Oleh: Yohanes Mau
Pendidik di SMA Katolik St. Josef Freinademetz- Tambolaka, Sumba Barat Daya
Tahun 2024 masyarakat Indonesia melaksanakan pesta demokrasi sebanyak dua kali. Pertama, ada pemilihan presiden dan wakil presiden dan anggota legislatif pada tanggal 14 Februari lalu.
Pesta demokrasi yang kedua adalah pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di seluruh Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 tahun 2024 tentang tahapan dan jadwal pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota tahun 2024 akan dilaksanakan pada Rabu, 27 November 2024.
Para calon gubernur- wakil gubernur, bupati- wakil bupati, dan wali kota- wakil wali kota sedang mempromosikan wajah di tempat-tempat publik.
Bahkan pohon-pohon di pinggir jalan pun dijadikan sebagai tempat untuk pajang muka. Ya maklumlah, para kandidat politik zaman ini muka tebal alias tidak tahu malu.
Datang secara musiman dan mengemis suara rakyat dengan aneka cara yang tidak etis. Sebelum tanggal 27 November ini para kandidiat musiman sedang melakukan kunjungan dari kampung ke kampung dan merayu rakyat kecil dengan aneka tawaran program kerja yang menggiurkan, memberikan bantuan tunai berupa nasi bungkus, kaos partai, sembako, dan amplop apa adanya.
Memberikan janji-janji manis kepada rakyat kecil menjelang pesta demokrasi tanpa realisasi secara nyata disebut penipuan publik secara musiman.
Jika masyarakat yang mengerti tentang demokrasi pasti tidak akan memilih figur murahan seperti itu.
Saya secara pribadi merasa sedih menyaksikan para kandidat yang mengemis suara rakyat dari desa ke desa dan dari kota ke kota.
Mereka adalah figur- figur cemas akan eksistensi diri dan masa depannya. Mereka adalah figur yang tidak yakin dengan kualitas dan kinerjanya selama ini. Lantas untuk apa menawarkan diri kepada publik untuk menjadi pemimpin rakyat?
Tawaran kandidat musiman hanyalah menambah barisan manusia tidak berkualitas di negeri ini yang kelak akan menduduki tampuk pemerintahan.
Mestinya para elite politik sungguh-sungguh sadar akan eksistensi diri sebagai perwakilan rakyat yang bisa menolong rakyat untuk mengalami kehidupan yang sejahtera.
Elite politik yang berkualitas adalah dia yang datang untuk mengabdikan seluruh totalitas dirinya demi kesejahteraan rakyat.
Artinya dia tidak muncul hanya menjelang pilkada tetapi muncul di setiap suka duka, bahagia dan gembira yang dialami masyarakat kecil.
Kandidat yang berkualitas adalah dia yang mampu masuk dalam setiap kebekuan hidup masyarakat dan mencair di dalamnya secara hari ini.
Abraham Lincoln menyuguhkan kepada kita hakikat demokrasi yang sesungguhnya, demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Jika para elite politik sungguh memahami arti terdalam dari demokrasi ini maka ia total mendedikasikan seluruh hidupnya demi rakyat kecil.
Figur demikian sungguh menyadari akan panggilannya sebagai suara rakyat yang selama ini redup oleh aneka macam penindasan karena gagal paham dan minus nalar.
Pilkada tahun 2024 sudah di ambang pintu. Ruang- ruang publik ramai membincang wacana tentang figur mana yang layak dan tidak.
Semua mengandalkan jagoannya masing-masing dengan mempromosikan berbagai macam prestasi, kinerja dan rekam jejak masa lalu.
Para Cagub- Cawagub, dan Cabup- Cawabup, dan calon Wali kota- wakil Wali kota di Indonesias sedang gencar menjangkau masyarakat dan memasarkan wajah mereka kepada rakyat kecil yang selama ini hidup merana karena gagal dan luput dari perhataian para elite politik sialan yang sebelumnya juga pernah berjanji untuk mensehjaterakan kaum jelata.
Sayangnya janji itu tak terealisasi secara baik. Entahlah ke mana. Mungkinkah hanyut bersama musim dan waktu yang berotasi tanpa kompromi?
Tanyakan saja kepada para pemimpin daerahmu yang pernah berjanji dan sedang berjanji lagi hari- hari ini ke depan.
Tentang politik, Khalil Gibran sastrawan termasyur dari negeri Libanon menulisnya seperti ini, “Ketika anda menggapai jantung kehidupan, anda akan menemukan kecantikan dalam segala hal, bahkan pada mata yang buta akan keindahan.”
Pesan terpenting dari Gibran tentang demokrasi adalah cinta. Memberikan diri kepada rakyat atas nama cinta dan menjadi cinta kepada rakyat agar tercapai segala rindu akan jantung hati yang didekorasi dengan kecantikan-kecantikan lahiriah dan batiniah. Selanjutnya jangan lupa masyarakat kecil dan jaminan kesejahteraannya.
Akankah ada Cagub- Cawagub, Cabup- Cawabup, wali kota dan wakil wali kota yang kelak menjadi jantung kehidupan bagi rakyat kecil yang selama ini mengeluh tanpa henti?
Sekarang adalah saatnya kita untuk melihat dan merasakan figur siapakah yang ada hati untuk mengalirkan cinta kepada publik secara adil.
Pemimpin yang lahir dari fair election adalah dia memiliki totalitas diri untuk memberikan cinta sampai setuntas-tuntasnya kepada rakyat tanpa mengkalkulasikan untung dan rugi.
Sedangkan pemimpin yang lahir dari sogok amplop, kaus partai dan nasi bungkus adalah pemimpin yang sedang melitanikan derita panjang rakyat kecil. Artinya mereka hadir untuk menjadi pengais rejeki tanpa peduli banyak akan kesejahtreaan rakyatnya dengan baik.
Saya kira tentang Pilkada ini rakyat kecil sudah memiliki banyak pengalaman tertipu oleh elite politik musiman. Setelah terpilih menjadi gubernur, bupati, dan wali kota selanjutnya say good bye kepada rakyat kecil.
Segala janji dengan aneka programnya yang melangit tak membumi tapi terselip di bawah laci meja kerja hingga masa jabatan selesai.
Masyarakat NTT dan Indonesia pada umumnya kini sedang menyiapkan diri untuk memilih gubernur, bupati dan wali kotanya.
Harapan saya, semoga anda tidak tertipu untuk kesekian kalinya oleh elite politik musiman.
Selamat menyiapkan diri menjelang pesta demokrasi ya. Berilah suaramu dengan baik agar tidak menyesal di hari esok.