kita mesti memanfaatkan kesempatan manakala menggunakan media sosial untuk karya pewartaan injili.
Namun, tidak sedikit orang juga memaknai dengan sungguh tentang karya pewartaan melalui media sosial.
Banyak orang terjerembab pada kenyamanan akan realitas yang tercipta dalam dunia Maya. Akan hal itu, tidak heran kalau banyak persoalan dan problem yang menyusul.
Problematika Tugas Pewartaan melalui Media Sosial
Realitas pewartaan digital tak terbendung lagi. Begitu banyak karya pewartaan yang diupdate tak terjangkau dalam hitungan detik.
Tapi sayangnya, di tengah gencarnya karya pewartaan tersebut, ada orang-orang yang begitu terikat dengan media sosial.
Keterikatan dan ketergantungan pada sarana digital tersebut ternyata membuahkan beragam motif persoalan.
Mulai dari kecanduan, kecemasan jika tidak online, hingga bersikap radikal terhadap ajaran dari kelompok tertentu.
Pertama, kecanduan. Manakala kita mengonsumsi narkoba dan tidak ada batasan dalam mengonsumsinya, tentu kecanduan akan menyusul.
Sama halnya dengan menggunakan media sosial (semisal gawai).
Apabila tidak dibatasi dalam penggunaannya, akan timbul kecanduan yang sungguh-sungguh candu. Ini menjadi sebuah problem lantaran kita yang semula menjadikan media sosial sebagai sarana untuk membantu dalam karya pewartaan ternyata berujung pada keterikatan dan ketergantungan.
Padahal sejatinya media sosial hanya sebagai sarana pembantu, bukan di atau dari sana kita hidup.
Media sosial hanya sebatas sarana atau alat untuk berkomunikasi, berinteraksi dan berelasi tanpa harus berjumpa atau bertatapan muka secara langsung.
Jangan hanya karena media sosial, akhirnya kita menutup dan mengisolasi diri dari kehidupan bersama. Toh, karya pewartaan yang kita lakukan melalui media sosial akan terasa hampa, bahkan sia-sia.
Kedua, kecemasan jika tidak online. Istilah kecemasan menggambarkan perasaan yang dialami oleh orang-orang yang sangat bergantung pada media sosial.
Saking terikatnya dengan media sosial, sampai-sampai ketika sejenak ia melepaskan gawai akan timbul kekhawatiran yang sungguh akut.
Ambil misal, Si Bento mempunyai HP. Di dalamnya tersimpan begitu banyak hal menarik, sebut saja video quotes, tulisan yang berisi kata-kata mutiara, foto seorang tiktokers cantik yang aduhai tekstur tubuhnya dan lain sebagainya.
Ketika ia melepaskan HP tersebut dari genggamannya, dengan sendirinya muncul perasaan cemas. Lebih-lebih cemas atau takut ketika ada yang membukanya.
Itu semua terjadi karena tingkat ketergantungannya dengan HP sungguh terikat. Atau pemisalan yang lain, ketika saya mengunggah video renungan singkat di YouTube besar harapan supaya banyak yang nonton.
Namun, kenyataan dari realitas maya tersebut tidak sesuai harapan. Hal ini juga menimbulkan kecemasan yaitu, ketika harapan tidak memihak.
Ketiga, radikalisme terhadap kelompok tertentu. Hemat saya, sikap radikal dalam tugas pewartaan juga acap terjadi.
Tidak sedikit orang yang dalam karya pewartaannya berintensi untuk membandingkan ajaran dari agama yang dianut.
Akibatnya, orang lain yang melihat atau mendengar itu merasa tersinggung dan perlahan-lahan terjerumus dalam konflik.
Persoalan-persoalan di atas setidaknya mewakili tiga dari sekian banyaknya persoalan yang terjadi dalam tugas pewartaan.
Masih banyak persoalan dalam karya pewartaan yang tidak dan belum tertangkap mata, terdengar telinga.
Solusi atas Permasalahan
Menanggapi berbagai tantangan dan persoalan dalam karya pewartaan bukanlah sesuatu yang mudah.
Diperlukan komitmen dari masing-masing pengguna media sosial untuk memerangi segala kemungkinan terburuk manakala terlalu mendekatkan diri dengan sarana digital tersebut.
Tidak sampai di situ, upaya memperluas jangkauan relasi juga mesti dibarengi dengan batasan-batasan tertentu.
Jangan sampai, karena terlena dengan media sosial, orang lain pun diabaikan. Kita tidak boleh memegang prinsip (mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat).
Toh, tanpa media sosial pun kita bisa berelasi dan mewartakan kabar injili.
Senada juga, dalam menyinyalir persoalan tersebut, hemat saya kita mesti mempunyai fondasi spiritual yang kuat (sadar diri), pengetahuan yang cakap, langkah pewartaan yang semaksimal mungkin tidak menimbulkan persoalan serta keterbukaan yang mempunyai batasan tertentu.
Kita mesti sadar bahwa kehadiran media sosial tidak dapat menggantikan kehadiran fisik dan kontak personal antarpribadi, terutama dalam konteks menggereja.
Dunia Maya tidak bisa menggantikan nilai-nilai dan pengalaman hidup yang sudah lama terpatri dalam diri gereja itu sendiri.
Untuk itu, amatlah penting dalam membendung segala persoalan yang tercipta karena ketergantungan pada sarana digital tersebut.
Penutup
Perubahan dan kemajuan terus-menerus terjadi dalam kehidupan, tak terkecuali dalam Gereja. Ada begitu banyak hal berubah, termasuk pola pikir itu sendiri.
Orang berlomba-lomba untuk mencapai pada taraf hidup yang mapan sembari tidak melupakan kehadiran dan pengaruh teknologi mutakhir.
Sementara Gereja sendiri memanfaatkan kesempatan dan peluang untuk menjalankan tugas pewartaan dengan menjadikan media sosial sebagai sarana atau wadah berbagi.
Dalam prosesnya, media sosial kemudian menjadi suatu realitas pewartaan digital yang intensif. Beragam motif suguhan dimuat dalam media sosial.
Ada tulisan, video renungan, quotes, gambar orang Kudus, dan banyak lainnya pun dimuat dalam karya pewartaan di media sosial.
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa ada juga persoalan-persoalan yang tercipta dalam karya pewartaan.
Persoalan-persoalan tersebut terjadi lantaran adanya ketergantungan dan keterikatan pada media sosial itu sendiri.
Dengan demikian, sebagai umat kristiani kita perlu membendung segala persoalan yang terjadi dalam karya pewartaan melalui media sosial, sembari mempersiapkan cara atau metode untuk menangkis segala kemungkinan-kemungkinan buruk. Kita mesti berjuang untuk menciptakan kemaslahatan bersama.