Oleh: Oliva Yastri Jelita
Mahasiswi STIPAS St. Sirilus Ruteng
Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia pada abad ke-21. Dikutip dri situs web Perserikatan Bangsa-Bangsa, perubahan iklim merujuk pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca.
Perubahan ini bisa terjadi secara alami, seperti yang terlihat dalam variasi siklus matahari. Namun, sejak abad ke-19, aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim, terutama melalui pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas.
Proses pembakaran ini menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berfungsi seperti selimut yang membungkus bumi, menjebak panas matahari dan menyebabkan peningkatan suhu. Hal ini menyebabkan berbagai risiko, termasuk suhu yang lebih panas yang memicu lebih banyak kasus penyakit dan kebakaran hutan.
Badai semakin parah, curah hujan ekstrem meningkat, dan risiko kekeringan bertambah, sehingga memengaruhi pasokan air dan lahan pertanian. Selain itu, lautan memanas, es mencair, dan permukaan laut naik, yang mengancam komunitas pesisir dan kehidupan laut.
Perubahan iklim juga menyebabkan kepunahan spesies, krisis pangan, peningkatan masalah kesehatan, serta kemiskinan dan pemindahan paksa.
Melihat dampak yang semakin nyata di seluruh dunia, perubahan iklim menuntut tanggapan global yang komprehensif.
Salah satu suara yang menonjol dalam isu ini adalah Paus Fransiskus, yang melalui ensiklik Laudato Si’ memberikan pandangan Gereja Katolik tentang hubungan antara lingkungan hidup dan iman.
Laudato Si’ tidak hanya menjadi refleksi teologis, tetapi juga panggilan moral bagi umat Katolik dan seluruh umat manusia untuk bertindak dalam menjaga bumi, “rumah kita bersama” (LS, 13).
Tinjauan Singkat Laudato Si’
Laudato Si’, yang diterbitkan pada 24 Mei 2015, adalah ensiklik kedua Paus Fransiskus dan berfokus sepenuhnya pada masalah lingkungan.
Judul dokumen ini diambil dari ungkapan dalam Kidung Saudara Matahari karya Santo Fransiskus dari Asisi.
Dokumen ini mengajak umat manusia untuk memperbarui hubungan mereka dengan alam, bukan sebagai penguasa yang mengeksploitasi, tetapi sebagai pelindung yang bertanggung jawab (LS, 67).
Dalam ensiklik ini, Paus Fransiskus mengakui realitas ilmiah perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama melalui emisi gas rumah kaca.
Beliau menekankan bahwa dampak dari perubahan iklim sangat besar, terutama bagi mereka yang miskin dan rentan, yang paling sedikit berkontribusi terhadap masalah ini tetapi paling menderita akibatnya (LS, 25).
Panggilan untuk Ekologi Integral
Salah satu gagasan utama yang sanagt penting dalam Laudato Si’ adalah konsep “ekologi integral.” Paus Fransiskus menekankan bahwa segala sesuatu di dunia ini saling terhubung, baik itu lingkungan, ekonomi, politik, maupun budaya (LS, 138).
Dengan demikian, krisis ekologi yang kita hadapi bukanlah masalah terpisah dari krisis kemanusiaan lainnya, melainkan merupakan bagian dari tantangan yang lebih besar yang melibatkan hubungan manusia dengan alam dan sesama (LS, 137).
Ekologi integral memandang bahwa manusia tidak bisa memisahkan lingkungan hidup dari isu-isu sosial dan ekonomi. Kebijakan lingkungan yang efektif harus mencakup dimensidimensi ini untuk memastikan bahwa upaya konservasi tidak menambah penderitaan bagi mereka yang sudah hidup dalam kemiskinan (LS, 49).
Laudato Si’ mengajak setiap individu dan bangsa untuk mengambil tanggung jawab bersama dalam melindungi lingkungan, seraya mengatasi ketidakadilan sosial yang ada.
Krisis Lingkungan sebagai Masalah Moral dan Spiritual
Dalam Laudato Si’, Paus Fransiskus menekankan bahwa krisis lingkungan bukan hanya masalah ilmiah atau teknis, melainkan juga masalah moral dan spiritual (LS, 119).
Kerusakan yang kita lihat di dunia saat ini, menurutnya, mencerminkan krisis yang lebih mendalam dalam hati manusia. Konsumerisme yang tak terkendali, keserakahan, dan sikap eksploitasi terhadap alam dipandang sebagai gejala dari hilangnya rasa hormat terhadap penciptaan Tuhan (LS, 204).
Paus mengajak umat beriman untuk mengadopsi sikap “pertobatan ekologis,” di mana setiap orang dipanggil untuk berubah dari cara hidup yang merusak lingkungan menuju cara hidup yang lebih berkelanjutan dan penuh kasih terhadap alam (LS, 217).
Hal ini melibatkan tidak hanya perubahan dalam gaya hidup pribadi, seperti mengurangi konsumsi dan limbah, tetapi juga upaya kolektif untuk menekan pemerintah dan perusahaan agar mengambil langkah -langkah yang lebih besar dalam melindungi lingkungan (LS, 179).
Peran Pendidikan dan Tindakan Konkret
Salah satu pesan kuat dalam Laudato Si’ adalah pentingnya pendidikan dalam membangun kesadaran ekologis. Paus Fransiskus menekankan bahwa pendidikan harus memainkan peran sentral dalam membantu orang memahami keterkaitan antara pilihan hidup mereka dan dampaknya terhadap lingkungan (LS, 209).
Pendidikan ekologis ini diharapkan tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah, tetapi juga di rumah tangga, komunitas, dan Gereja. Di samping pendidikan, tindakan konkret juga ditekankan dalam dokumen ini.
PausFransiskus menyerukan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, mengembangkan energi terbarukan, mendukung ekonomi sirkular yang meminimalkan limbah, serta melestarikan keanekaragaman hayati (LS, 165).
Umat Katolik, khususnya, didorong untuk berpartisipasi aktif dalam gerakan-gerakan lingkungan dan mengambil bagian dalam usahausaha yang mendukung keberlanjutan ekologis (LS, 180).
Gereja sebagai Pelaku Perubahan
Sebagai institusi global dengan lebih dari satu miliar umat, Gereja Katolik memiliki
potensi besar untuk mempengaruhi kebijakan dan tindakan terkait lingkungan.
Melalui berbagai organisasi, lembaga amal, dan komunitas paroki, Gereja dapat menjadi motor penggerak dalam mempromosikan keberlanjutan ekologis dan keadilan lingkungan (LS, 217).
Laudato Si’ menggarisbawahi peran penting Gereja dalam menyuarakan solidaritas dengan kaum miskin dan mendukung upaya-upaya untuk melindungi planet ini (LS, 158). Paus Fransiskus juga mengajak para pemimpin agama dari berbagai tradisi untuk bekerja sama dalam menghadapi perubahan iklim.
Dalam Laudato Si’, ia mengakui bahwa masalah lingkungan adalah isu universal yang menyentuh semua orang, terlepas dari keyakinan agama. Oleh karena itu, kolaborasi lintas agama dianggap esensial dalam merespons krisis ini (LS, 201).
Laudato Si’ memberikan tanggapan yang tegas dan mendalam dari Gereja Katolik terhadap isu perubahan iklim.
Melalui ensiklik ini, Paus Fransiskus tidak hanya menyoroti krisis lingkungan sebagai masalah ilmiah dan teknis, tetapi juga sebagai masalah moral dan spiritual yang menuntut perubahan hati dan tindakan kolektif.
Konsep ekologi integral, panggilan untuk keadilan sosial, dan ajakan untuk pertobatan ekologis menjadi inti dari tanggapan Gereja dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.
Dengan segala dampaknya yang meluas, Gereja Katolik menempatkan diri sebagai salah satu aktor penting dalam membangun kesadaran global untuk melindungi bumi, rumah kita bersama.
Ensiklik Laudato Si’ terus menginspirasi tindakan-tindakan nyata dalam melestarikan lingkungan dan memperjuangkan keadilan bagi semua makhluk di bumi, terutama yang paling renta.
Paus Fransiskus, melalui dokumen ini, mengingatkan bahwa pilihan-pilihan kita hari ini akan menentukan masa depan bersama umat manusia dan planet kita.